Pendahuluan
“Kritik dalam sistem demokrasi bukanlah pelanggaran, melainkan vitamin bagi negara yang sehat.”
dr. Rizky Adriansyah, M.Ked (Ped), Sp.A(K), adalah sosok dokter muda yang tak hanya piawai secara klinis, tetapi juga dihormati secara intelektual. Ia dikenal sebagai kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang berprestasi, panutan bagi adik-adiknya di HMI Cabang Medan, serta pribadi yang terpelajar. Saat ini, ia menjalani praktik spesialis sebagai Konsultan Kardiologi Anak di Columbia Asia Hospital Medan, dan merupakan anggota aktif Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).
Namun ironis, sosok yang justru menjadi teladan profesionalisme dan kepedulian terhadap pelayanan publik itu kini harus berhadapan dengan represi institusional. Hanya karena menyampaikan kritik terhadap kebijakan publik Kementerian Kesehatan, dr. Rizky dipanggil tanpa kejelasan prosedur etik, ditekan secara psikologis, bahkan dipecat dari RSUP H. Adam Malik Medan—rumah sakit vertikal milik negara—tanpa mekanisme administrasi yang transparan dan akuntabel. Dalam sistem hukum administrasi, tindakan semacam ini masuk kategori maladministrasi dan melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Apa yang terjadi terhadap dr. Rizky bukan sekadar konflik personal atau polemik internal organisasi profesi. Ini adalah gambaran terang tentang bagaimana kekuasaan negara bisa menjelma menjadi alat represi terhadap warganya yang berpikir kritis. Di sinilah letak signifikansi teori abus de droit atau penyalahgunaan wewenang menurut Prof. Dr. Philipus M. Hadjon: kekuasaan administrasi negara tidak boleh digunakan untuk tujuan menyimpang dari fungsi yang sah, apalagi untuk membungkam hak konstitusional warga.
Dalam literatur hukum administrasi, 'abus de droit' merujuk pada tindakan pejabat atau institusi publik yang tampaknya legal secara formal, tetapi digunakan untuk maksud yang tidak sah atau melampaui tujuan pemberian kewenangan tersebut. Hadjon menyatakan bahwa hak administratif yang dipakai tidak boleh berkonflik dengan prinsip keadilan, rasionalitas, dan perlindungan hak warga negara. Dalam kasus dr. Rizky, tindakan pemanggilan dan pemecatan tanpa dasar hukum administratif yang layak merupakan pelanggaran terhadap prinsip legalitas dan prinsip perlindungan terhadap hak-hak subjek hukum.
Sebagaimana diberitakan oleh BarakTime (4 Juli 2025), dr. Rizky secara konsisten mengkritisi tata kelola pelayanan rumah sakit dan sistem rujukan kesehatan yang dianggap menyulitkan pasien dan tenaga medis. Namun alih-alih dijawab dengan argumentasi ilmiah atau evaluasi kebijakan, suara tersebut dibungkam dengan tekanan birokratis. Pemanggilan etik, pencabutan hak praktik, serta pemecatan tanpa proses hukum administratif yang sah mencerminkan tidak adanya ruang deliberatif dalam dunia kesehatan kita.
Jika kita mengacu pada asas-asas Rechtsstaat (negara hukum), maka setiap tindakan administratif oleh negara harus tunduk pada prinsip due process of law dan tidak boleh didasarkan pada selera penguasa. Dalam kacamata Hadjon, pemecatan terhadap seorang dokter ASN atau non-ASN dari lembaga negara harus melewati mekanisme legal: surat resmi, hak jawab, notifikasi tertulis, dan ruang keberatan administratif. Semua itu diabaikan dalam kasus ini. Maka jelas, tindakan terhadap dr. Rizky bukan sekadar melampaui wewenang—melainkan menyimpang dari hukum itu sendiri.
Kasus dr. Rizky adalah contoh konkret bahwa dunia kesehatan kita tidak hanya menghadapi krisis layanan, tetapi juga krisis kebebasan sipil. Ketika ruang demokrasi dibungkam dengan cara-cara administratif yang menyimpang, maka sesungguhnya kita sedang mundur ke rezim kekuasaan lama: negara yang menolak mendengar kritik. Ini bukan hanya soal profesi kedokteran, tapi soal arah republik ini.
Penyalahgunaan Kekuasaan dalam Dunia Kesehatan
Dalam demokrasi yang sehat, kebebasan berpendapat bukan sekadar hak individu, melainkan elemen vital dalam menjaga akuntabilitas kekuasaan. Namun, ketika suara kritis dibungkam melalui instrumen formal yang dipelintir secara manipulatif, maka yang terjadi bukanlah penegakan etika, melainkan penyalahgunaan kekuasaan—abus de droit. Itulah yang terlihat dalam kasus dr. Rizky Adriansyah: pemanggilan etik tanpa kejelasan dasar, pemecatan dari RSUP H. Adam Malik tanpa prosedur administratif, dan pernyataan “tidak disiplin” yang menggantung tanpa proses verifikasi hukum yang sah.
Abus de droit, sebagaimana dikenal dalam hukum administrasi modern, terjadi ketika otoritas menggunakan hak legalnya untuk tujuan yang menyimpang dari maksud pemberian kewenangan tersebut. Dalam konteks profesi kesehatan, pemanggilan etik seharusnya menjadi mekanisme klarifikasi dan koreksi profesional, bukan alat tekanan untuk membungkam pendapat. Jika instrumen itu dijadikan tameng untuk menjaga “citra instansi” atau melanggengkan monopoli narasi, maka sejatinya ia telah keluar dari mandat keadilan dan masuk ke ranah represi.
Prof. Miriam Budiardjo menyebutkan bahwa negara adalah organisasi yang memiliki kekuasaan sah untuk memaksa dalam wilayahnya terhadap semua golongan. Namun, kekuasaan itu bukan tanpa batas. Ia dibatasi oleh hukum, etika publik, dan prinsip keadilan substantif. Ketika negara atau lembaga di bawahnya menggunakan otoritas formal untuk menekan individu kritis, maka itu bukan praktik demokrasi, melainkan distorsi otoritas. Negara, dalam hal ini birokrasi kesehatan, bertindak bukan sebagai pelayan publik, tetapi sebagai tuan atas ruang sipil.
Prof. Dr. Philipus M. Hadjon menegaskan bahwa dalam hukum tata negara, wewenang (bevoegdheid) adalah kekuasaan hukum (rechtsmacht) yang hanya sah bila dijalankan sesuai prinsip legalitas dan prosedur. Ia menolak keras segala bentuk pelaksanaan kekuasaan administratif yang melabrak norma, prosedur, dan asas umum pemerintahan yang baik. Dalam kasus dr. Rizky, pemecatan tanpa dasar hukum yang jelas, tanpa pemberian hak jawab, dan tanpa notifikasi administratif merupakan pelanggaran terhadap prinsip due process of law yang paling elementer.
Tindakan semena-mena itu semakin terlihat ganjil ketika disandingkan dengan Siracusa Principles—standar internasional yang mengatur batas pembatasan hak sipil. Menurut prinsip ini, pelanggaran atas kebebasan berekspresi hanya dibenarkan bila bersifat legal, proporsional, dan sangat mendesak. Dalam kasus ini, tak satu pun dari unsur itu terpenuhi. Yang muncul justru pola “mengada-ada dan sok kuasa”—meminjam istilah dari masyarakat Medan—yang menjadikan kekuasaan sebagai alat untuk mendiamkan kritik yang sah.
Apa yang dipertontonkan oleh penguasa kesehatan terhadap dr. Rizky bukan lagi kesalahan administratif biasa, tapi bentuk delegitimasi terhadap semangat kebebasan sipil yang dilindungi konstitusi. Dunia kesehatan tak boleh menjadi ruang steril dari kritik. Jika kritik dianggap sebagai pelanggaran, dan bukan bagian dari demokrasi profesional, maka sesungguhnya yang sakit bukan hanya sistemnya, tapi mentalitas penguasanya. Inilah peringatan keras bahwa kekuasaan tanpa pengawasan akan selalu cenderung melenceng, bahkan dalam ruang yang paling kita percaya: pelayanan kesehatan.
Dokter: Profesi Manusia Merdeka, Intelektual, Terdidik, dan Terpelajar—Bukan Budak Kekuasaan
Profesi kedokteran dibentuk dari perpaduan ilmu pengetahuan, tanggung jawab etis, dan komitmen sosial. Ia bukan sekadar pekerjaan teknis, tetapi panggilan moral untuk melayani kehidupan manusia. Oleh sebab itu, seorang dokter sejatinya adalah manusia merdeka—berpikir bebas, bertindak berdasarkan nalar ilmiah, dan terikat pada sumpah profesi, bukan pada keinginan kekuasaan. Ketika seorang dokter seperti dr. Rizky Adriansyah menyuarakan kritik terhadap sistem layanan kesehatan yang timpang, ia sedang menjalankan fungsi intelektual-profesionalnya. Menyebutnya “tidak disiplin” hanyalah cara malas kekuasaan menutupi ketelanjangan sistem.
Dalam sejarah etika profesi, sumpah Hippocrates bukan sekadar formalitas simbolik. Ia adalah deklarasi keberpihakan terhadap kebenaran, terhadap pasien, dan terhadap integritas keilmuan. Ketika birokrasi kesehatan membungkam suara yang menyerukan perbaikan—alih-alih menyerapnya menjadi bahan evaluasi—maka yang sedang terjadi adalah pendangkalan fungsi profesi. Dunia kesehatan menjadi ladang feodalisme baru, di mana kritik dianggap durhaka, dan ketaatan pada struktur dianggap kebajikan mutlak.
Lebih mengkhawatirkan, IDI dan Dinas Kesehatan yang seharusnya menjadi penjaga etika dan keseimbangan profesi justru menjadi alat penekan yang melayani kekuasaan administratif. Di banyak negara dengan sistem kesehatan maju, kritik dari dokter adalah bagian integral dari reformasi kebijakan. Namun di Indonesia, kritik disamakan dengan perlawanan. Ini menandakan bukan hanya krisis kebijakan, tetapi krisis demokrasi dalam tubuh birokrasi medis itu sendiri.
Data riset The Lancet Global Health (2021) menunjukkan bahwa negara-negara dengan sistem layanan kesehatan yang terbuka terhadap masukan dari tenaga medis—baik melalui forum ilmiah maupun kanal partisipatif publik—mengalami peningkatan kepuasan pasien dan efisiensi layanan. Ini membuktikan bahwa kritik bukan ancaman, melainkan bahan bakar inovasi. Indonesia harus belajar dari temuan ini. Menutup telinga terhadap suara dokter justru menutup peluang perbaikan.
Dokter bukan budak struktur. Mereka adalah manusia terdidik dan terpelajar yang punya hak dan tanggung jawab untuk menyuarakan kegagalan sistem. Ketika kekuasaan menuntut diam, maka dokter justru wajib bersuara. Sebab diam dalam ketimpangan adalah pengkhianatan terhadap kemanusiaan. Dalam republik yang sehat, loyalitas seorang dokter bukan kepada birokrasi, melainkan kepada publik yang mereka layani. Dan justru di situlah letak kehormatan profesi mereka.
Kebebasan Berekspresi dalam Negara Hukum
Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 secara eksplisit menjamin hak setiap warga negara untuk menyatakan pendapat, baik secara lisan maupun tertulis. Dalam konstitusi modern, kebebasan berekspresi bukan lagi hak yang diberikan negara, melainkan hak kodrati yang wajib dihormati oleh negara. Ketika negara—melalui lembaga kesehatan atau institusi profesi—membatasi hak tersebut tanpa dasar hukum yang sah, maka negara tengah melanggar amanat konstitusi itu sendiri.
Indonesia telah meratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) melalui UU No. 12 Tahun 2005. Artinya, kebebasan berekspresi memiliki posisi ganda: sebagai hak konstitusional dan sebagai kewajiban negara dalam rezim hukum internasional. Maka, tindakan pembungkaman terhadap dr. Rizky Adriansyah bukan hanya pelanggaran terhadap norma domestik, tetapi juga pengingkaran terhadap komitmen global Indonesia atas hak-hak sipil warganya. Ini bukan semata persoalan etik profesi, melainkan pelanggaran terang terhadap hak asasi manusia.
Dr. Adnan Buyung Nasution, pejuang hukum dan HAM terkemuka, dalam berbagai tulisannya menegaskan bahwa kebebasan berpendapat adalah nyawa demokrasi dan pilar utama rule of law. Dalam pemikiran Buyung, hukum tak boleh jadi alat kekuasaan untuk membungkam rakyat, melainkan pagar yang melindungi warga dari arogansi kekuasaan. Ketika seorang dokter dikriminalisasi karena menyuarakan kegelisahan publik, maka negara sedang memperalat hukum untuk melindungi status quo, bukan keadilan.
Kekuasaan kesehatan di Indonesia tampaknya masih terjebak dalam warisan absolutisme profesional. Kritik dianggap penghinaan, pertanyaan diposisikan sebagai pembangkangan. Padahal, seperti dikatakan Jürgen Habermas, ruang publik dibentuk bukan oleh keheningan, melainkan oleh dialektika: adu gagasan, transparansi argumen, dan keterbukaan atas kritik. Sayangnya, dalam banyak kasus, birokrasi kita lebih nyaman hidup dalam ruang kedap suara, di mana loyalitas lebih dihargai daripada keberanian berpikir.
Praktik terhadap dr. Rizky menjadi alarm keras bahwa kebebasan sipil kita tengah terancam. Negara hukum tidak boleh bertransformasi menjadi negara takut: takut dikritik, takut ditanya, takut disalahkan. Sebab seperti diingatkan Buyung Nasution, “Negara hukum bukan sekadar hukum tertulis. Ia harus hidup dalam watak kekuasaan yang adil, transparan, dan tidak alergi pada kebenaran.” Bila kritik terus dipersekusi, maka yang mati bukan hanya suara rakyat, tapi semangat republik itu sendiri.
Penutup
Kasus yang menimpa dr. Rizky Adriansyah bukan sekadar perkara personal atau etik profesi. Ia adalah cermin retak dari arah demokrasi kita yang semakin rapuh. Jika seorang dokter—yang terdidik, profesional, dan terikat sumpah kemanusiaan—bisa diintimidasi hanya karena menyampaikan pendapatnya, maka tak ada lagi ruang aman bagi profesi mana pun. Dalam atmosfer seperti ini, guru yang mengkritik kurikulum, dosen yang mempertanyakan kebijakan kampus, atau peneliti yang membongkar konflik kepentingan, semua terancam dibungkam. Demokrasi kehilangan maknanya saat kebebasan berpikir dirampas secara sistematis.
Negara dan institusi profesi harus sadar, kekuasaan bukan alat untuk mempertahankan citra, tetapi tanggung jawab untuk melayani kebenaran. Dunia kesehatan bukan ruang steril dari kritik; ia harus tumbuh dari dinamika wacana dan evaluasi terbuka. Ketika birokrasi lebih sibuk menjaga wibawa semu daripada memperbaiki pelayanan, maka yang dikorbankan adalah kepercayaan publik. Kritik yang disampaikan oleh tenaga profesional bukan ancaman, melainkan bentuk cinta terhadap sistem yang mereka harapkan lebih baik dan adil.
Kita tak boleh gentar menghadapi suara kritis. Justru kita harus khawatir pada kekuasaan yang alergi terhadap kebenaran. Sebab begitu kritik dibungkam dan nalar dikekang, maka yang tumbuh adalah ketakutan, bukan kemajuan. Dalam negara hukum yang demokratis, hak berpendapat adalah tiang penyangga republik. Menjaganya bukan sekadar tugas hukum, tapi kewajiban moral kita bersama.
Demikian
Tentang Penulis:
Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH adalah advokat, pemerhati isu konstitusi serta hak asasi manusia, anggota badan perkumpulan KontraS Sumut dan Wakil Sekretaris Bidang Hukum dan HAM MW KAHMI Sumut.
______________
Daftar Pustaka
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Buyung Nasution, Adnan. The Aspiration for Constitutional Government in Indonesia: A Socio-Legal Study of the Indonesian Konstituante 1956–1959. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995.
Habermas, Jürgen. The Structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society. Translated by Thomas Burger. Cambridge: MIT Press, 1989.
Hadjon, Philipus M. “Pengertian Wewenang dan Penyalahgunaannya dalam Hukum Administrasi.” Dalam Makalah Hukum Administrasi Negara. Surabaya: FH Universitas Airlangga, 2002.
Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Indonesia. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).
International Commission of Jurists (ICJ). The Siracusa Principles on the Limitation and Derogation Provisions in the International Covenant on Civil and Political Rights. Geneva: United Nations, 1984.
The Lancet Global Health. “Health System Responsiveness and Patient Satisfaction in 17 Countries.” The Lancet Global Health Journal, Vol. 9, No. 6 (2021): e777–e785.
Transparency International. Global Corruption Report 2022: Health Sector Integrity and Risk. Berlin: TI Publications, 2022.
BarakTime. “Penguasa Kesehatan Republik Indonesia Mengintimidasi dr. Rizky.” 4 Juli 2025. https://www.baraktime.com/2025/07/penguasa-kesehatan-republik-indonesia.html
Posting Komentar
0Komentar