Oleh: Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH (Praktis Hukum)
Pendahuluan
Dalam peta agraria Sumatera Utara, terutama wilayah eks Hak Guna Usaha (HGU) PTPN II, rakyat dan korporasi berpijak di atas tanah yang sama, namun tidak berdiri dengan pijakan yang setara. Di satu sisi, tanah-tanah tersebut pernah menjadi sumber hidup petani, tetapi di sisi lain kini menjadi proyek real estat mewah, seperti Citraland, yang memagari dan mengasingkan warga lokal dari ruang hidupnya sendiri. Ironisnya, proses ini berlangsung di tengah legitimasi negara melalui perusahaan negara, PTPN II, yang melego lahan eks HGU kepada para pengembang. Seolah tanah ini adalah "Megara Bebas"—tanah tanpa tuan, tanpa jejak sejarah agraria, dan bebas dialihkan kepada siapa saja yang memiliki kuasa modal.
Tanah Negara Bebas: Sebuah Kekeliruan Konstitusional
Istilah “tanah negara bebas” (free state land) sering dipakai untuk melegitimasi penguasaan lahan oleh negara atau perusahaan negara pasca-HGU berakhir. Namun, menurut Prof. Jimly Asshiddiqie, tanah bukanlah objek bebas nilai yang bisa dikomodifikasi seenaknya. Dalam pandangan beliau, pengelolaan tanah oleh negara harus selalu berdasar pada prinsip constitutional morality, yakni keadilan sosial dan perlindungan hak-hak dasar rakyat.
Sementara itu, Prof. Laica Marzuki, mantan Hakim Konstitusi, menegaskan bahwa negara tidak boleh mengklaim tanah eks HGU sebagai milik negara tanpa proses verifikasi sosial dan sejarah penguasaan faktual oleh rakyat. Dalam forum-forum akademik, Laica sering menyebut, "Negara adalah pelindung, bukan pemilik tanah. Kepemilikan negara atas tanah harus dimaknai dalam konteks penguasaan untuk kepentingan rakyat, bukan untuk pasar."
Prof. Dr. A.P. Parlindungan Lubis, SH, pakar hukum tata negara dari Universitas Sumatera Utara (USU), dalam banyak kesempatan menyatakan bahwa tanah yang telah habis masa HGU-nya dan secara nyata telah dikuasai rakyat harus diakui keberadaannya melalui instrumen hukum agraria yang adil. "Tidak ada yang namanya tanah bebas dalam sistem hukum Indonesia. Setiap jengkal tanah memiliki sejarah sosial dan politiknya sendiri," ujarnya dalam salah satu kuliah umum di Medan.
Sedangkan Prof. Budi Harsono, dalam karya monumentalnya Hukum Agraria Indonesia (1999), menyebut bahwa tanah negara bukanlah milik negara dalam arti absolut. Negara hanyalah penguasa, bukan pemilik. Dalam Pasal 2 UUPA, ditegaskan bahwa “negara menguasai bumi, air dan kekayaan alam... untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Maka, konsep tanah negara bebas adalah bentuk penyimpangan dari asas “penguasaan negara yang bersifat publik”.
Landasan Teoritis dan Hukum: Negara Sebagai Trustee Rakyat
Jika mengikuti teori public trust doctrine, maka negara bertindak sebagai pengaman amanah (trustee) atas sumber daya alam. Negara tidak boleh menjual atau mengalihkan tanah kepada pihak lain tanpa terlebih dahulu memastikan bahwa hak rakyat tidak dilanggar. Hal ini sejalan dengan asas “social function of land” yang menjadi inti dari UUPA 1960.
Karenanya, ketika PTPN II—atas nama negara—menjual atau menyerahkan tanah eks HGU kepada pengembang tanpa proses redistribusi terlebih dahulu kepada petani dan warga yang telah lama menguasainya, maka negara telah gagal menjalankan fungsi konstitusionalnya.
Lahan Eks HGU: Sumber Sengketa Struktural
Lahan eks HGU PTPN II seluas lebih dari 5.873 hektare, sebagaimana disebut dalam Laporan Ombudsman RI (2020), merupakan warisan kolonial yang harusnya dikembalikan kepada rakyat, sesuai dengan amanat Reforma Agraria dalam UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960. Namun alih-alih disalurkan kepada petani, lahan ini justru dijadikan objek transaksi, konsesi, dan spekulasi properti. Pemerintah pusat hingga daerah kerap abai terhadap prinsip land tenure security bagi masyarakat yang sudah puluhan tahun mendiami dan menggarap tanah tersebut.
Menurut laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA, 2022), konflik agraria paling besar di Sumatera Utara justru terjadi di wilayah eks HGU PTPN II. Tercatat 34 titik konflik berlangsung selama lima tahun terakhir, dengan aktor dominan adalah BUMN (PTPN II) dan pengembang properti seperti Ciputra Group melalui Citraland.
Teori Kuasa Tanah: Siapa Berdaulat atas Bumi?
Dalam pandangan David Harvey, ruang bukanlah sesuatu yang netral, tetapi dibentuk dan diperebutkan oleh kekuasaan. "Spatial fix" dalam logika kapitalisme adalah cara korporasi dan negara menciptakan nilai dari tanah dengan mengubah fungsi sosialnya menjadi fungsi komersial. Di sinilah posisi rakyat menjadi subordinat: mereka dianggap ilegal, liar, bahkan kriminil, hanya karena bertahan hidup di tanah yang dahulu mereka garap.
Ketika Citraland membangun pagar dan menciptakan gated community di atas tanah rakyat, sesungguhnya itu adalah simbol eksklusi sosial. Ruang dibelah, akses dibatasi, dan makna tanah sebagai “hidup bersama” dihancurkan menjadi “ruang investasi”.
PTPN II: Dari Lembaga Negara Menjadi Agen Kapital?
Sebagai BUMN, PTPN II seharusnya tunduk pada konstitusi pasal 33 UUD 1945: bumi dan kekayaan alam dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Namun realitas di lapangan menunjukkan penyimpangan mendasar. Dengan berbagai skema kerja sama dan penjualan lahan ke pihak swasta, PTPN II telah menjelma menjadi “perusahaan negara” dalam makna kapitalis, bukan “lembaga negara” dalam makna sosial-ekonomi.
Laporan BPK tahun 2019 menunjukkan adanya inkonsistensi data penguasaan dan pelepasan lahan oleh PTPN II. Bahkan dalam beberapa kasus, terjadi tumpang tindih sertifikat antara PTPN II dan klaim warga, yang menyebabkan ketidakpastian hukum (legal uncertainty) berkepanjangan.
Tuan Ku: Elite Lokal yang Merasa, PTPN Mengabaikan, CitraLand Melaju Terus
Tak semua penguasa tanah datang dalam bentuk korporasi raksasa. Di banyak kasus, justru mereka yang menyebut dirinya sebagai “pewaris adat”, “tuan tanah”, atau elite lokal memainkan peran paling menentukan dalam memuluskan alih fungsi lahan dari rakyat ke pasar. Dengan berbekal klaim historis, mereka mendudukkan diri seolah pemilik sah tanah eks HGU yang telah ditinggalkan atau dikuasai rakyat bertahun-tahun. Klaim ini kemudian diperdagangkan—ditukar dengan harga miliaran rupiah dalam transaksi senyap bersama pengembang properti.
PTPN II sebagai pemegang HGU sebelumnya, acap kali memilih jalan abai dan kompromistis. Dalam banyak kasus, perusahaan negara itu tidak menjalankan fungsi verifikasi sosial sebagaimana amanat UU Agraria dan instruksi reforma agraria nasional. Alih-alih memperjelas status tanah, PTPN justru membuka ruang bagi broker tanah lokal untuk menengahi urusan yang semestinya menjadi proses redistribusi tanah rakyat. Negara diwakili BUMN, tapi tak hadir untuk rakyat.
Fenomena ini memperlihatkan persekutuan oligarki lokal dan kapitalisme properti dalam format paling telanjang. Mereka yang seharusnya menjadi penjaga sejarah dan pewaris moral atas tanah adat, justru berubah menjadi makelar dan calo bersertifikat. Keberadaan elite lokal bukan memperjuangkan hak kolektif masyarakat adat, melainkan menjadi pelicin bagi masuknya modal properti raksasa. Di titik ini, keadilan agraria dibeli—dengan legalitas yang dibungkus adat, dan kekuasaan yang dibungkus investasi.
Citraland dan pengembang lain melaju tanpa hambatan, membangun pagar, jalan, dan kompleks mewah di atas lahan konflik. Sementara itu, petani dan warga penggarap yang bertahan puluhan tahun hanya dihitung sebagai beban, bukan pemilik sejarah. Negara, baik dalam bentuk PTPN maupun lembaga agraria, terus-menerus gagal membedakan antara penguasaan hukum yang sah dan penguasaan sosial yang nyata. Ketika negara menjadi pelindung investor, rakyat kehilangan tanah tanpa pernah dihitung sebagai pihak yang punya hak.
Kita sedang menyaksikan bentuk baru kolonialisme agraria: bukan oleh bangsa asing, melainkan oleh tuan-tuan lokal yang bersekutu dengan kapital. Narasi adat dan budaya dikooptasi menjadi alat legitimasi, bukan pembebasan. Jika negara tetap diam, maka tanah-tanah itu akan menjadi saksi sejarah tentang rakyat yang dikalahkan dua kali: pertama oleh kekuasaan, kedua oleh bangsanya sendiri.
Jalan Keluar: Reforma Agraria Bukan Basa-Basi
Pemerintahan Prabowo ke depan harus menuntaskan ketimpangan agraria ini dengan langkah konkret: inventarisasi ulang seluruh lahan eks HGU, moratorium sementara transaksi lahan bermasalah, dan redistribusi tanah langsung kepada petani. Reforma agraria harus menjadi political will, bukan sekadar retorika dalam pidato.
Konflik tanah di Megara Bebas ini bukan sekadar persoalan hukum tanah, tapi juga menyangkut hak asasi, keadilan sosial, dan masa depan pertanian Indonesia. Negara tidak boleh absen, apalagi menjadi agen dari ketimpangan yang diderita rakyatnya sendiri.
Penutup
Mengutip Prof. Jimly Asshiddiqie, “Hukum tidak boleh kehilangan arah moralnya.” Dalam kasus tanah eks HGU PTPN II, kita sedang menyaksikan hukum yang dikaburkan oleh kekuasaan ekonomi. Dan ketika rakyat kecil ditendang dari tanahnya atas nama investasi, sesungguhnya negara sedang kehilangan arah etiknya.
Negara harus hadir sebagai pelindung, bukan sekadar pengelola aset. Reforma agraria bukan pilihan, tapi mandat konstitusi. Jika negara terus mengabaikannya, maka rakyat punya hak moral dan politik untuk menggugatnya—melalui hukum, perlawanan sipil, dan sejarah.
Demikian.
Penulis Advokat Dan Wakil Sekretaris Bidang Hukum Dan HAM MW KAHMI Sumut
______________
Daftar Pustaka
1. Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960.
2. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK RI). (2020). Laporan Hasil Pemeriksaan atas Aset Tanah Eks HGU PTPN II di Sumatera Utara.
– Menyoroti potensi maladministrasi dan lemahnya pengawasan dalam pelepasan aset tanah kepada pihak ketiga.
3. KPA. (2022). Catatan Akhir Tahun: Konflik Agraria Nasional.
4. Harvey, David. (2003). The New Imperialism. Oxford University Press.
5. Jimly Asshiddiqie. (2006). Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press.
6. Budi Harsono. (1999). Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta: Djambatan.
7. Laica Marzuki. (2008). Negara Hukum dan Hak Asasi. Jakarta: Kompas.
8. Parlindungan Lubis, A.P. (2010). Hukum Tata Negara dan Tanah dalam Perspektif UUD 1945. Medan: Pustaka USU.
9. Van Vollenhoven, C. (1919). Het Adatrecht van Nederlandsch-Indië. Leiden: Brill.
– Menjadi rujukan awal tentang bagaimana adat digunakan sebagai legitimasi kekuasaan tanah oleh elite tradisional.
10.Tempo. (2022). Broker Tanah di Tengah Reforma Agraria. Laporan investigasi khusus edisi konflik agraria.
– Dokumentasi peran calo tanah dan elite lokal dalam konflik agraria modern.
11. Ombudsman Republik Indonesia. (2021). Kajian Maladministrasi Redistribusi Tanah Eks HGU di Sumatera Utara.
– Kajian lembaga pengawas negara terhadap praktik "jual-beli tanah rakyat" oleh elite lokal dan BUMN
Posting Komentar
0Komentar