Pendahuluan
Demokrasi kerap disebut sebagai sistem pemerintahan terbaik yang pernah diciptakan oleh manusia. Dengan janjinya untuk menghadirkan keadilan, kesetaraan, dan kebebasan, demokrasi seolah menjadi kiblat politik modern yang dirindukan banyak bangsa. Namun, dalam praktiknya, demokrasi tidak selalu menjelma sebagaimana idealnya. Di Indonesia, realitas demokrasi sering kali tampil dalam wajah yang penuh ironi: prosedural namun minim substansi, meriah dalam pemilu namun miskin dalam keadilan sosial.
Dalam konteks ini, munculnya tokoh-tokoh pewayangan seperti Petruk, Gareng, dan Semar dalam wacana kritik sosial menjadi menarik untuk dijadikan medium refleksi. Ketiganya tidak hanya representasi kebijaksanaan rakyat jelata, tetapi juga simbol perlawanan terhadap kekuasaan yang pongah. Dalam kisah pewayangan Jawa, mereka bukan sekadar pelawak istana, tetapi pengamat sosial yang tajam dan jujur. Ketika mereka berbicara soal demokrasi, maka sesungguhnya mereka sedang menyingkap wajah asli dari sistem yang acap kali hanya menjadi jargon elit.
Tulisan ini berupaya menghadirkan kritik demokrasi ala Petruk, Gareng, dan Semar sebagai narasi tandingan atas demokrasi elitis. Dengan pendekatan satiris dan humoris khas budaya Jawa, perbincangan ketiganya menjadi ruang kontemplatif yang menyentil nalar kritis publik terhadap situasi demokrasi kontemporer Indonesia.
Cerita Lakon Petruk, Gareng, dan Sema
Semar (menyandarkan badan di batang pohon waru):
“Heh, anak-anakku Petruk, Gareng… apakah kalian tahu apa itu demokrasi?”
Petruk (menyeringai lebar):
“Demokrasi itu… kalau rakyat katanya berkuasa, tapi kenyataannya malah elite yang kuasai semuanya, Begawan. Pokoknya asal bisa nyoblos, sudah dibilang demokrasi.”
Gareng (menggaruk kepala):
“Lho, lho, tapi kalau tak ada demokrasi, rakyat tak bisa ngomong apa-apa. Kalau protes bisa diciduk. Jadi bagaimanapun demokrasi itu penting, meski kadang cuma kulitnya.”
Semar (menghela napas dalam):
“Hmmm… memang benar kata si Robert Dahl dari negeri seberang sana. Katanya, demokrasi itu bagus, karena menjauhkan rakyat dari tirani. Tapi demokrasi tanpa isi itu seperti wayang tanpa dalang—tak ada makna, hanya gerakan kosong.”
Petruk (menyikut Gareng):
“Nah lo! Itu kayak pemilu kita to, Rek? Ramai, gegap gempita, tapi ujungnya ya tetep itu-itu juga yang menang. Rakyat disuruh milih, tapi calonnya dipilih elit juga.”
Gareng:
“Tapi kan itu sudah kehendak rakyat, Truk.”
Petruk:
“Heh, Gareng, kalau rakyat dikasih pilihan antara nasi basi dan nasi keras, lalu diminta milih yang terbaik, itu bukan pilihan. Itu paksaan dengan kemasan demokrasi.”
Semar (dengan nada tenang namun dalam):
“Anak-anakku… Demokrasi yang sejati itu bukan hanya soal coblosan lima tahun sekali. Tapi soal partisipasi, keadilan, dan kesejahteraan. Kalau demokrasi hanya jadi dalih untuk rebut kekuasaan, itu namanya 'demokrasi pokoknya'. Pokoknya menang, pokoknya berkuasa, pokoknya korup duluan.”
Petruk (manggut-manggut):
“Jadi demokrasi itu bisa jadi topeng juga ya, Begawan?”
Semar:
“Betul, Nak. Bahkan negeri adidaya macam Amerika pun memakai topeng itu. Bicaranya soal kebebasan dan hak asasi, tapi di balik itu semua ada kepentingan minyak, senjata, dan hegemoninya.”
Gareng:
“Jadi yang benar itu apa, Begawan? Kita harus bagaimana?”
Semar (menatap ke langit senja):
“Yang benar adalah kembali ke niat awal demokrasi: agar rakyat tidak ditindas, agar keadilan bisa dirasakan, dan agar pemimpin menjadi pelayan, bukan majikan. Tapi semua itu butuh rakyat yang sadar, bukan sekadar ikut arus.”
Petruk:
“Berarti tugas kita bukan cuma mencoblos ya, tapi juga mikir, kritis, dan jangan gampang dibohongi janji-janji?”
Semar:
“Betul, Petruk. Demokrasi tanpa akal sehat dan nurani, hanyalah pesta yang mengabaikan kelaparan di luar pagar.”
Catatan Penutup:
Dalam lakon kehidupan, Petruk, Gareng, dan Semar bukan sekadar tokoh dagelan. Mereka cerminan nalar rakyat, pengingat agar kita tak terjebak dalam euforia demokrasi palsu yang dikendalikan elite dan kepentingan asing. Demokrasi seharusnya bukan "pokoknya", tapi "bagaimana"—yakni bagaimana membuatnya adil, partisipatif, dan membebaskan rakyat dari kemiskinan struktural.
Demikian
Penulis Adv. M.Taufik Umar Dani Harahap, SH. Merupakan Pengiat Demokrasi, Tercatat Sebagai Komisioner KPU Kota Medan Periode 2003-2008.
_____
DAFTAR REFERENSI
1. Dahl, Robert A. (2000). On Democracy. Yale University Press.
> Buku ini menjelaskan konsep dan prinsip demokrasi modern, serta mengapa demokrasi dipandang sebagai bentuk pemerintahan terbaik.
2. Held, David. (2006). Models of Democracy. Stanford University Press.
> Menguraikan berbagai model demokrasi dari klasik hingga kontemporer, termasuk kritik terhadap demokrasi liberal.
3. Huntington, Samuel P. (1991). The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century. University of Oklahoma Press.
> Mengkaji gelombang demokratisasi dunia pasca-perang dingin dan tantangan pelaksanaannya di negara-negara berkembang.
4. Schumpeter, Joseph A. (1942). Capitalism, Socialism and Democracy. Harper & Brothers.
> Menyatakan bahwa demokrasi modern merupakan kompetisi elit melalui pemilu, bukan partisipasi langsung rakyat.
5. Pye, Lucian W. (1985). Asian Power and Politics: The Cultural Dimensions of Authority. Harvard University Press.
> Relevan untuk memahami konteks demokrasi di Asia, termasuk Indonesia, yang sering kali terwarnai oleh budaya paternalistik dan oligarki.
6. Kompas.com dan Tempo.co
> Sumber aktual tentang perkembangan demokrasi di Indonesia, termasuk isu pemilu, korupsi politik, dan dinamika partai.
7. Hadiz, Vedi R. (2005). Dinasti, Oligarki dan Kelembagaan Demokrasi di Indonesia. Prisma, No. 1 Tahun 2005.
> Membahas bagaimana demokrasi di Indonesia tersandera oleh oligarki dan elite politik
8. Winters, Jeffrey A. (2011). Oligarchy. Cambridge University Press.
> Menyatakan bahwa di balik demokrasi modern, kekuasaan tetap terkonsentrasi di tangan segelintir elit ekonomi.
9. KOMPILASI NASKAH WAYANG oleh R.M. Soetanto (1997). Wayang dan Filosofi Jawa. Balai Pustaka.
> Menjadi referensi karakter tokoh-tokoh pewayangan seperti Semar, Petruk, dan Gareng sebagai simbol rakyat dalam kritik sosial.
10. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya Pasal 1 ayat (2) dan (3)
> Menjadi dasar konstitusional bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan negara berdasarkan hukum.
Posting Komentar
0Komentar