Selayang Pandang
Panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Rektor Universitas Sumatera Utara (USU), Prof. Dr. Muryanto Amin, S.Sis, M.Si sebagai saksi dalam kasus korupsi proyek jalan di Sumut, menimbulkan gelombang keprihatinan. Kasus ini menyeret mantan Kepala Dinas PUPR Sumut, Topan Ginting, sebagai tersangka, sekaligus membuka tabir tentang jejaring kekuasaan yang melibatkan pejabat daerah, kontraktor, hingga akademisi. Publik bertanya: sejauh mana kampus masih bisa dipercaya sebagai benteng moral, jika pimpinannya ikut diperiksa dalam perkara korupsi?
Keterkaitan nama Muryanto dengan “lingkaran” yang sama—Gubernur Sumut Bobby Nasution dan Topan Ginting—mempertegas kecemasan bahwa kampus bisa terseret dalam pusaran politik dan bisnis kekuasaan. Meskipun statusnya sebatas saksi, bayangan integritas yang tercoreng sudah telanjur melekat. Di tengah proses penjaringan calon rektor USU periode 2026–2031, kasus ini menjadi peringatan keras: universitas membutuhkan rektor yang tak hanya cerdas mengelola kampus, tetapi juga memiliki moralitas tak tercela.
Integritas di Atas Segalanya
Kampus adalah ruang produksi ilmu pengetahuan. Ia seharusnya steril dari praktik rente, korupsi, dan politik transaksional. Namun realitas Sumut menunjukkan hal sebaliknya: proyek jalan yang seharusnya menjadi sarana pembangunan justru dijadikan ladang bancakan. Jika pimpinan perguruan tinggi tak mampu menjaga jarak dari lingkaran kekuasaan yang rawan korupsi, reputasi kampus akan runtuh.
Rektor bermoral harus bebas dari segala persoalan hukum, sekaligus konsisten memegang nilai etika akademik. Integritas bukan sekadar jargon, melainkan rekam jejak nyata yang diuji publik. Alumni, mahasiswa, dan sivitas akademika berhak menuntut standar tinggi itu, sebab kampus bukan perusahaan keluarga, melainkan institusi publik yang menjaga martabat bangsa.
Etika Lebih Tajam Dari Hukum
Hukum sering kali bekerja lamban, menunggu bukti formil dan vonis pengadilan. Tetapi universitas tidak bisa menunggu selama itu untuk menilai integritas seorang calon pemimpin. Seorang rektor bisa saja belum terseret kasus hukum, tetapi etikanya sudah lama runtuh ketika ia bermain dalam lingkaran kepentingan. Di titik inilah, etika harus ditempatkan di atas sekadar status hukum. Sebab kampus bukan ruang kompromi, melainkan mercusuar moral yang seharusnya memberi teladan.
Etika, berbeda dengan hukum, menyentuh inti karakter manusia. Seorang intelektual mungkin memiliki kecerdasan kognitif luar biasa, namun tanpa etika ia hanya menjadi kalkulator dingin yang mudah diperalat. Di tangan intelektual yang kehilangan moral, ilmu pengetahuan bisa berubah menjadi instrumen manipulasi, korupsi, bahkan penindasan. Karena itu, universitas wajib menegakkan standar etika yang ketat, agar kecerdasan intelektual selalu diiringi dengan integritas dan tanggung jawab sosial.
Proses penjaringan rektor USU menjadi momentum untuk menguji keseimbangan itu. Panitia seleksi mesti berani menolak calon yang cacat integritas, sekalipun ia populer atau memiliki akses ke lingkar kekuasaan. Meloloskan figur bermasalah hanya akan menurunkan martabat akademik dan menyeret universitas ke dalam permainan politik praktis. Lebih berbahaya lagi, hal itu memberi pesan bahwa etika bisa dinegosiasikan, padahal bagi kaum intelektual, pelanggaran etika adalah dosa yang jauh lebih serius dibanding sekadar pelanggaran administratif.
Intelektual sejati adalah mereka yang menyeimbangkan kecerdasan dengan etika, menjadikan ilmu sebagai jalan pengabdian, bukan alat kepentingan. Karena itu, keberanian menegakkan standar moral dalam pemilihan rektor bukan hanya soal menjaga nama baik USU, tetapi juga menjaga masa depan dunia akademik Indonesia. Tanpa etika yang tajam, hukum akan selalu datang terlambat, dan kampus kehilangan peran sebagai benteng terakhir peradaban bangsa.
Jalan Keluar: Kriteria Rektor Bermoral
Pemilihan rektor bukan sekadar agenda administratif. Ia adalah titik ujian moral sebuah universitas. Jika hanya dilihat sebagai perebutan kursi, maka kampus kehilangan esensi sebagai mercusuar peradaban. USU, sebagai salah satu perguruan tinggi ternama di Indonesia, sedang berada di persimpangan: apakah melahirkan rektor yang berwibawa dan berintegritas, atau terjebak dalam lingkaran krisis kepercayaan yang semakin dalam.
Kriteria dasar sebenarnya sederhana: bebas dari masalah hukum dan korupsi. Namun dalam praktiknya, hal mendasar ini sering kali dinegosiasikan demi kompromi politik atau kepentingan jangka pendek. Padahal, seorang rektor yang memiliki beban kasus hanya akan menjadi pintu masuk runtuhnya marwah kampus. Transparansi dan integritas bukan sekadar jargon, melainkan syarat mutlak untuk memulihkan kepercayaan publik.
Lebih jauh, komitmen terhadap etika akademik haruslah menjadi fondasi utama. Kampus adalah ruang pencarian kebenaran, bukan arena manipulasi atau transaksi gelap. Rektor dengan rekam jejak akademik yang jujur dan konsisten akan menularkan budaya keilmuan yang sehat kepada sivitas akademika. Tanpa itu, universitas hanya melahirkan lulusan cerdas secara teknis, tetapi tumpul secara moral.
Selain itu, rektor adalah wajah kampus di hadapan masyarakat. Ia bukan hanya administrator, tetapi simbol moral. Reputasi universitas akan jatuh atau terangkat melalui sikap dan teladan pemimpinnya. Karena itu, proses seleksi rektor tidak boleh eksklusif dan elitis. Pelibatan berbagai pihak—dosen, mahasiswa, alumni, hingga publik akademik—akan memastikan legitimasi moral sekaligus politik dari pemimpin terpilih.
Jika lima kriteria dasar ini diabaikan, USU hanya akan mengulang kesalahan lama: melahirkan rektor yang memperpanjang krisis legitimasi, memperlebar jurang ketidakpercayaan, dan mengikis martabat akademik. Jalan keluarnya jelas: bukan mencari rektor yang paling kuat jejaringnya, melainkan yang paling lurus moralnya. Sebab hanya dengan kepemimpinan yang bermoral, universitas dapat kembali menjadi rumah intelektual yang berwibawa dan berdampak bagi bangsa.
Penutup
Korupsi jalan di Sumatera Utara menjadi cermin pahit bahwa tak ada ruang yang sepenuhnya steril dari penyakit kekuasaan. Bahkan universitas, yang mestinya berdiri sebagai benteng moral bangsa, bisa runtuh jika etika dikompromikan. Karena itu, pemilihan rektor baru bukan sekadar prosedur administratif atau kompetisi akademik, melainkan ujian integritas: apakah kampus mampu melahirkan figur yang berani berdiri di atas prinsip, bukan tunduk pada arus politik dan kepentingan sempit.
Prestasi riset dan publikasi tidak akan berarti bila fondasi etika retak. Intelektual sejati bukan hanya menguasai ilmu, tetapi tahu kapan harus berhenti pada batas moral dan hukum. Jika etika dikorbankan demi ambisi, universitas hanya akan melahirkan generasi cerdas namun rapuh, dan lambat laun moral akademik melemah, kualitas pendidikan merosot, serta martabat kampus terjual murah di pasar kekuasaan.
Demikian.
Penulis Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH, adalah Praktisi Hukum, Alumni Fakultas Hukum USU Stambuk' 92 Dan Ketua Forum Penyelamat USU.
Posting Komentar
0Komentar