Oleh: Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH (Praktis Hukum)
Pendahuluan
"Adagium UUPA No.5 Tahun 1960: Tanah Untuk Rakyat, Tanah Untuk Petani)
Konflik lahan eks Hak Guna Usaha (HGU) PTPN II di Hamparan Perak, Sumatera Utara, adalah cermin dari carut-marut tata kelola agraria di Indonesia. Pada satu sisi terdapat rakyat penggarap yang telah puluhan tahun mengolah tanah tersebut. Di sisi lain, muncul negara melalui proyek pembangunan Kampus II Politeknik Negeri Medan (Polmed), yang ironisnya justru menimbulkan penggusuran terhadap masyarakat. Namun yang paling mencolok adalah peran tak kasatmata dari mafia tanah, yang membonceng institusi negara—termasuk lembaga pendidikan—untuk melegalkan perampasan tanah rakyat.
Modus Operandi: Mafia Tanah Membonceng Lembaga Pendidikan
Fenomena baru yang meresahkan dalam konflik agraria adalah keterlibatan lembaga pendidikan sebagai bagian dari skema perampasan tanah negara yang terstruktur dan sistematis. Di berbagai daerah, mafia tanah kini tidak hanya mengandalkan jalur hukum formal dan kolusi dengan oknum pejabat, tetapi juga memanfaatkan kredibilitas institusi pendidikan untuk mendapatkan legitimasi moral atas penguasaan lahan. Atas nama pembangunan kampus dan peningkatan mutu sumber daya manusia, tanah sengketa dialihfungsikan tanpa penyelesaian hukum yang tuntas—sebuah modus operandi baru yang menyembunyikan kejahatan agraria di balik jargon pendidikan.
Dalam konteks ini, lembaga pendidikan berubah menjadi kuda troya yang ditunggangi oleh kekuatan-kekuatan ilegal untuk merampas hak rakyat atas tanah. Legalitas hibah dan pengadaan tanah yang belum sepenuhnya bersih dari sengketa, kerap dimanipulasi melalui surat keputusan, MoU, atau skema alokasi lahan yang tidak partisipatif dan minim transparansi. Mafia tanah memanfaatkan kesan positif dari proyek pendidikan sebagai pelindung moral, sehingga kritik terhadap perampasan lahan mudah diredam dengan tudingan anti-pembangunan atau anti-kemajuan.
Prof. A.P. Parlindungan dalam Komentar Hukum Agraria Indonesia telah mengingatkan bahwa tidak sedikit kasus pengalihan tanah negara yang dilakukan secara terselubung melalui proyek pendidikan. Ia menulis, “Jika tak diawasi ketat, lembaga pendidikan bisa saja dijadikan topeng legal oleh mafia tanah.” Artinya, tanpa mekanisme kontrol publik dan audit agraria independen, institusi yang semestinya menjadi garda moral justru bisa menjadi alat perampasan hak rakyat. Ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap nilai-nilai luhur pendidikan itu sendiri.
Khusus dalam kasus lahan eks HGU PTPN II di Hamparan Perak, kehadiran Politeknik Negeri Medan mesti dikaji secara kritis dan objektif. Apakah benar lahan yang kini digarap sebagai Kampus II itu telah melalui proses yang adil dan transparan? Apakah sudah dilakukan verifikasi status tanah, audit sosial terhadap rakyat penggarap, serta konsultasi publik? Ataukah justru proyek ini berdiri di atas tumpukan konflik yang diselimuti oleh keputusan birokratis dan pembungkaman suara rakyat?
Jika negara terus menutup mata terhadap modus semacam ini, maka lembaga pendidikan bukan lagi tempat mencerdaskan kehidupan bangsa, melainkan akan menjadi alat kekuasaan untuk melanggengkan ketimpangan agraria. Ketika institusi yang semestinya netral dan berwibawa justru membonceng kepentingan mafia tanah, maka yang lahir bukanlah kampus pencetak intelektual, tetapi monumen ketidakadilan yang menyamar sebagai kemajuan.
Negara Tidak Boleh Menjadi Fasilitator Ketidakadilan
Prof. Laica Marzuki memperingatkan bahwa, "Negara tidak boleh menjadi alat kekuasaan yang memfasilitasi penghilangan hak rakyat atas tanah, apalagi dengan membiarkan lembaga pendidikan menjadi instrumen pembenaran atas pelanggaran HAM." Ketika rakyat digusur demi berdirinya kampus, maka pendidikan itu kehilangan legitimasi moralnya.
Padahal, tanah eks HGU yang telah habis masa berlakunya adalah bagian dari Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) yang semestinya diberikan kepada rakyat. Seperti disampaikan Gunawan Wiradi, “Reforma agraria bukan hanya redistribusi tanah, tapi koreksi atas sejarah ketimpangan struktural. Jika rakyat digusur dari tanah eks HGU, itu pengkhianatan terhadap semangat reformasi.”
Menelanjangi Skema Perampasan: Dari Hibah, Sertifikat Siluman, hingga Pembangunan
Modus operandi mafia tanah kini semakin halus: menggunakan lembaga formal seperti pendidikan, rumah ibadah, atau instansi pemerintah untuk mendapatkan hibah tanah eks HGU. Setelah dihibahkan, jaringan mafia bergerak mengeluarkan sertifikat lewat akses di BPN, melibatkan notaris, oknum pejabat, hingga preman lapangan. Inilah yang disebut "legalisasi perampasan tanah".
Jika dibiarkan, proyek kampus bukan lagi simbol pencerahan intelektual, tetapi akan menjadi monumen ketidakadilan agraria.
Rekomendasi Jalan Keluar: Menutup Celah, Membuka Keadilan Agraria
Langkah paling mendesak dalam merespons konflik agraria di Hamparan Perak adalah melakukan moratorium total terhadap pembangunan di atas tanah yang masih bersengketa. Negara tidak boleh melanjutkan proyek—termasuk pembangunan lembaga pendidikan—selama status tanah belum dinyatakan clear and clean dari aspek hukum, sosial, dan historis. Melanjutkan pembangunan dalam kondisi demikian bukan hanya pelanggaran hukum agraria, tetapi juga bentuk kekerasan struktural terhadap rakyat penggarap yang telah puluhan tahun menanam hidup di atas lahan tersebut.
Penting untuk segera dilakukan audit agraria independen, yang tidak hanya melibatkan Kementerian ATR/BPN atau aparat negara, tetapi juga institusi sipil seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), para akademisi kampus hukum dan pertanahan, serta elemen masyarakat sipil. Audit ini bukan sebatas memverifikasi dokumen, melainkan menelusuri rekam jejak tanah, konflik lokal, dan aktor-aktor yang terlibat dalam transformasi lahan negara menjadi objek perebutan. Tanpa keterbukaan ini, negara hanya akan memproduksi ketidakadilan baru di atas ketidakadilan lama.
Lebih lanjut, pengusutan serius terhadap keterlibatan mafia tanah dalam proyek-proyek pendidikan dan infrastruktur harus menjadi agenda nasional. Tidak tertutup kemungkinan bahwa lembaga-lembaga yang selama ini dianggap netral justru dijadikan kendaraan legal untuk mencuci praktik perampasan tanah. Proyek-proyek pembangunan bisa menjadi kamuflase aliran dana gelap, apalagi bila tak diaudit secara menyeluruh. Negara wajib membongkar jejaring mafia ini—dari broker tanah, notaris, oknum BPN, hingga penyelenggara proyek pendidikan yang bermain dua kaki.
Akhirnya, perlu reformulasi kebijakan hibah tanah negara, yang selama ini kerap menjadi pintu masuk kejahatan agraria. Proses hibah tidak boleh hanya menjadi urusan teknokratik di atas meja birokrat. Harus ada mekanisme sosial yang mengedepankan keadilan, partisipasi publik, dan prinsip-prinsip konstitusionalitas. Pendidikan yang dibangun di atas penderitaan rakyat hanya akan melahirkan generasi yang asing terhadap nilai etika sosial. Sebab sejatinya, pendidikan bukan hanya bangunan fisik, melainkan landasan moral yang harus berpihak pada kebenaran dan keadilan.
Penutup
Negara hukum tidak boleh tunduk pada tekanan mafia tanah yang bersembunyi di balik bendera institusi pendidikan. Sebuah kampus tidak bisa dibangun di atas luka sosial dan perampasan hak rakyat. Jika lembaga pendidikan tidak lagi berpihak pada keadilan, maka ia telah kehilangan maknanya sebagai tempat pencetak insan beradab.
Dalam konflik di Hamparan Perak, negara diuji: apakah ia sungguh hadir untuk rakyat, atau sekadar menjadi perpanjangan tangan kelompok rakus tanah?
Demikian.
Penulis Advokat dan Wakil Sekretaris Bidang Hukum Dan HAM MW KAHMI Sumut
___________
Daftar Pustaka
1. Sumardjono, Maria S.W. (2008). Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya. UGM Press.
2. Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang HGU, HGB, dan Hak Pakai Atas Tanah.
3. Peraturan Presiden No. 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria.
4. Parlindungan, A.P. (1998). Komentar Hukum Agraria Indonesia. Mandar Maju.
5. Gunawan Wiradi. (2009). Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir. KPA.
6. Jimly Asshiddiqie. (2005). Hukum Tata Negara dan Pilar Konstitusi. Konstitusi Press.
7. Laica Marzuki. (2010). Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi. MKRI.
8. KPK (2021). Kajian Tata Kelola Pertanahan Nasional.
9. KPA (2023). Laporan Tahunan Konflik Agraria Nasional.
10. Kemdiktisaintek. go.id, https://kemdiktisaintek.go.id/kabar-dikti/kabar/bangun-kampus-ii-politeknik-negeri-medan-di-hamparan-perak-kemdiktisaintek-dukung-jadi-sentra-pendidikan-vokasi/
11.Sumut Pos Media online, https://sumutpos.jawapos.com/sumatera-utara/2374358975/sengketa-tanah-di-desa-hamparan-perak-ricuh
Posting Komentar
0Komentar