Oleh: Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH (Ketua Forum Penyelamat USU)
Pendahuluan
Ketika Universitas Sumatera Utara (USU) disorot akibat temuan keuangan mencurigakan senilai Rp 28 miliar oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), publik seharusnya berharap pimpinan universitas membuka diri terhadap audit forensik demi menjernihkan nama baik institusi. Namun yang terjadi sebaliknya: penolakan, pembungkaman kritik, dan resistensi terhadap transparansi. Ini bukan sekadar masalah administratif—ini cermin krisis etika di tubuh akademisi.
Universitas Sebagai Miniatur Etika Publik
Prof. Renald Kasali, dalam berbagai tulisannya, menegaskan bahwa universitas bukan hanya tempat belajar, tetapi juga miniatur dari etika publik. Di kampuslah nilai-nilai integritas, transparansi, akuntabilitas, dan kejujuran seharusnya dilatih dan diteladankan. “Kampus itu seperti rumah kaca,” tulis Renald, “apa yang terjadi di dalamnya akan terlihat dari luar, dan menjadi panutan masyarakat luas.”
Maka ketika kampus menolak transparansi, apalagi terhadap temuan BPK yang sangat substansial, publik bukan hanya berhak bertanya—tetapi wajib curiga. Penolakan terhadap audit forensik adalah sinyal membusuknya nilai-nilai yang mestinya dirawat oleh universitas: kebenaran, tanggung jawab, dan keadilan.
Temuan BPK dan Resistensi Institusional
Dalam laporan resmi BPK 2023, ditemukan pengelolaan dana di lingkungan USU yang tidak sesuai dengan prinsip efisiensi dan akuntabilitas. Ini bukan hanya kesalahan prosedural, tapi potensi kejahatan keuangan di ranah publik.
Lebih ironis, rektorat justru menghindar dari desakan audit forensik. Sikap ini bukan saja mencederai amanat UU Keuangan Negara dan UU tentang BPK, tapi menunjukkan tanda-tanda institutional capture—di mana institusi pendidikan dikendalikan segelintir elite kampus yang takut pada pertanggungjawaban publik.
Kampus atau 'Kartel'
Universitas Sumatera Utara (USU), sebagai institusi pendidikan tinggi, seharusnya menjadi benteng terakhir integritas dan akuntabilitas. Namun, laporan BPK mengungkap penyimpangan keuangan sebesar Rp 28 miliar yang terjadi selama sepuluh tahun terakhir, menunjukkan adanya pembiaran sistemik terhadap praktik korupsi. Alih-alih menjadi pusat pencerahan, USU justru terjebak dalam praktik dominasi simbolik, di mana kekuasaan diselubungi oleh retorika akademik untuk menindas nalar kritis dan menutup ruang koreksi.
Pierre Bourdieu, dalam The Logic of Practice, menjelaskan bahwa dominasi simbolik terjadi ketika struktur kekuasaan menyusup ke dalam praktik sehari-hari melalui mekanisme yang tampak alami dan tidak dipertanyakan. Di USU, struktur ini tampak dalam cara rektorat dan birokrasi kampus menormalisasi penyimpangan dengan dalih prosedural, menolak audit forensik, dan membungkam kritik atas nama stabilitas institusi.
Fenomena ini mencerminkan apa yang disebut Bourdieu sebagai doxa—keyakinan yang diterima begitu saja tanpa dipertanyakan. Dalam konteks USU, doxa tersebut adalah asumsi bahwa pimpinan kampus selalu bertindak demi kebaikan institusi, meskipun bukti menunjukkan sebaliknya. Akibatnya, mahasiswa dan dosen yang mencoba mengkritisi kebijakan dianggap sebagai pengganggu ketertiban, bukan sebagai agen perubahan.
Lebih dari sekadar penyimpangan administratif, situasi ini menunjukkan adanya kartel kekuasaan yang memanfaatkan simbol akademik untuk melanggengkan dominasi dan menolak transparansi. Jika tidak segera dibenahi, USU berisiko menjadi institusi yang memproduksi intelektual tanpa integritas, yang cakap secara akademik namun abai terhadap nilai-nilai moral dan etika.
Untuk mengembalikan marwah USU sebagai lembaga pendidikan yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, diperlukan keberanian kolektif dari seluruh sivitas akademika untuk menantang dominasi simbolik ini. Audit forensik independen harus segera dilakukan, dan ruang diskusi kritis harus dibuka lebar. Hanya dengan cara ini, USU dapat kembali menjadi kampus yang mencerminkan nilai-nilai etika publik dan bukan menjadi sarang koruptor yang berlindung di balik toga.
Mahasiswa sebagai Tembok Terakhir
Di tengah kebuntuan etika yang menyelimuti Universitas Sumatera Utara (USU), mahasiswa menjadi satu-satunya harapan terakhir. Ketika birokrasi kampus abai dan elite akademik memilih bungkam, maka suara mahasiswa tak bisa lagi dipinggirkan. Krisis kepercayaan ini tidak bisa diselesaikan dengan slogan normatif atau klarifikasi penuh manipulasi. USU sedang berada di titik nadir moralitas institusional—dan hanya moral publik mahasiswa yang tersisa untuk menyelamatkannya.
Prof. Renald Kasali pernah menyatakan bahwa universitas adalah miniatur dari etika publik, dan mahasiswa bukan hanya pewaris ilmu, tetapi juga pewaris tanggung jawab moral. Dalam konteks USU, kutipan ini menjadi relevan sekaligus mendesak. Mahasiswa bukan sekadar objek kebijakan, tetapi subjek perubahan. Ketika laporan BPK telah mengungkap penyimpangan keuangan puluhan miliar rupiah dan pihak rektorat menolak audit forensik, maka tak ada alasan lagi untuk diam.
Gerakan mahasiswa USU harus menolak segala bentuk kooptasi kekuasaan simbolik yang mengatasnamakan “nama baik kampus”. Yang harus diperjuangkan kini adalah kebenaran, keadilan, dan transparansi. Gerakan moral ini tidak cukup hanya dengan aksi simbolik, tetapi harus ditunjang oleh tuntutan konkret: audit forensik independen, intervensi langsung dari KPK atau BPKP, dan pembentukan tim transparansi kampus yang melibatkan publik, alumni, serta elemen masyarakat sipil.
Jika mahasiswa gagal membaca momentum ini, maka sejarah akan mencatat bahwa intelektual muda USU pernah dikalahkan oleh ketakutan dan kompromi. Saat rektorat menolak diperiksa dan publik dikelabui oleh narasi pencitraan, maka diamnya mahasiswa bisa berarti menyetujui korupsi. Dalam kondisi seperti ini, keberanian moral jauh lebih penting daripada nilai akademik.
Kini bukan lagi waktunya mempertimbangkan kenyamanan pribadi atau ancaman akademik. Mahasiswa USU harus berdiri sebagai benteng terakhir akal sehat dan nurani publik. Karena jika bukan mereka, siapa lagi? Jika bukan sekarang, kapan lagi? Universitas yang membiarkan korupsi tanpa perlawanan, hanya akan mencetak generasi cerdas tanpa integritas—dan itu adalah pengkhianatan terbesar terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri.
Penutup
USU kini berada di persimpangan sejarah: antara menjadi benteng ilmu pengetahuan atau berubah total menjadi benteng pembenaran korupsi. Ketika ruang akademik justru dikunci rapat untuk kritik dan transparansi ditolak mentah-mentah oleh pimpinan kampus, maka krisis yang dihadapi bukan sekadar administratif, melainkan eksistensial. Ini bukan sekadar soal penyimpangan keuangan, tapi soal bagaimana universitas mengkhianati jiwanya sendiri.
Jika rektorat dan birokrasi kampus terus berlindung di balik retorika prosedural untuk menutupi kerusakan sistemik, maka tak ada pilihan lain selain tekanan publik dan perlawanan intelektual yang lebih luas. Pembiaran terhadap pelanggaran etika hanya akan melahirkan generasi baru yang terlatih dalam kepura-puraan: lulusan cerdas di atas kertas, tapi nihil komitmen terhadap kebenaran. Ini adalah warisan beracun yang harus diputus segera.
Karena itu, USU harus diselamatkan bukan dari luar, melainkan dari dalam—oleh mereka yang masih percaya bahwa universitas adalah tempat di mana akal sehat, moralitas, dan keberanian bersuara harus tumbuh tanpa rasa takut. Jika mahasiswa, dosen, alumni, dan masyarakat sipil memilih diam, maka USU hanya akan menjadi kartel akademik yang menjual ilusi kemuliaan sambil menyembunyikan aib di bawah karpet. Dan sejarah akan mencatat, bukan hanya siapa yang korup, tapi siapa yang membiarkan.
Demikian.
Penulis Advokat Dan Alumni Fakultas Hukum USU Stambuk' 92
_________
Referensi
Renald Kasali. (2020). Disruption: Menghadapi Lawan-Lawan Tak Kelihatan dalam Peradaban Baru. Mizan.
Bourdieu, P. (1993). The Field of Cultural Production. Columbia University Press.
Laporan Hasil Pemeriksaan BPK atas USU Tahun 2023.
UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
UU No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
Posting Komentar
0Komentar