Medan, Selayang Pandang.
Di tengah jantung Kota Medan, berdiri sebuah ruang bernama Lapangan Merdeka—yang dahulu dikenal sebagai Esplanade. Lebih dari sekadar taman kota, ia adalah ruang historis yang menandai lahirnya republik di tanah Sumatera Timur. Di lapangan inilah, 6 Oktober 1945, rakyat mendengarkan gema Proklamasi Kemerdekaan secara terbuka untuk pertama kalinya, menjadi saksi keterlibatan rakyat dalam sejarah nasional. Lapangan ini adalah bukti bahwa kemerdekaan tidak hanya diumumkan di Jakarta, tetapi juga dirayakan di daerah-daerah oleh rakyat biasa.
Namun hari ini, delapan dekade setelah proklamasi itu bergema, makna “lapang” dalam Lapangan Merdeka terasa semakin hampa. Ruang ini tidak lagi menjadi tempat rakyat berkumpul, berdiskusi, atau menyuarakan aspirasi. Yang tersisa hanyalah betonisasi ambisi tanpa partisipasi. Alih-alih menjadi ruang hidup demokrasi, Lapangan Merdeka kini menjadi simbol keterasingan—di mana rakyat hanya menjadi penonton, bukan lagi pemilik sah ruang yang bernama “merdeka.”
Sejarah yang Dilapisi Aspal
Lapangan Merdeka bukan sekadar pusat keramaian atau titik nol kilometer Medan. Ia adalah saksi dari transisi kekuasaan kolonial menuju republik. Dari tempat parade tentara Belanda, menjadi tempat rakyat berkumpul menyambut kemerdekaan. Kini, wajah lapangan itu telah berubah drastis. Revitalisasi senilai Rp612 miliar resmi diresmikan pada 19 Februari 2025 — sehari sebelum Wali Kota Bobby Nasution naik menjadi Gubernur Sumatera Utara.
Pertanyaan: Merdeka untuk Siapa?
Kata “merdeka” pada lapangan ini kini patut dipertanyakan maknanya. Apakah ruang ini sungguh telah kembali menjadi milik rakyat? Ataukah ia berubah jadi panggung kekuasaan, dikelilingi beton, aspal, dan tenant-tenant yang lebih dekat ke investor daripada masyarakat kecil? Ketika suara rakyat makin terpinggirkan, revitalisasi ini berisiko menjadi proyek “poles citra”, bukan restorasi sejarah.
Data Anggaran: Rp612 Miliar yang Tertutup
Revitalisasi Lapangan Merdeka yang menyedot anggaran hingga Rp612 miliar seolah menjadi simbol kontradiktif antara nama proyek dan praktik pemerintahan. Proyek yang dimulai sejak 2021 dengan skema multiyears ini didanai dari dua sumber utama: bantuan keuangan Provinsi Sumatera Utara sebesar sekitar Rp100 miliar dan APBD Kota Medan 2022–2024 sebesar Rp512 miliar. Namun hingga hari ini, jejak transparansi proyek tersebut lebih mirip bayang-bayang samar ketimbang terang benderang laporan publik.
Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI Perwakilan Sumut tahun 2023 mengungkap sejumlah kelemahan krusial, mulai dari proses pemilihan penyedia jasa konstruksi yang janggal hingga absennya partisipasi publik dalam perencanaan proyek. Padahal, proyek revitalisasi ruang publik berskala besar seharusnya mengedepankan konsultasi rakyat sebagai pemilik sah kota, bukan sekadar target pembangunan. Alih-alih memperkuat legitimasi anggaran, proyek ini justru mempertebal kecurigaan tentang dugaan rekayasa prosedur dan permainan elite di balik layar.
Ketiadaan keterbukaan bukan hanya kekeliruan administratif, melainkan bentuk nyata pengebirian prinsip akuntabilitas. Ketika uang publik digelontorkan tanpa kejelasan alur penggunaan dan tanpa ruang koreksi dari masyarakat, maka proyek fisik berubah menjadi proyek kekuasaan. Publik hanya disuguhi hasil akhir dalam bentuk lanskap taman yang tertata rapi, tapi tak diberi akses pada dokumen lelang, rincian biaya, atau pertanggungjawaban sosial.
Proyek sebesar ini seharusnya menjadi teladan tata kelola pemerintahan yang bersih dan partisipatif. Sebaliknya, revitalisasi Lapangan Merdeka kini justru menjadi preseden buruk dalam pengelolaan anggaran daerah. Rakyat bukan hanya kehilangan ruang sejarahnya, tetapi juga kehilangan haknya untuk tahu dan menentukan arah pembangunan. Jika “merdeka” dimaknai sebagai kedaulatan rakyat atas ruang dan anggaran, maka pertanyaan besarnya kini menggema: Rp612 miliar itu untuk siapa, dan demi siapa?
Cagar Budaya yang Tak Dihormati
Pada 28 Oktober 2021, Lapangan Merdeka ditetapkan sebagai Cagar Budaya Nasional. Namun, fakta di lapangan menunjukkan perubahan besar pada kontur tanah, relokasi tanaman, hingga pembangunan struktur beton permanen yang justru mengikis nilai historis. Dalam ilmu tata ruang, itu disebut: heritage gentrification. Sejarah dikomodifikasi, estetika dimenangkan, substansi dikorbankan.
Rakyat yang Kehilangan Ruang
Lapangan Merdeka seharusnya menjadi ruang ekspresi warga: dari diskusi hingga demonstrasi damai. Tapi revitalisasi membuatnya steril. Pagar pembatas, aturan ketat, dan kontrol keamanan membuat rakyat merasa bukan sebagai pemilik, tapi sebagai tamu di lapangnya sendiri. Maka suara-suara warga bermunculan: “Kami ingin lapangan ini kembali menjadi ruang rakyat, bukan etalase kekuasaan.”
Revitalisasi, tapi Minim Partisipasi
Dalam naskah “Menggugat Keterbukaan Mega Proyek Lapangan Merdeka” yang dirilis Aliansi Medan Transparan, dijelaskan bahwa tidak ada forum dengar pendapat yang berarti antara Pemko Medan dengan komunitas sejarah, arsitek urban, mahasiswa, dan pegiat ruang publik. Dalam negara demokrasi, itu pelanggaran hak partisipasi publik. Dalam konteks anggaran, itu pelanggaran asas good governance.
Refleksi: Lapangan yang Lahir dari Perjuangan
6 Oktober 1945 bukan sekadar tanggal. Ia adalah penanda bahwa ruang ini lahir dari perlawanan rakyat terhadap dominasi asing. Hari itu, rakyat tidak datang untuk pesta, tetapi untuk menegaskan bahwa Medan adalah bagian dari Republik Indonesia. Jika revitalisasi hari ini menjauhkan rakyat dari tempat itu, maka kita sedang melupakan asal-muasal sejarah kita sendiri.
Antara Legasi dan Kepentingan Politik
Peresmian yang dilakukan Bobby Nasution sehari sebelum ia dilantik sebagai gubernur menimbulkan tafsir politis. Publik bertanya, apakah revitalisasi ini merupakan warisan kebijakan atau batu loncatan politik? Jika yang diwariskan hanya beton, bukan makna, maka itu bukan monumen kebudayaan, melainkan monumen kekuasaan.
Mengembalikan Makna “Merdeka”
Lapangan Merdeka bukan sekadar ruang kota, ia adalah ruang sejarah. Di sanalah rakyat Sumatera Timur pertama kali memekikkan proklamasi secara terbuka pasca 17 Agustus 1945. Lapangan itu lahir dari semangat kedaulatan rakyat, bukan sekadar dari arsitektur kolonial yang kini direstorasi menjadi dekorasi estetika kota. Namun hari ini, makna itu seperti terkubur di bawah betonisasi proyek mercusuar: suara rakyat direduksi menjadi pemandangan, dan ruang demokrasi dipagari demi tata kota yang steril dari kritik.
Pembangunan fisik yang megah tak akan pernah menggantikan esensi kemerdekaan jika rakyat dilarang bersuara, berkumpul, atau sekadar merasa memiliki ruang bersama itu. Lapangan Merdeka yang sejatinya ruang terbuka rakyat, telah bergeser menjadi ruang eksklusif untuk festival elite dan selfie nostalgia. Revitalisasi yang menyedot dana ratusan miliar APBD dan APBN seolah lebih peduli pada penampakan di permukaan ketimbang akar sejarah dan aspirasi publik. Bahkan suara pedagang kaki lima, seniman jalanan, dan aktivis yang dahulu hidup di sana kini dibungkam atas nama ketertiban visual.
Makna “merdeka” tak boleh diringkus dalam tugu dan taman. Ia adalah pernyataan kedaulatan rakyat—secara politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Kemerdekaan adalah hak untuk hadir, bersuara, dan merasa terlindungi di ruang publik yang disediakan negara. Lapangan Merdeka harus dikembalikan ke ruhnya: ruang rakyat, ruang sejarah, ruang harapan. Sebab selama ruang publik dikendalikan oleh logika kekuasaan, maka kemerdekaan kita masihlah sebatas retorika, bukan realita.
Demikian
Penulis Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH, Praktisi Hukum, Warga Kota Medan, Aktivis Musyawarah Rakyat Banyak, Anggota Badan Perkumpulan KontraS Sumut, dan Wakil Sekretaris Bidang Hukum Dan HAM MW KAHMI Sumut.
___________
DAFTAR PUSTAKA
DetikSumut. "Sekilas Sejarah Lapangan Merdeka yang Kini Jadi Ikon Kota Medan." Detik.com, 2022. https://www.detik.com/sumut/budaya/d-6100407
Kompas.com. "Sejarah Lapangan Merdeka yang Menjadi Titik Nol Kilometer Kota Medan." Kompas, 15 Agustus 2022. https://regional.kompas.com/read/2022/08/15/094611878
IDN Times Sumut. "Sejarah Lapangan Merdeka Medan, Tempat Umumkan Proklamasi di Sumut." IDN Times, 2022. https://sumut.idntimes.com/life/education
Wikipedia. "Lapangan Merdeka (Medan)." Wikipedia Bahasa Indonesia. https://id.wikipedia.org/wiki/Lapangan_Merdeka_(Medan)
Aliansi Masyarakat Transparansi. “Menggugat Keterbukaan Mega Proyek Lapangan Merdeka.” antikorupsi.org, 2023. https://antikorupsi.org
BPK RI. LHP atas LKPD Kota Medan Tahun Anggaran 2023
Kondisi Lapangan Merdeka Medan,https://vm.tiktok.com/ZSSykFCJs/ Postingan ini dibagikan via TikTok Lite. Unduh TikTok Lite untuk menikmati postingan lainnya: https://www.tiktok.com/tiktoklite
Posting Komentar
0Komentar