Rektor USU Rangkap Jabatan di Tim Bayangan Relokasi Anggaran, Melanggar Statuta USU

Media Barak Time.com
By -
0



Rektor Universitas Sumatera Utara (USU), Muryanto Amin, kembali menuai sorotan. Namanya disebut-sebut ikut duduk dalam tim bayangan efisiensi APBD 2025 bentukan Gubernur Sumut, Bobby Nasution. Informasi ini tidak hanya datang dari pegiat transparansi anggaran seperti Fitra Sumut, tetapi juga dikonfirmasi oleh pejabat Pemprov Sumut. Fakta ini kian menegaskan bahwa rektor sebuah universitas negeri telah melampaui batas mandat akademiknya (tempo.co, 26/9/2025) . 


Forum Penyelamat USU (FP USU) menyebut keterlibatan rektor bukan sekadar isu moral, tetapi pelanggaran terang-benderang terhadap Pasal 34 Statuta USU. Aturan itu tegas melarang rektor merangkap jabatan dalam instansi pemerintah daerah maupun lembaga lain yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Dalam kasus ini, garis larangan sudah jelas dilanggar.


Dalih bahwa tim bayangan ini tidak memiliki Surat Keputusan (SK) resmi justru memperlihatkan masalah yang lebih serius. Dalam hukum administrasi negara, yang berlaku bukan sekadar formalitas, melainkan substansi. Selama fungsi pemerintahan dijalankan, maka jabatan itu tetap ada, dengan segala konsekuensi hukumnya.


Pakar hukum administrasi, Prof. Dr. Philipus M. Hadjon, SH, telah lama menegaskan: tindakan faktual pejabat (feitelijke handeling) yang menimbulkan akibat hukum adalah bagian dari perbuatan jabatan. Artinya, pejabat publik tidak bisa berlindung di balik ketiadaan dokumen tertulis untuk menghindari tanggung jawab hukum. Hukum hadir bukan hanya pada regulasi tertulis, tetapi juga pada praktik yang nyata (Philipus M. Hadjon, dkk.  Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University).


Dengan demikian, keikutsertaan rektor USU dalam tim bayangan APBD, meski tanpa SK, tetap sah dikualifikasikan sebagai rangkap jabatan. Ia menjalankan fungsi eksekutif di luar lingkup universitas, yang jelas bertentangan dengan norma statuta. Pelanggaran ini bukan sekadar administratif, tetapi menyentuh integritas institusi akademik.


Lebih jauh, keterlibatan rektor dalam tim relokasi anggaran menimbulkan persoalan etis yang tidak kalah serius. Universitas adalah benteng independensi ilmu pengetahuan. Dengan masuk ke dalam lingkaran politik anggaran, independensi itu runtuh, dan universitas terjebak dalam pusaran konflik kepentingan. Publik pun wajar meragukan komitmen moral universitas yang mestinya berdiri di atas kepentingan umum.


Dalam konteks inilah, FP USU menuntut Majelis Wali Amanat (MWA) untuk segera mengambil sikap. MWA tidak boleh berdiam diri menghadapi pelanggaran statuta yang begitu nyata. Membiarkan hal ini sama saja dengan menihilkan dasar hukum penyelenggaraan universitas, sekaligus meruntuhkan marwah kelembagaan.


Kritik juga patut dialamatkan pada pejabat daerah. Kehadiran tim bayangan, tanpa SK, adalah bukti buruknya tata kelola pemerintahan. Alih-alih memperkuat peran TAPD sebagai organ sah pengelola anggaran, justru dibentuk struktur paralel yang bekerja di balik layar. Ini bukan hanya tidak etis, tetapi berpotensi melanggar asas legalitas dalam keuangan negara.


Pandangan Hadjon memperkuat urgensi kontrol yuridis atas praktik semacam ini. Jika setiap tindakan faktual pejabat bisa melahirkan akibat hukum, maka tidak ada ruang untuk berkilah. Pejabat publik, termasuk rektor, wajib tunduk pada prinsip akuntabilitas. Di titik ini, hukum administrasi bukan sekadar teori, melainkan instrumen korektif untuk mencegah kesewenang-wenangan.


Konsekuensinya jelas: keterlibatan rektor dalam tim bayangan dapat dipandang sebagai bentuk penyalahgunaan wewenang atau 'détournement de pouvoir'. Ia bukan hanya melanggar statuta, tetapi juga menodai prinsip legalitas yang menjadi fondasi tata kelola negara. Keterlibatan seorang akademisi dalam struktur kekuasaan informal menimbulkan preseden buruk bagi otonomi universitas di Indonesia.


Oleh karena itu, KPK perlu memperluas penyidikan. Dugaan konflik kepentingan ini bukan sekadar soal etika, tetapi juga berpotensi terkait tindak pidana korupsi, terutama bila kebijakan relokasi anggaran menghasilkan keuntungan tertentu bagi pihak-pihak tertentu. Keterlibatan rektor aktif dalam tim ini menambah bobot keseriusan masalah.


FP USU sudah menegaskan: tidak adanya SK tidak berarti tidak ada jabatan. Substansi di atas formalitas adalah asas hukum administrasi yang tak terbantahkan. Selama fungsi pemerintahan dijalankan, jabatan itu tetap ada, beserta seluruh konsekuensi hukumnya. Muryanto Amin, dengan demikian, jelas melanggar Statuta USU.


Pada akhirnya, kasus ini bukan semata soal personal rektor, tetapi soal kredibilitas lembaga pendidikan tinggi. Universitas yang seharusnya menjadi penerang moral bangsa, kini justru dipertanyakan komitmennya. Jika MWA dan aparat penegak hukum memilih diam, maka publik hanya akan melihat bahwa hukum dan etika akademik bisa dengan mudah dikompromikan demi kekuasaan.


Universitas tidak boleh kehilangan marwahnya. Sebab ketika benteng ilmu pengetahuan runtuh, maka yang tersisa hanyalah kampus yang tunduk pada politik kekuasaan. Dan di situlah, kita kehilangan makna sejati dari pendidikan tinggi sebagai penjaga nalar publik, ujar Taufik.


Siaran Pers, Adv.M.Taufik Umar Dani Harahap,SH, Ketua Forum Penyelamat USU.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)