Kekerasan Aparat Polisi dalam Aksi: Kematian Ojek Online adalah Potret Buram Demokrasi Indonesia

Media Barak Time.com
By -
0

 


Baraktime.com|medan

Kematian seorang pengemudi ojek online (ojol) yang dilindas mobil aparat kepolisian (28/08/25) saat pengamanan aksi merupakan tragedi kemanusiaan sekaligus alarm keras bagi demokrasi di Indonesia. Peristiwa ini bukan hanya insiden lalu lintas semata, tetapi mencerminkan wajah otoritarianisme lama yang terus dipelihara dalam tubuh kepolisian: penggunaan kekerasan sebagai alat utama menghadapi aspirasi publik.      

      

Padahal, Kepolisian Republik Indonesia memiliki aturan internal yang secara jelas menekankan pendekatan humanis dan persuasif dalam pengamanan aksi, yaitu Peraturan Kapolri (Perkap) No. 16 Tahun 2006 tentang Pengendalian Massa (Dalmas) dan diperbarui dengan Perkap No. 1 Tahun 2009. Dalam aturan itu, aparat diwajibkan mengedepankan dialog, mediasi, dan pencegahan eskalasi kekerasan. Namun, di lapangan yang terjadi justru sebaliknya: aparat tampil dengan wajah represif, menghalalkan kekerasan hingga merenggut nyawa rakyat yang seharusnya mereka lindungi.      

      

Taufik Umardani Harahap, Wasekjen Bidang Hukum dan HAM MW Kahmi dan Adv LBH KAHMI menegaskan: “Kematian seorang ojek online dalam peristiwa ini akan dikenang sebagai pahlawan demokrasi. Ia bukan sekadar korban, melainkan simbol keberanian rakyat kecil yang suara dan tubuhnya dikorbankan oleh negara. Namanya akan lebih harum dibanding aktivis yang hanya pandai bercakap-cakap.”      

      

“Kasus ini harus diusut tuntas, bukan ditutupi.”      

      

Kematian ojol ini juga membuka mata publik bahwa masalah aksi bukanlah sekadar kemarahan spontan, melainkan akumulasi kekecewaan akibat buruknya respon elit politik terhadap aspirasi rakyat.       

      

Pernyataan anggota DPR, Ahmad Sahroni, yang menyebut masyarakat pendukung pembubaran DPR sebagai “tolol sedunia” justru menambah bara kemarahan. Sikap arogan ini menunjukkan betapa elit politik kehilangan empati dan kesadaran bahwa mereka dipilih oleh rakyat, bukan untuk menghina rakyat.      

      

Lebih jauh lagi, Taufik juga menyoroti pernyataan yang tidak relevan dalam menghadapi kemarahan publik, seperti statement Hendropriyono yang menyebut aksi ini ditunggangi asing adalah bentuk upaya murahan untuk mendiskreditkan gerakan rakyat.       

      

Menyederhanakan kemarahan publik menjadi “konspirasi asing” adalah penghinaan terhadap akal sehat bangsa sendiri. Pernyataan seperti ini bukan saja konyol, tetapi berbahaya karena mengaburkan inti persoalan: matinya ruang demokrasi dan absennya negara dalam mendengar suara warganya.      

      

Lebih Spesifik, Taufik menegaskan bahwa kekerasan yang dilakukan aparat bukanlah insiden tunggal, melainkan bagian dari kultur kepolisian yang kolot. Kultur yang melihat rakyat sebagai musuh, bukan sebagai warga negara yang hak-haknya harus dilindungi.       

      

Reformasi kepolisian seharusnya sudah lama meninggalkan cara pandang lama yang represif, tetapi kenyataannya praktik kekerasan masih terus berulang. Polisi seolah lupa bahwa tugas utamanya adalah melayani, melindungi, dan mengayomi, bukan menindas dengan kekuatan brutal.      

      

Selain itu, Kasus kematian ojol ini harus di selsaikan, jangan sampai ada Impunity yang Berulang, Kasus kekerasan aparat hampir selalu berakhir tanpa keadilan. Investigasi setengah hati, vonis ringan, atau bahkan tidak ada sanksi sama sekali.      

      

Taufik menyoroti bahwa kekerasan dilapangan oleh kepolisian sebagai bentuk Kegagalan Reformasi Polri Dua dekade pasca-reformasi, janji Polri untuk menjadi institusi profesional, transparan, dan humanis masih jauh panggang dari api. selain itu, Mekanisme Pengawasan yang Lemah  Kompolnas dan Propam terbukti tidak efektif sebagai mekanisme kontrol. Kekerasan tetap berulang, korban terus berjatuhan.      

      

Rekomendasi:      

1. Usut Tuntas dan Adili Pelaku – Kematian ojol ini harus diproses secara pidana, bukan hanya etik. Aparat yang mengemudikan mobil, komandan lapangan, hingga pejabat penanggung jawab harus diadili terbuka.      

2. Evaluasi Total Perkap – Peraturan pengendalian massa harus diperbarui agar sesuai dengan prinsip HAM internasional, disertai mekanisme pengawasan independen di lapangan.      

3. Reformasi Kultural Polri – Pendidikan kepolisian harus menekankan nilai kemanusiaan, bukan militerisme. Penggunaan kekerasan harus benar-benar jadi opsi terakhir.      

4. Partisipasi Publik – Keterlibatan masyarakat sipil dan lembaga HAM harus dijamin dalam setiap investigasi kekerasan aparat.      

5. Tanggung Jawab Negara – Negara wajib meminta maaf kepada keluarga korban dan memberikan kompensasi, sambil menjamin peristiwa serupa tidak akan terulang.      

      

Kematian ojek online ini bukan sekadar angka, melainkan nyawa rakyat kecil yang dikorbankan. Jika negara gagal mengusutnya secara serius, maka sejarah akan mencatat bahwa institusi kepolisian dan elit politik adalah pihak yang menodai demokrasi dengan darah rakyatnya sendiri.      


Demikian atas perhatian diucapkan terimakasih.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)