Oleh: Selwa Kumar (Penggiat Peradaban Asal Sumut)
Pendahuluan
Sudah menjadi rahasia umum di Kota Medan bahwa Bobby Nasution tengah menyiapkan medan tempur politik untuk agenda besar Pilpres 2029. Target utamanya bukan sekadar kekuasaan lokal, melainkan panggung nasional demi mengamankan posisi Gibran Rakabuming Raka—iparnya sendiri—sebagai calon presiden. Narasi ini tak lagi dibisikkan, tetapi telah menjadi konsumsi publik di koridor kampus, ruang rapat birokrasi, hingga warung kopi. Di tengah publikasi dan promosi yang terbungkus jargon “pemimpin muda” dan “sinergi pusat-daerah,” sesungguhnya sedang dibangun poros kekuasaan dengan Sumatera Utara sebagai lumbung politik dan logistik.
Di lingkaran dalam mereka, yang kerap disebut sebagai “Gank Solo,” percakapan politik dilakukan dengan bahasa penuh keyakinan dan arogansi. Mereka merasa telah memegang dua provinsi kunci: Jawa Tengah dan Sumatera Utara. Data KPU RI mendukung klaim ini—Jawa Tengah menyumbang 27 juta pemilih, Sumut hampir 11 juta—menjadikannya lumbung suara ketiga dan keempat nasional. Kombinasi ini diyakini cukup untuk mengunci minimal 25 persen suara nasional, sebagai syarat pencalonan presiden. Apalagi, dengan jaringan pengusaha, akses logistik nasional, dan relasi elite pemerintahan Jokowi, mereka merasa tak perlu modal politik dari partai besar.
Namun, keyakinan itu mulai retak setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) di lingkungan Pemko Medan. OTT ini bukan hanya membongkar skema korupsi berjemaah, tetapi juga mengoyak rencana konsolidasi politik dinasti. Jika Medan sebagai titik awal proyek kekuasaan Gibran tersandung masalah hukum dan penyalahgunaan anggaran, maka bangunan kepercayaan publik nasional bisa runtuh seperti domino. Strategi tiki-taka yang dirancang rapi dari Medan ke USU, lanjut Pemprovsu, kini bukan lagi operan cepat, melainkan bola liar yang bisa menjadi bumerang.
Dari Medan Menuju Pusat Kekuasaan
Tiga tokoh kunci di Sumatera Utara—Bobby Nasution, Topan Ginting, dan Muryanto Amin—selama ini memainkan strategi kekuasaan yang nyaris tak terdeteksi publik. Layaknya tiki-taka dalam sepak bola Spanyol yang mengandalkan umpan pendek, cepat, dan presisi, ketiganya mengoper posisi, pengaruh, dan anggaran dari Pemko Medan ke Universitas Sumatera Utara (USU), lalu diarahkan ke orbit Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pemprovsu). Permainan ini dilakukan secara halus, penuh kalkulasi, dan dibalut legitimasi administratif, birokratik, hingga akademik. Di balik skema itu, terbentang satu agenda besar: menopang suksesi kekuasaan pasca-Jokowi, dengan Gibran Rakabuming Raka sebagai poros utama pada Pilpres 2029.
Bobby Nasution, yang kini naik kelas dari Wali Kota Medan menjadi Gubernur Sumatera Utara, adalah sosok sentral dalam skenario ini. Sebagai menantu Presiden, Bobby mengemban misi perluasan pengaruh politik keluarga Jokowi di luar Jawa, sekaligus memperkuat basis elektoral di Sumatera. Ia tidak hanya mengandalkan kekuatan simbolik sebagai bagian dari dinasti, tetapi juga memanfaatkan struktur kekuasaan birokratik. Di sinilah peran Topan Ginting menjadi vital. Sebagai Sekda Medan, Topan memastikan mesin administratif bergerak sesuai irama politik, mengamankan jalur anggaran, proyek, dan penempatan loyalis dalam posisi strategis.
Sementara itu, Muryanto Amin sebagai Rektor USU berfungsi sebagai penghubung antara kekuasaan dan legitimasi akademik. Tidak hanya sebagai pejabat kampus, tetapi juga—seperti disampaikan berbagai sumber internal USU—bertindak sebagai penasihat politik informal Bobby. Kerjasama antara Pemko Medan dan USU diformalisasi melalui berbagai hibah dan program kemitraan. Namun dalam praktiknya, dana hibah yang mencapai miliaran rupiah itu lebih menyerupai “pelumas politik” untuk mengonsolidasikan pengaruh kekuasaan. Penelitian, seminar, digitalisasi kampus, hingga pembangunan infrastruktur pendidikan menjadi alat tukar antara kekuasaan dan kredibilitas ilmiah.
Narasi yang dibangun dalam relasi tiga institusi ini sangat rapi. Di luar tampak sebagai kolaborasi lintas sektor: pemerintah kota, kampus, dan provinsi; tapi di dalamnya, kekuasaan dikooptasi dan dikelola untuk mendukung agenda politik jangka panjang. Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024 menunjukkan bahwa Sumatera Utara memiliki 10,8 juta pemilih, terbesar keempat secara nasional. Ini menjadikannya provinsi strategis dalam peta elektoral Pilpres 2029. Jika dikawinkan dengan pengaruh Jokowi di Jawa Tengah, maka kalkulasi mereka: dua provinsi sudah cukup untuk mengunci “tiket” 25 persen presidential threshold. Itulah sebabnya Medan dijadikan laboratorium politik.
Namun, strategi sehalus apa pun akan terbaca jika aroma penyalahgunaan kekuasaan mulai menyengat. Publik mulai menyoroti derasnya aliran dana dari Pemko Medan ke USU, terutama ketika efektivitas program yang dibiayai tidak transparan. Laporan investigasi beberapa LSM dan wartawan lokal menunjukkan ketidakwajaran dalam pelaksanaan kegiatan, pengadaan, hingga penunjukan mitra kerja. Jika ini terbukti, maka tidak menutup kemungkinan akan menyeret ketiganya dalam pusaran hukum. Ketika strategi tiki-taka berubah menjadi permainan licik, maka lapangan kekuasaan akan berubah menjadi medan pertarungan etika, hukum, dan akal sehat publik.
Jerat Hukum dan Retaknya Simulasi Legitimasi
Setiap permainan kekuasaan yang dibangun terlalu rapi dan penuh kepercayaan diri, pada akhirnya akan berhadapan dengan hukum yang tak mengenal kompromi. Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Topan Ginting—mantan Sekda Medan yang kemudian menjabat di Pemprov Sumut—menjadi lubang pertama yang membongkar konstruksi kekuasaan Bobby Nasution dan sekutunya. Fakta-fakta awal mengindikasikan bahwa relasi antara eksekutif daerah dan institusi pendidikan negeri di Medan tak dibangun atas dasar transparansi dan akuntabilitas, melainkan nepotisme yang ditopang kolusi politik dan pengaturan anggaran secara tidak sah.
Dalam perspektif hukum pidana, kasus ini bukanlah maladministrasi administratif biasa. Ini telah memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 2 dan 3 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan negara dan memperkaya diri sendiri atau orang lain. Terlebih jika ditemukan adanya relasi sistemik dan berulang antara pejabat pemerintahan dan pimpinan perguruan tinggi negeri, maka pola ini masuk ke dalam kategori delik kolektif (collective crime). Bahkan dalam kerangka state capture, ini mencerminkan bagaimana institusi-institusi publik direkayasa untuk melayani kepentingan segelintir elite politik.
Keterlibatan Muryanto Amin sebagai Rektor USU yang menerima aliran dana hibah secara masif dari Pemko Medan tak bisa lagi dibaca semata sebagai urusan administratif. Dalam kacamata etik dan yuridis, keterlibatan tersebut patut diuji. Universitas, yang idealnya menjadi penjaga nurani dan nalar kritis masyarakat, justru terperosok menjadi instrumen legitimasi kekuasaan lokal. Ketika dana hibah pendidikan digunakan untuk menopang agenda politik, maka USU telah menyimpang dari prinsip tri dharma perguruan tinggi dan kehilangan kredibilitas ilmiahnya di mata publik.
Skema yang dijalankan ini tidak terjadi dalam ruang hampa. Ia bersandar pada jaringan loyalis, pembiaran sistemik, dan pembungkaman kritik di internal kampus maupun birokrasi. Mahasiswa yang kritis diredam dengan pendekatan keamanan; dosen yang vokal ditekan melalui mekanisme struktural. Ini adalah pola klasik dari state patronage yang dikemas dalam narasi kolaboratif, padahal substansinya adalah kooptasi kekuasaan terhadap institusi pendidikan. Proyek digitalisasi kampus, pembangunan laboratorium, hingga kegiatan riset tak lebih dari bungkus moral untuk proyek politik terselubung.
Karena itu, OTT KPK terhadap Topan Ginting bukan sekadar penegakan hukum terhadap individu, tetapi sinyal keras bahwa negara mulai merespons patologi kekuasaan yang menjangkiti lembaga-lembaga pendidikan. Jika hukum bergerak tegak lurus, maka pemeriksaan tidak boleh berhenti di tataran birokrasi daerah. KPK dan penegak hukum harus menelusuri bagaimana dana publik mengalir ke institusi pendidikan, siapa yang mendapat keuntungan politis, dan bagaimana relasi kuasa dibangun dalam ruang-ruang yang seharusnya steril dari kepentingan politik elektoral. Sebab di sinilah kejahatan struktural bersembunyi dengan rapi.
Gibran dan Mimpi yang Robek di Sumut
Getaran politik dari Sumatera Utara bukan hanya mengguncang pemerintahan daerah, tetapi juga mengoyak mimpi besar yang sedang dirancang dari Istana: suksesi kekuasaan ala politik dinasti. Gibran Rakabuming Raka, yang digadang-gadang menjadi calon presiden muda dalam Pilpres 2029, semula dipoles dengan narasi estafet kepemimpinan dari Jokowi. Salah satu pilar utama proyek ini adalah Bobby Nasution, ipar sekaligus Gubernur Sumatera Utara. Namun pilar tersebut kini mulai goyah, hal ini karena Kadis kesayangan Bobby, Topan Ginting—Kepala Dinas PUPR Pemprov Sumut—di tangkap dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK dalam kasus dugaan korupsi suap dana infrastruktur.
OTT terhadap Topan Ginting tidak bisa dibaca sebagai kasus individu. Ia adalah alarm terhadap ekosistem kekuasaan di Sumut yang selama ini dibentuk dengan pola loyalitas, bukan integritas. Dalam kerangka strategi nasional, Sumut memainkan peran penting sebagai basis logistik politik dan lumbung suara. Data KPU RI mencatat, Sumut memiliki lebih dari 10,8 juta pemilih—terbesar keempat secara nasional. Maka wajar jika Sumut dirancang sebagai fondasi elektoral Gibran di luar Jawa. Namun ketika Sumut terseret kasus korupsi yang menyentuh elite struktural, maka bangunan narasi "pemimpin muda bersih dan progresif" ikut tercemar.
Survei LSI dan Indikator Politik Indonesia pada semester pertama 2025 menunjukkan elektabilitas Gibran memang cukup kompetitif, berada di kisaran 22–24%. Namun pasca OTT Topan Ginting dan mencuatnya isu korupsi dalam proyek infrastruktur Sumut, tren elektabilitas Gibran di segmen pemilih muda dan kelas menengah menurun tajam 6–8%. Dalam dunia politik elektoral, persepsi publik jauh lebih menentukan daripada status hukum semata. Sekali dicap sebagai bagian dari jaringan kekuasaan yang korup, maka proses pemulihan kepercayaan publik menjadi sangat mahal, jika tidak mustahil.
Yang tak kalah genting, KPK disebut telah melirik jalur aliran dana hibah dari Pemko Medan ke Universitas Sumatera Utara (USU) semasa Bobby menjabat wali kota. Ini menjadi titik krusial karena menyentuh ranah akademik—USU, sebagai institusi pendidikan tinggi negeri, justru terlibat dalam sirkuit kekuasaan dan pemberian dana hibah.Dalam cakap-cakap anak Medan itu 'biaya konsultan politik' ya 'mana ada makan siang yang yang gratis'.
Muryanto Amin, Rektor USU, yang selama ini disebut sebagai penasihat informal Bobby, kini mulai gelisah. Jika pemeriksaan KPK merambah ke aliran dana pendidikan yang digunakan untuk kepentingan politik, maka kredibilitas akademik dan moral kampus ikut runtuh bersama strategi besar menuju 2029.
Mimpi besar Gibran di Pilpres 2029 bisa saja tidak pernah benar-benar dimulai. Saat satu demi satu pilar strategis di Sumut tergerus oleh skandal dan penyidikan, maka jalan menuju kontestasi nasional berubah dari jalan tol menjadi jurang reputasi. Tragedi ini menyisakan pelajaran penting: kekuasaan yang dibangun tanpa etika dan transparansi tidak hanya membahayakan demokrasi, tapi juga merusak harapan generasi baru akan kepemimpinan yang bersih. Jika Sumut sebagai titik pijak politik Gibran telah retak, maka seluruh agenda regenerasi dinasti bisa runtuh sebelum lonceng pilpres dibunyikan.
Penutup
Apa yang semula dirancang sebagai strategi tiki-taka—lihai, cepat, dan terukur—akhirnya berubah menjadi blunder kolektif. OTT KPK menjadi skakmat terhadap skenario kekuasaan yang terlalu percaya diri. Negara hukum (rechtstaat) bekerja justru ketika para pelaku kekuasaan menganggap dirinya tak tersentuh. Saat itulah hukum tampil, bukan sebagai alat kekuasaan, tapi sebagai korektor konstitusional.
Sumatera Utara menjadi cermin bahwa jika jalur politik, birokrasi, dan akademik dijadikan satu poros kekuasaan, maka rakyat hanya akan menjadi penonton dalam drama penuh rekayasa. Namun ketika KPK bergerak, dan publik kembali kritis, maka hukum kembali ke singgasananya. Agenda politik boleh dirancang, tapi keadilan tak bisa dinegosiasikan. Ya, "dari tiki taka akhirnya skak mat"
Demikian.
__________
Daftar Pustaka
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 55 dan Pasal 56
Komisi Pemberantasan Korupsi. “Siaran Pers OTT Pemko Medan.” 2025.
Lembaga Survei Indonesia (LSI). Dinamika Elektabilitas Gibran Pasca OTT Bobby Nasution, 2025.
Transparency International. State Capture in Southeast Asia: The Case of Indonesia. 2024.
Sulistyowati, Indira. “Nepotisme dan Politik Dinasti dalam Perspektif Etika Publik.” Jurnal Etika & Politik, Vol. 10 No. 2 (2023): 88–105.
Posting Komentar
0Komentar