Kepemimpinan Bijak: Bukan Sirkel Kejahatan Korupsi, Apalagi Mangkir dari Panggilan KPK

Media Barak Time.com
By -
0

 


Aristoteles mengingatkan, kepemimpinan sejati lahir dari kebajikan, keadilan, dan kesederhanaan. Pemimpin bijak tidak menumpuk kuasa demi kepentingan pribadi, melainkan mengarahkan seluruh daya untuk kesejahteraan bersama. Prinsip klasik ini justru terasa asing ketika dunia kampus—ruang yang semestinya menjadi benteng moral—dihantui kabar keterlibatan rektor dalam sirkel kejahatan korupsi.


Kasus operasi tangkap tangan (OTT) Topan Ginting dalam proyek jalan di Sumatera Utara membuka tabir gelap. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut nama Rektor Universitas Sumatera Utara (USU) berada dalam orbit sirkel kekuasaan yang melibatkan Wali Kota Medan Bobby Nasution dan jaringan politik-ekonomi di sekitarnya (Tempo.co, 26/9/2025). Fakta ini bukan sekadar kabar burung, melainkan pernyataan resmi lembaga antirasuah.


Persoalan makin runyam ketika rektor dua kali mangkir dari panggilan pemeriksaan KPK (Inforakyat.com, 24/9/2025). Padahal, kehadiran sebagai saksi bukanlah pilihan, melainkan kewajiban hukum. Mangkir berulang hanya menambah tanda tanya publik: apakah pemimpin akademik merasa berada di atas hukum, ataukah memang ada hal yang sengaja ditutupi?


Mangkir dari panggilan KPK menegaskan ketidaksinkronan antara etika akademik dan realitas kepemimpinan. Universitas seharusnya melahirkan intelektual berintegritas, tetapi justru dihantam isu pengkhianatan moral oleh nakhoda tertinggi. Ini ironis, sebab mahasiswa USU setiap hari diajarkan teori hukum, demokrasi, dan transparansi, namun teladan di pucuk pimpinan memperlihatkan sebaliknya.


Krisis ini tidak bisa direduksi sebagai “urusan pribadi”. Rektor bukan individu biasa, melainkan simbol marwah kampus. Integritasnya menjadi cermin lembaga. Jika seorang rektor diduga masuk lingkaran korupsi dan bahkan menolak hadir ke KPK, maka seluruh universitas ikut tercoreng. Akademik kehilangan wibawa, moralitas kehilangan pijakan.


KPK jelas memiliki kewajiban menuntaskan perkara ini. Publik menunggu ketegasan: apakah hukum berani menembus pagar akademik, atau justru tunduk pada jejaring kekuasaan lokal yang kian rapat? Dua kali mangkir sudah cukup menjadi alasan untuk melakukan penjemputan paksa. Kelembutan hukum justru melukai kepercayaan masyarakat.


Korupsi selalu tumbuh subur ketika kepemimpinan kehilangan moral. Aristoteles menyebut, tanpa kebajikan, kekuasaan berubah menjadi tirani. Ketika universitas—ruang yang semestinya suci dari kepentingan transaksional—dikuasai sirkel korupsi, maka pendidikan menjadi alat legitimasi status quo, bukan ruang pembebasan.


Yang lebih menyedihkan, mahasiswa dan dosen dipaksa menyaksikan drama ini. Mereka yang seharusnya bangga pada pemimpin kampus, kini justru diseret ke dalam rasa malu kolektif. Alih-alih membangun keunggulan akademik, energi universitas terkuras untuk merespons tudingan dan klarifikasi yang tak kunjung tuntas.


Sejarah pendidikan tinggi Indonesia menyimpan banyak pelajaran: universitas hanya bisa berkembang bila dijalankan oleh kepemimpinan yang bersih. Perguruan tinggi ternama di dunia bukan hanya diukur dari laboratorium dan publikasi, tetapi dari integritas moral pemimpinnya. Di titik ini, USU berisiko kehilangan kredibilitas akademik jika krisis kepemimpinan tidak segera diselesaikan.


Krisis moral rektor bukan lagi sekadar aib internal kampus, melainkan ancaman terhadap kepercayaan publik pada dunia pendidikan. Bagaimana masyarakat bisa menitipkan anak-anak mereka pada universitas yang rektornya terjerat isu sirkel kejahatan korupsi? Bagaimana ijazah bisa dihormati bila integritas pucuk pimpinannya tercabik?


Forum Penyelamat USU dan berbagai elemen masyarakat sipil sudah bersuara keras. Mereka menuntut transparansi, keberanian KPK, sekaligus tanggung jawab moral dari rektor. Suara ini tidak boleh diabaikan. Diam berarti membiarkan pendidikan tinggi terjerembab dalam kubangan korupsi.


Kini saatnya rektor memilih: tunduk pada panggilan hukum dengan sikap kesatria, atau terus berlindung di balik kekuasaan dan jaringan politik. Setiap pilihan membawa konsekuensi sejarah. Rektor bukan hanya mempertaruhkan nasib pribadinya, tetapi juga masa depan ribuan mahasiswa dan nama baik universitas.


Di hadapan publik, sikap mangkir berulang hanya menegaskan ketakutan pada transparansi. Padahal, seorang pemimpin bijak tidak lari dari tanggung jawab. Ia berdiri tegak, menghadapi tuduhan dengan kepala tegak, membuktikan integritas melalui proses hukum. Itu baru namanya kepemimpinan etis.


Universitas adalah mercusuar bangsa di bagian barat Indonesia. Bila mercusuar ini dibiarkan runtuh karena korupsi, maka kegelapan akan menyelimuti dunia perguruan tinggi. Jalan keluar hanya satu: tegakkan kebenaran dan keadilan tanpa pandang bulu, sekaligus pulihkan marwah akademik dengan kepemimpinan yang benar-benar beretika, bermoral dan bijak, bukan sekadar gelar dan jabatan.


Aristoteles benar, kepemimpinan sejati bukanlah soal kuasa, melainkan kebajikan. USU dan Indonesia butuh pemimpin yang berani menghadapi hukum, bukan yang mangkir dari panggilan KPK sebagai saksi fakta. Sejarah akan mencatat: apakah kampus terbesar di Sumatera Utara memilih jalan kebajikan, atau sekadar menjadi catatan kelam sirkel kejahatan korupsi.


Demikian.


Penulis, Adv. M.Taufik Umar Dani Harahap,SH, Praktisi Hukum dan Ketua Forum  Penyelamat USU.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)