Oleh: Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH (Ketua Forum Penyelamat USU)
Pendahuluan
“Korupsi di kampus bukan hanya pengkhianatan terhadap uang negara, tetapi persekongkolan diam-diam untuk membunuh masa depan bangsa.”
Ungkapan itu mungkin terdengar berlebihan bagi yang belum menyimak realitas Universitas Sumatera Utara (USU) hari ini. Namun bagi siapa pun yang membaca laporan audit BPK dan BPKP secara saksama, mencermati transaksi pembelian tas mewah senilai Rp250 juta dari dana promosi pendidikan, atau menelaah kerugian beruntun kebun sawit sejak 2012 yang justru mendapat kucuran kredit jumbo Rp 228 miliar dari BNI, maka absurditas itu nyata: kampus negeri ini telah menjadi surga korup yang nyaris tak tersentuh.
Kampus, Uang, dan Kuasa: Birokrasi yang Membusuk
Berdasarkan laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) periode 2015–2023 dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) 2018–2021, terdapat penyimpangan penggunaan dana Tri Dharma Perguruan Tinggi, antara lain untuk operasional pribadi rektor, pengadaan barang tanpa bukti sah, serta pelanggaran Peraturan Rektor. Total kerugian negara mencapai Rp28 miliar. Ironisnya, sebagian dana itu berasal dari anggaran yang seharusnya digunakan untuk promosi pendidikan dan penguatan akademik.
Lebih ironis lagi, seorang petinggi kampus diduga menggunakan dana promosi tersebut untuk membeli tas Hermes seharga Rp250 juta, produk mode kelas dunia yang biasa dipakai sosialita ibu kota, bukan oleh pejabat rektorat yang gajinya bersumber dari pajak rakyat.
Sayangnya, respons institusi amat menyedihkan: diam seribu bahasa. Tidak ada klarifikasi publik, tidak ada investigasi terbuka, apalagi sanksi etik internal. Sementara mahasiswa yang telat bayar UKT beberapa hari saja langsung mendapat surat peringatan.
Sawit Rugi, Kredit Mengalir: Keanehan Ekonomi Politik Kampus
USU mengelola lahan perkebunan sawit sejak lama melalui unit bisnis berbadan hukum. Namun sejak 2012, laporan keuangan menunjukkan angka kerugian yang konsisten. Aset produktif bernilai strategis justru menjadi sumber defisit. Tapi yang paling mencengangkan, Bank Negara Indonesia (BNI) tetap mengucurkan kredit hingga Rp228 miliar ke unit sawit tersebut.
Pertanyaannya sederhana tapi penting:
Bagaimana mungkin perusahaan merugi bisa mendapat kredit sebesar itu?
Dalam prinsip perbankan, hal ini melanggar asas prudential banking dan risk management. Dua kemungkinan muncul:
1. Manipulasi laporan keuangan demi pencitraan kelayakan kredit.
2. Kolusi antara pejabat kampus dan internal bank untuk kepentingan pribadi, bukan institusi.
Kalau bukan keduanya, maka skenario ketiga lebih berbahaya: adanya tekanan politik atau elite kekuasaan yang memaksa bank negara memberikan dana jumbo ke unit usaha yang jelas-jelas bermasalah.
Teori Sistem Korupsi di Institusi Publik
Apa yang terjadi di USU bukan sekadar penyimpangan insidental. Ini adalah manifestasi dari korupsi sistemik yang dijelaskan Robert Klitgaard melalui rumus terkenalnya:
> “Korupsi = Monopoli + Diskresi – Akuntabilitas.”
Kampus seperti USU memiliki monopoli layanan pendidikan, wewenang diskresioner dalam pengelolaan dana, dan—seperti tampak sekarang—minim akuntabilitas. Maka korupsi bukan kemungkinan, tetapi keniscayaan.
Dalam perspektif James C. Scott, korupsi tidak bisa dilepaskan dari relasi kekuasaan dan budaya permisif dalam birokrasi. Ketika korupsi menjadi kebiasaan diam-diam yang ditoleransi, maka sistem telah gagal menjalankan fungsi kontrol internalnya.
Kampus Telah Membunuh Akal Sehat
Yang lebih menyedihkan dari praktik korupsi di lingkungan kampus bukan hanya kerugian negara secara nominal, melainkan pembusukan nilai-nilai moral, intelektual, dan keadilan. Kampus seharusnya menjadi benteng integritas, bukan tempat transaksi licik berkedok akademik.
Bayangkan generasi mahasiswa yang lulus dari lingkungan yang diam terhadap kebusukan rektoratnya. Mereka akan belajar bahwa diam lebih aman daripada jujur, bahwa uang bisa membeli kebenaran, dan bahwa etika hanya sekadar teks dalam mata kuliah Pancasila.
Seruan untuk Penyelamatan USU
USU hari ini adalah cermin banyak kampus negeri lainnya. Skandal USU hanya puncak gunung es dari mentalitas birokrasi pendidikan tinggi yang menjadikan kekuasaan sebagai lahan dagang. Diperlukan tindakan sistemik, antara lain:
1. Audit forensik oleh KPK dan OJK atas seluruh alur dana dan aset kampus.
2. Reformasi total tata kelola keuangan PTN-BH agar tidak menjadi sarang rente dan kroni.
3. Keterlibatan aktif mahasiswa dan masyarakat sipil dalam pengawasan kampus.
4. Pembukaan laporan keuangan kampus secara daring dan berkala sebagai bentuk transparansi publik.
Ahli Hukum Pidana Berpendapat: Ini Bukan Sekadar Etika, Tapi Pidana
Skandal USU, jika hanya dianggap sebagai pelanggaran administratif atau etika birokrasi, jelas merupakan bentuk penyederhanaan masalah yang fatal. Ini bukan soal moral saja—ini soal hukum pidana.
Prof. Romli Atmasasmita, pakar hukum pidana dan perancang Undang-Undang Tipikor, dengan tegas menyatakan bahwa:
> “Penyalahgunaan wewenang untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan merugikan keuangan negara, sudah memenuhi unsur delik korupsi dalam Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001.”
Jika pembelian tas Hermes, penyimpangan dana Tri Dharma, serta potensi manipulasi laporan keuangan unit sawit terbukti dilakukan dengan itikad jahat, maka tak ada alasan bagi aparat penegak hukum untuk tidak memprosesnya sebagai tindak pidana korupsi.
Sementara itu, Prof. Barda Nawawi Arief, guru besar hukum pidana dari Universitas Diponegoro, menegaskan:
> “Korupsi bukan semata tindakan melawan hukum, tetapi juga pelanggaran terhadap rasa keadilan masyarakat. Ketika pelaku berada di lingkungan pendidikan tinggi, maka dampaknya jauh lebih destruktif karena mencederai moral publik.”
Prof. Barda menambahkan bahwa kasus seperti ini sangat potensial untuk ditindak berdasarkan asas zero tolerance terhadap korupsi, terutama bila dilakukan oleh penyelenggara negara di sektor strategis seperti pendidikan.
Saatnya Negara Hadir, Bukan Membiarkan
Rektorat USU tidak boleh berlindung di balik status otonomi perguruan tinggi (PTN-BH) untuk menghindari akuntabilitas hukum. Otonomi bukan impunitas. Pasal 2 dan 3 UU Tipikor jelas mengatur bahwa siapa pun yang menyalahgunakan wewenang untuk memperkaya diri dan merugikan negara dapat dipidana, tak peduli posisinya sebagai akademisi, birokrat, atau pejabat kampus.
Penegakan hukum di lingkungan kampus adalah ujian keseriusan negara dalam memberantas korupsi yang struktural dan sistemik. Jika tidak dimulai dari dunia pendidikan, maka bangsa ini akan terus melahirkan generasi yang terdidik tetapi tidak bermoral.
Penutup
Jika kampus adalah pabrik masa depan bangsa, maka membiarkan kampus dibusukkan oleh korupsi berarti menyiapkan generasi tanpa masa depan. Tidak ada waktu untuk diam.
Saatnya publik bicara. Saatnya KPK bertindak. Saatnya rektorat bertanggung jawab.
Di tengah krisis kepercayaan publik terhadap institusi, kampus mestinya jadi benteng terakhir kejujuran. Tapi ketika benteng itu mulai dijarah dari dalam, hanya ada dua pilihan: melawan atau membiarkan kehancuran berlanjut.
Bagi kami yang masih percaya pada akal sehat dan integritas, diam bukan pilihan.
Demikian
Penulis Advokat, Alumni Fakultas Hukum USU Stambuk' 92, Dan Ketua Kelas Grup A.
__________
Daftar Pustaka
Laporan Audit BPK 2015–2023 dan BPKP 2018–2021 atas keuangan USU
Indonesia Audit Watch (2025). Laporan Khusus Dugaan Korupsi di Lingkungan USU
Robert Klitgaard. (1988). Controlling Corruption
James C. Scott. (1972). Comparative Political Corruption
Romli Atmasasmita (2012). Reformasi Hukum Pidana dan Peradilan di Indonesia.
Barda Nawawi Arief (2007). Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana.
UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Posting Komentar
0Komentar