Oleh Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH (Ketua Forum Penyelamat USU)
Pendahuluan
Kasus yang menimpa Rektor Universitas Sumatera Utara (USU) bukan hanya skandal administratif, tetapi simbol dari krisis etik di institusi pendidikan tinggi. Berita News.RI.id (26 Mei 2025) mengungkap bahwa Rektor USU diduga menempati tiga rumah dinas, termasuk rumah lama saat menjabat Dekan FISIP, dan bahkan membangun lapangan golf mini di sekitar area rumah dinas yang menggunakan aset negara. Semua ini terjadi di tengah tuntutan efisiensi anggaran dan akuntabilitas publik.
Rektor Universitas Sumatera Utara (USU) kembali menjadi sorotan. Bukan karena capaian akademik atau reputasi internasional kampus, melainkan dugaan penyalahgunaan fasilitas negara yang menyentuh akar tata kelola publik. Laporan investigatif News.RI.id (26/5/2025) menyebutkan bahwa Rektor diduga menempati tiga rumah dinas secara bersamaan dan membangun lapangan golf mini di kawasan kampus. Sebuah ironi dari institusi pendidikan yang seharusnya menjunjung tinggi etika, akuntabilitas, dan integritas.
Pelanggaran terhadap Norma dan Regulasi
Merujuk Permendikbudristek Nomor 28 Tahun 2021, seorang pejabat PTN hanya berhak atas satu rumah dinas. Namun, sang rektor diduga masih menguasai rumah dinas saat menjadi Dekan FISIP, menempati rumah dinas jabatan Rektor, dan satu lagi fasilitas dinas tambahan. Tindakan ini bukan hanya pelanggaran administratif, tapi berpotensi sebagai perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi: penyalahgunaan wewenang untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain yang merugikan keuangan negara.
Tak kalah serius, pembangunan lapangan golf mini yang berada di atas tanah negara dinilai melanggar prinsip penggunaan Barang Milik Negara (BMN) sebagaimana diatur dalam UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan PP No. 40 Tahun 1994 tentang Rumah Negara. Apakah penggunaan lahan itu tercantum dalam Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan (RKAT) USU dan telah mendapat persetujuan Senat Universitas?
Jika tidak, maka bangunan itu berpotensi sebagai bentuk gratifikasi terselubung—terutama jika dana renovasi atau pembangunan berasal dari sumber yang tidak transparan atau tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Pelanggaran Administratif dan Potensi Gratifikasi
Permendikbudristek No. 28 Tahun 2021 Pasal 17 ayat (1) jelas menyebut bahwa pejabat perguruan tinggi negeri hanya berhak menempati satu rumah dinas. Ketika seorang pejabat negara menempati lebih dari satu rumah dinas tanpa persetujuan tertulis Kementerian Keuangan, maka terjadi pelanggaran administratif serius, bahkan berpotensi menjadi pelanggaran pidana.
Pembangunan lapangan golf mini di sekitar rumah dinas juga patut dicurigai sebagai bentuk penyalahgunaan fasilitas publik. Jika fasilitas tersebut digunakan untuk kepentingan pribadi dan dibiayai dari dana institusi tanpa prosedur transparan, maka ini dapat masuk ke dalam kategori gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Etika Kekuasaan dan Krisis Moral Akademik
Apa yang terjadi di USU bukan sekadar persoalan rumah atau lapangan, melainkan krisis etika jabatan. Menurut Max Weber dalam Politics as a Vocation, pejabat publik harus tunduk pada "etika tanggung jawab", yakni kesadaran bahwa jabatan adalah amanah, bukan hak milik pribadi.
Di tengah krisis kepercayaan publik terhadap institusi, dunia pendidikan tinggi justru dituntut menjadi garda terdepan dalam integritas. Ketika rektor—figur sentral universitas—terjerat isu penyalahgunaan fasilitas, maka hal ini berpotensi menular secara struktural. Keteladanan hilang, dan budaya akademik tereduksi menjadi formalitas birokratis.
Rektor bukan hanya pimpinan administratif, tetapi juga pemimpin moral. Ia harus mampu mempertahankan kepercayaan publik, bukan memperdagangkannya dengan kemewahan jabatan.
Peran KPK dan Kesadaran Kolektif Akademisi
Kasus ini tidak bisa selesai dengan pembelaan institusional atau diamnya humas kampus. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus turun tangan menyelidiki:
1. Legalitas penggunaan anggaran renovasi rumah dinas;
2. Status kepemilikan dan dasar hukum penguasaan rumah dinas lebih dari satu;
3. Anggaran dan dasar hukum pembangunan lapangan golf mini;
4. Potensi pelanggaran Pasal 10 ayat (2) PP No. 40 Tahun 1994.
Bila ditemukan indikasi kuat pelanggaran keuangan negara, maka tak cukup dengan teguran internal. Penegakan hukum harus dilakukan secara transparan dan imparsial.
Pada saat yang sama, komunitas akademik USU juga mesti bangkit. Diamnya senat, dosen senior, dan mahasiswa atas isu ini menunjukkan lemahnya kesadaran kolektif untuk menjaga martabat institusi. Dunia kampus tidak boleh menjadi zona nyaman untuk feodalisme akademik yang mengabaikan transparansi.
Menyelamatkan Marwah Universitas
Reformasi perguruan tinggi bukan hanya soal kurikulum dan akreditasi. Lebih dari itu, ia soal kebudayaan integritas yang tumbuh dari sikap kritis, transparansi manajemen, dan keteladanan moral. Jika kampus gagal menegakkan disiplin etik pada level tertinggi pimpinannya, maka seluruh struktur keilmuan dan karakter lulusan yang dihasilkan bisa dipertanyakan.
Karena itu, investigasi bukan sekadar upaya membongkar penyimpangan, melainkan langkah strategis menyelamatkan kehormatan universitas dari kerusakan moral akibat penyalahgunaan kekuasaan. Kampus harus kembali pada misinya sebagai pusat kejujuran intelektual dan kepemimpinan etis.
Penutup
Bilah Rektor USU menikmati lebih dari satu rumah dinas dan memanfaatkan aset kampus demi kepentingan pribadi, maka ini bukan sekadar pelanggaran administratif—tetapi gejala abuse of power yang menggerus legitimasi moral seorang pemimpin akademik.
Di tengah wacana reformasi pendidikan tinggi dan tuntutan transparansi publik, praktik semacam ini tidak boleh dibiarkan menjadi preseden. Kampus tidak boleh menjadi kerajaan kecil yang dikuasai elite birokrat akademik yang antikritik dan haus privilese.
Tindakan diam dari internal kampus dan enggannya pihak rektorat memberikan klarifikasi hanya memperkuat kesan bahwa integritas tidak lagi menjadi nilai utama di lingkungan yang seharusnya mencetak generasi berintegritas.
Jika institusi pendidikan tak mampu menjaga akuntabilitas pimpinannya, bagaimana mungkin publik mempercayai bahwa universitas masih menjadi benteng moral bangsa?
Saatnya USU dibersihkan—bukan dari kritik, tetapi dari mereka yang mencemari nilai luhur akademik dengan gaya hidup elitis dan kekuasaan tanpa batas. Investigasi bukan hanya perlu, tapi mendesak dan tak bisa ditunda.
Demikian.
Penulis Advokat Dan Alumni Fakultas Hukum USU Stambuk' 92
_____________
Daftar Pustaka
1. Permendikbudristek No. 28 Tahun 2021 tentang Pengelolaan BMN di PTN.
2. UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
3. UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor.
4. PP No. 40 Tahun 1994 tentang Rumah Negara.
5. Max Weber, Politics as a Vocation, 1919.
6. Jimly Asshiddiqie, Etika Kehidupan Bernegara, Konpress, 2005
Posting Komentar
0Komentar