Oleh: Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH (Praktisi Hukum)
Pendahuluan
"Adagium UUPA No.5 Tahun 1960 :
Tanah Untuk Rakyat, Tanah Untuk Petani"
Pemerintah melalui Menteri ATR/BPN, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), baru-baru ini menyatakan bahwa 5.873 hektare lahan eks-HGU PTPN di Sumatera Utara kini berstatus tanah negara bebas. Ini seharusnya menjadi kabar baik bagi agenda reforma agraria dan keadilan sosial. Namun, di balik pernyataan itu, terdapat fakta mencemaskan: sebagian besar lahan eks-HGU tersebut telah menjadi perumahan komersial tanpa kepastian status hukum yang jelas.
Ketika HGU Berakhir, Siapa yang Berdaulat?
Berdasarkan Pasal 27 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960, HGU yang telah berakhir masa berlakunya, secara hukum kembali menjadi tanah negara. Hal ini diperkuat oleh Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 dan Peraturan Menteri ATR/BPN No. 18 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penetapan Tanah Telantar. Artinya, tidak ada pihak yang otomatis memiliki hak atas tanah eks-HGU, kecuali melalui prosedur permohonan hak baru kepada negara.
Namun realitas di Sumatera Utara membuktikan sebaliknya. Tanpa pelepasan resmi, sejumlah pihak swasta telah membangun kompleks perumahan dan memperdagangkan kavling di atas tanah negara tersebut. Konflik agraria pun mengintai, tidak hanya antara rakyat dan korporasi, tetapi juga antara negara dan warga yang menjadi korban tata kelola pertanahan yang lemah.
Bank Tanah: Solusi atau Justifikasi?
UU Cipta Kerja memperkenalkan konsep Badan Bank Tanah—lembaga pengelola tanah negara untuk reforma agraria dan proyek strategis nasional. Dalam teori agraria kritis (lihat: Sartono Kartodirdjo, 1992; Barry Crown, 2008), Bank Tanah dapat menjadi instrumen keadilan apabila dikelola transparan. Namun dalam praktiknya, badan ini berpotensi justru menjadi alat legalisasi alih fungsi aset publik ke kepentingan privat.
Pertanyaan kuncinya: apakah lahan eks-HGU yang telah dibangun perumahan itu masuk ke dalam skema Bank Tanah, dan jika ya, mengapa digunakan untuk kepentingan komersial tanpa proses alokasi yang adil dan terbuka?
Dari Reforma Agraria ke Tanah Bagi Pemilik Kapital
Penelusuran data ATR/BPN dan laporan lembaga masyarakat sipil seperti Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menunjukkan bahwa sejak 2010 hingga 2023, konflik agraria di wilayah eks-HGU terus meningkat, khususnya di Deli Serdang, Langkat, dan Labuhan Batu. Lahan eks-HGU sering kali tidak kembali ke petani, tetapi justru dikuasai oleh pengembang melalui jalur cepat.
Hal ini bertentangan dengan Tujuan Reforma Agraria (TORA) yang dijanjikan pemerintah, serta prinsip “tanah untuk rakyat” sebagaimana digariskan dalam TAP MPR No. IX/2001 dan Perpres No. 86 Tahun 2018. Ketika tanah negara lebih mudah diakses oleh modal besar dibandingkan rakyat miskin, maka negara secara tidak langsung memproduksi tanah bagi pemilik kapital, bukan reforma agraria.
*Keadilan Agraria dan Jalan Keluar*
Dibutuhkan audit menyeluruh terhadap:
1. Legalitas HGB yang terbit di atas eks-HGU,
2. Alokasi tanah negara kepada pengembang,
3. Proyek perumahan di atas tanah negara bebas yang seharusnya menjadi prioritas reforma agraria.
Keterlibatan KPK, Ombudsman, dan BPK penting dalam mengawal keabsahan alih hak atas tanah ini. Pemerintah daerah dan pusat wajib membuka data spasial pertanahan agar masyarakat tahu: mana tanah negara, mana tanah rakyat, dan mana yang sedang diperebutkan modal.
Pertanggungjawaban Hukum Publik terhadap Eks-HGU: Data Lapangan dan Perbandingan Hukum
Dalam memahami pertanggungjawaban hukum publik terhadap tanah eks-HGU, penting untuk memetakan data lapangan yang relevan dan melakukan perbandingan dengan sistem hukum negara lain yang memiliki pengalaman serupa dalam mengelola tanah negara dan eks-HGU. Dalam hal ini, data lapangan akan memberikan gambaran nyata tentang dinamika pertanahan yang terjadi di Sumatera Utara, sementara perbandingan hukum akan membantu memberikan perspektif lebih luas tentang solusi dan kemungkinan penegakan hukum.
A. Data Lapangan: Kasus Lahan Eks-HGU di Sumut
Menurut data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) yang dirilis pada tahun 2023, terdapat sekitar 12.000 hektare lahan eks-HGU yang dikuasai oleh pengembang dan korporasi di Sumatera Utara, dengan sebagian besar berasal dari bekas lahan PTPN. Data yang lebih rinci menunjukkan bahwa setidaknya 5.873 hektare di antaranya kini masuk dalam kategori tanah negara bebas, yang seharusnya digunakan untuk tujuan reforma agraria atau proyek strategis nasional, bukan untuk kepentingan perumahan komersial.
Proyek perumahan yang dibangun di atas lahan eks-HGU tanpa mekanisme alih hak yang sah menimbulkan kerugian yang cukup besar, baik bagi negara maupun masyarakat. Dalam beberapa kasus, pembangunan tersebut tidak didahului dengan proses pengalihan status lahan yang jelas. Hal ini terbukti dari laporan Ombudsman yang mencatat bahwa proses legalisasi tanah menjadi HGB di atas lahan eks-HGU seringkali tidak transparan dan melibatkan konflik kepentingan.
Sebagai contoh, perusahaan developer PT XYZ yang mengembangkan lahan perumahan di Kabupaten Deli Serdang pada tahun 2019, sempat dikritik karena tidak memiliki izin resmi untuk mengelola tanah tersebut. Masyarakat yang tinggal di area sekitar juga mengungkapkan bahwa mereka tidak pernah dilibatkan dalam proses konsultasi yang seharusnya dilakukan dalam program redistribusi tanah negara.
Perbandingan Hukum: Pengelolaan Tanah Negara di Negara Lain
Dalam membandingkan pengelolaan tanah negara, kita bisa melihat beberapa negara yang memiliki pengalaman serupa dalam menangani eks-HGU atau tanah negara. Dua negara yang bisa dijadikan referensi dalam hal ini adalah Brasil dan Filipina.
1. Brasil: Reforma Agraria yang Lebih Transparan Brasil memiliki Instituto Nacional de Colonização e Reforma Agrária (INCRA) yang bertugas mengelola tanah negara, terutama tanah-tanah yang sebelumnya dimiliki oleh perusahaan besar atau HGU yang telah habis masa berlakunya. INCRA bertindak tidak hanya sebagai badan administratif tetapi juga memiliki fungsi pengawasan sosial untuk memastikan redistribusi tanah dilakukan dengan adil. Reforma agraria di Brasil juga diatur dengan sangat jelas dalam Konstitusi Brasil (Pasal 184-191), yang memastikan bahwa tanah negara digunakan untuk kepentingan rakyat, dan penyalahgunaan oleh pihak swasta akan dikenakan sanksi tegas.
Dalam hal perumahan, Brasil memiliki pemerintah lokal yang aktif mengontrol peralihan status tanah negara ke HGB atau sertifikat perumahan, sehingga masyarakat tidak bisa sembarangan membeli tanah dari developer tanpa memeriksa legalitasnya terlebih dahulu. Pendekatan ini memastikan bahwa tanah negara tidak jatuh ke tangan pengembang besar tanpa tujuan sosial yang jelas.
2. Filipina: Pendekatan Hukum Agraria yang Kritis Filipina, melalui Department of Agrarian Reform (DAR), telah berulang kali menghadapi masalah serupa terkait pengalihan tanah negara dan eks-HGU. Sistem mereka mirip dengan Indonesia, namun dalam praktiknya, mereka lebih mengedepankan keterlibatan masyarakat dalam keputusan terkait tanah negara. Di Filipina, setiap program pengalihan tanah harus melibatkan komunitas lokal yang berpotensi mendapat manfaat dari redistribusi tanah, dan badan pemerintah harus melakukan verifikasi terhadap status tanah yang akan dialihkan ke sektor swasta.
Proses hukum yang sangat transparan ini tidak hanya memberi hak kepada petani atau warga miskin, tetapi juga mempersempit ruang bagi praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang oleh oknum pemerintahan dan pengembang. Sebagai contoh, dalam sebuah kasus yang terjadi pada tahun 2018, tanah negara yang sebelumnya dikelola oleh perusahaan besar di pulau Mindanao dikembalikan ke petani dengan proses hukum yang sangat terbuka, yang mendapat apresiasi dari organisasi masyarakat sipil.
B. Perbandingan Hukum Indonesia dengan Brasil dan Filipina
Melihat perbandingan hukum ini, Indonesia memiliki banyak peluang untuk belajar dari sistem di Brasil dan Filipina. Proses legalisasi tanah eks-HGU seharusnya tidak hanya dijalankan oleh ATR/BPN secara administratif, tetapi harus melibatkan partisipasi aktif masyarakat yang memiliki hak atas tanah tersebut. Keterbukaan dan transparansi dalam pengelolaan tanah negara harus menjadi prinsip utama agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang oleh pihak swasta atau pengembang.
Selain itu, negara harus menegakkan akuntabilitas dalam pengelolaan tanah negara, dengan memastikan bahwa lahan yang sudah dikategorikan tanah negara bebas benar-benar dimanfaatkan untuk kepentingan publik dan bukan untuk kepentingan korporasi atau individu tertentu yang memiliki akses lebih besar terhadap pengambil keputusan. KPK, Ombudsman, dan BPK perlu terlibat lebih aktif dalam audit dan pengawasan terhadap seluruh proses pengalihan status tanah ini.
Pertanggungjawaban Hukum Terhadap Eks-HGU PTPN di Sumatera Utara
Pernyataan Kepala BPN/ATR Nusron Wahid bahwa 5.873 hektare lahan eks-HGU PTPN di Sumatera Utara kini berstatus tanah negara bebas, membuka kembali perdebatan klasik: siapa yang paling berhak atas tanah eks konsesi negara? Apakah rakyat yang selama ini tinggal dan menggantungkan hidupnya di atas lahan tersebut, negara melalui skema reforma agraria, atau segelintir pemodal properti yang menjadikannya komoditas investasi? Dalam ketimpangan agraria yang semakin kompleks ini, pertanggungjawaban hukum publik menjadi pangkal kritis yang harus dijawab negara secara adil dan transparan.
Pelepasan Hak Guna Usaha (HGU) ke Hak Guna Bangunan (HGB), terutama bagi pengembang yang membangun perumahan di atas eks-lahan BUMN seperti PTPN, menimbulkan banyak pertanyaan hukum dan sosial. Di sejumlah wilayah seperti Deli Serdang, Langkat, dan Binjai, lahan eks-HGU justru dikuasai oleh pihak ketiga tanpa melalui proses distribusi reforma agraria kepada masyarakat sekitar. Padahal, menurut Putusan MA No. 227 K/TUN/2012 dan Perpres No. 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria, tanah eks-HGU yang tidak diperpanjang wajib kembali menjadi tanah negara untuk didistribusikan demi keadilan sosial.
Menurut Prof. A.P. Parlindungan, pakar hukum agraria terkemuka dari Universitas Sumatera Utara, tanah eks-HGU—terutama milik PTPN II—harus diprioritaskan bagi petani penggarap, rakyat kecil, dan warga yang telah lama bermukim di atasnya. Ia menegaskan bahwa penguasaan fisik dan hubungan historis masyarakat atas tanah tersebut merupakan dasar moral dan yuridis untuk redistribusi, bukan justru dilepaskan kepada pemodal besar atas nama pembangunan perumahan elit atau investasi.
Ironi terjadi saat lahan tersebut malah dikuasai oleh entitas swasta melalui mekanisme land banking. Lembaga Bank Tanah yang dibentuk melalui PP No. 64 Tahun 2021, idealnya bertugas mengelola tanah negara demi kepentingan umum. Namun dalam praktiknya, Bank Tanah belum menunjukkan keberpihakan nyata pada rakyat kecil. Di beberapa kasus, tanah negara justru menjadi instrumen spekulasi aset untuk proyek properti berskala besar, bukan untuk redistribusi kepada petani atau masyarakat adat.
UUPA 1960 menyatakan bahwa tanah negara harus dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Tetapi dalam kenyataannya, banyak eks-HGU yang seharusnya diredistribusi justru dialihfungsikan secara cepat menjadi kawasan perumahan elit tanpa proses hukum yang transparan. Proses alih status menjadi HGB sering tidak melibatkan konsultasi publik, apalagi partisipasi masyarakat lokal. Ini menunjukkan lemahnya akuntabilitas negara dalam menjalankan mandat reforma agraria secara substansial.
Begitupun Serikat Petani Indonesia (SPI) secara konsisten menegaskan bahwa tanah negara bebas, khususnya yang merupakan eks-HGU milik PTPN 2 di Sumatera Utara, harus diprioritaskan untuk petani kecil dan rakyat tak bertanah. Ketua Umum SPI, Henry Saragih, dalam berbagai pernyataannya menekankan bahwa redistribusi tanah harus berpihak kepada keadilan agraria yang menjadi semangat reforma agraria sejati, sebagaimana mandat UUPA 1960.
SPI memandang bahwa praktik pengalihan tanah eks-HGU kepada korporasi atau pengembang properti melalui skema bank tanah adalah bentuk penyimpangan dari cita-cita konstitusi. Mereka mengkritik keras tindakan penguasaan tanah oleh swasta yang seringkali mengabaikan keberadaan petani penggarap yang telah lama bermukim dan bekerja di atas lahan tersebut.
“Ini bentuk pemiskinan struktural terhadap petani, yang seharusnya menjadi subjek utama reforma agraria,” tegas Henry Saragih.
SPI menuntut agar Kementerian ATR/BPN dan Badan Bank Tanah membuka data dan proses redistribusi lahan secara transparan dan partisipatif, serta mengutamakan verifikasi sosial untuk mengidentifikasi masyarakat yang berhak atas tanah tersebut, bukan menyerahkannya kepada kepentingan elite ekonomi.
Kemudian, menurut data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) tahun 2023, terdapat lebih dari 12.000 hektare lahan eks-HGU di Sumatera Utara yang bermasalah secara hukum dan sosial. Banyak dari lahan ini kini diklaim oleh pengembang, dengan perizinan yang diragukan proses pelepasannya. Bahkan Ombudsman RI dalam laporan 2022 mencatat beberapa perumahan berdiri di atas tanah negara tanpa pelepasan hak yang sah. Di sisi lain, warga yang menempati tanah tersebut puluhan tahun tidak mendapatkan kejelasan hukum.
Dalam konteks global, Filipina dan Brasil menjadi contoh reformis. Di Brasil, INCRA (Instituto Nacional de Colonização e Reforma Agrária) mengalokasikan lahan eks-konsesi langsung kepada petani miskin dengan mekanisme pengawasan rakyat. Di Filipina, Department of Agrarian Reform melibatkan organisasi tani dan memastikan bahwa tanah eks-negara bukan untuk spekulasi pasar. Indonesia, dengan semangat UUPA dan cita-cita reforma agraria, seharusnya bisa menempuh jalan yang sama.
Oleh karena itu, pertanggungjawaban hukum publik atas alih fungsi lahan eks-HGU sangat penting. Pemerintah tidak cukup hanya menyatakan status tanah sebagai “negara bebas”. Harus ada kejelasan: bagaimana mekanisme redistribusi dijalankan? Siapa yang mendapatkan hak? Apakah prosesnya terbuka dan adil? Tanpa kejelasan ini, Bank Tanah hanya akan menjadi wajah baru dari privatisasi aset negara yang dibungkus jargon kesejahteraan.
Penutup
Secara keseluruhan, pertanggungjawaban hukum publik terhadap eks-HGU harus diambil dengan serius. Proses pengalihan tanah negara harus mengutamakan transparansi, partisipasi masyarakat, dan akuntabilitas pemerintah. Indonesia perlu belajar dari pengalaman negara-negara seperti Brasil dan Filipina untuk menciptakan sistem pengelolaan tanah yang adil dan bermanfaat bagi semua lapisan masyarakat, bukan hanya segelintir pihak. Dengan pendekatan yang lebih holistik dan integratif, kita dapat mencegah agar tanah negara tidak jatuh ke tangan yang salah dan memastikan bahwa reforma agraria berjalan sesuai dengan tujuan awalnya: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Begitupun, Bank Tanah seharusnya menjadi lumbung keadilan, bukan ladang bisnis elite. Lahan eks-HGU adalah aset publik yang harus dikembalikan kepada rakyat, bukan dialihfungsikan secara diam-diam menjadi alat akumulasi kapital. Jika tidak, mimpi reforma agraria sejati sesuai UUPA No 5 Tahun 1960 dengan adagium "Tanah Untuk Rakyat, Tanah Untuk Petani" hanya akan menjadi slogan tanpa makna.
Demikian.
Penulis Ketua Pusat Bantuan Hukum Petani DPW SPI Sumut Periode 2009-2014
__________
Daftar Pustaka:
1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA)
2. UU Cipta Kerja No. 11 Tahun 2020
3. Perpres No. 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria
4. Perpres No. 113 Tahun 2021 tentang Bank Tanah
5. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Catatan Akhir Tahun Konflik Agraria. 2023.
6. Parlindungan, A.P. (2009). Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria. Mandar Maju.
7. Sartono Kartodirdjo. Pengantar Agraria dan Politik Rakyat. Pustaka Pelajar, 1992.
8. Putusan MA No. 227 K/TUN/2012 tentang Tanah Negara Bebas.
9. Peraturan Presiden No. 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria.
10. Peraturan Pemerintah No. 64 Tahun 2021 tentang Bank Tanah.
11. Laporan Ombudsman RI 2022 tentang Maladministrasi Pertanahan.
12. Food and Agriculture Organization (FAO), Land Tenure Studies: Brazil and Philippines Models, 2020.
13. Serikat Petani Indonesia (SPI). (2023). Pernyataan Sikap SPI: Redistribusi Tanah Eks-HGU Harus Prioritaskan Petani.
https://spi.or.id/spi-menyambut-baik-kementerian-atr-meredistribusikan-tanah-masa-hgu-berakhir-dan-terlantar-untuk-atasi-krisis-pangan/
2. Henry Saragih. (2022). Reforma Agraria Jalan Keadilan untuk Petani Kecil. Diskusi publik SPI di Jakarta, 12 Oktober 2022. Dokumentasi internal SPI. https://spi.or.id
Posting Komentar
0Komentar