"Republik: Menolak Riba dan Merawat Keadilan"

Media Barak Time.com
By -
0




Pendahuluan


Konstitusi Indonesia dengan tegas menetapkan dalam Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik.” Ini bukan sekadar pernyataan bentuk negara, melainkan amanat ideologis: bahwa kekuasaan harus tunduk pada prinsip kedaulatan rakyat dan keadilan substantif. Dalam republik, hukum berdiri di atas kekuasaan; moralitas publik menjadi fondasi, bukan sekadar prosedur administratif.


Lebih dalam lagi, Pancasila sebagai dasar negara menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa pada sila pertama. Ini bukan hiasan spiritual, melainkan fondasi teologis yang menuntut sistem sosial dan ekonomi yang etis, adil, dan memuliakan harkat manusia. Dalam seluruh agama yang diakui di Indonesia—Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu—praktik riba ditolak karena dianggap merusak tatanan moral dan menciptakan ketimpangan yang eksploitatif. Dengan demikian, republik Indonesia semestinya tak memberi ruang bagi riba dalam sistem pergaulan hidup warganya.


Namun realitas berkata sebaliknya. Praktik riba dan rente tidak hanya dilegalkan, tapi juga dilembagakan. Perbankan konvensional masih menjadikan bunga sebagai mekanisme utama sirkulasi uang. Pinjaman online tumbuh eksponensial—menurut OJK, total akumulasi pinjaman fintech per Desember 2024 telah menembus Rp 86 triliun, dengan bunga efektif yang kerap menembus 100–200% per tahun. Di balik jargon “inklusif” dan “digital”, tersembunyi jerat utang yang membungkam masa depan generasi muda.


Ironisnya, sistem ini didiamkan dalam kerangka negara yang mengaku berdasar Ketuhanan dan keadilan sosial. Tidak ada negara beradab yang membiarkan rakyatnya digerogoti oleh praktik ekonomi yang bertentangan dengan moralitas publik. Sejarah menunjukkan, dalam filsafat klasik seperti Plato, Aristoteles, hingga Cicero, keadilan bukan diukur dari efisiensi pasar, tetapi dari kemampuan negara melindungi yang lemah dari keserakahan yang kuat. Dalam pandangan Plato, negara yang membiarkan uang menghasilkan uang adalah negara yang kehilangan akal budi.


Maka, jika Indonesia benar-benar ingin setia pada identitasnya sebagai republik yang religius dan berkeadilan, ia harus berani bersikap: menolak riba sebagai prinsip dan praktik. Negara tidak cukup hadir sebagai regulator netral; ia harus berpihak pada keadilan. Sebab keadilan, sebagaimana ditegaskan Aristoteles, adalah satu-satunya fondasi yang membuat republik tetap bernapas sebagai rumah bersama.


Cara Pandang : Plato, Cicero dan Aristoteles Dalam Republik


Dalam pusaran globalisasi ekonomi yang menuhankan profit dan pertumbuhan, kita cenderung lupa bahwa republik bukanlah pasar. Ia adalah polis — tempat pengabdian terhadap keadilan, bukan ruang transaksi rente dan riba. Ketika republik membiarkan riba tumbuh dalam sistem ekonominya, maka sesungguhnya ia sedang mengkhianati cita-cita keadilan itu sendiri.


Plato dalam Republik telah menggambarkan bahwa keadilan adalah ketika setiap unsur masyarakat menjalankan fungsinya dengan baik — dan tidak mencampuri peran lainnya. Dalam konteks ini, keuangan tidak boleh mengambil alih moralitas. Ekonomi tidak boleh menjadi alat penghisapan, apalagi melalui riba — bunga atas uang — yang pada hakikatnya adalah uang bekerja tanpa kerja. Plato menyebut bentuk keadilan dalam negara ideal sebagai harmoni antara tiga kelas: penguasa (filosof), penjaga (militer), dan produsen (rakyat pekerja). Riba menghancurkan harmoni itu dengan menciptakan kelas predator finansial yang merusak tatanan keadilan.


Cicero, negarawan dan filsuf Romawi, lebih gamblang lagi: "Nihil turpius quam pecuniam lucrari ex usura." Tidak ada yang lebih tercela dari memperoleh keuntungan lewat riba. Cicero melihat republik sebagai ruang kebajikan sipil (civic virtue), di mana relasi sosial dibangun atas dasar kehormatan, bukan keuntungan. Riba merusak prinsip ini karena mengubah hubungan manusia menjadi hubungan kalkulatif: siapa yang bisa menghisap lebih besar dari yang lemah.


Sementara Aristoteles, dalam Politics dan Nicomachean Ethics, menegaskan bahwa uang diciptakan sebagai alat tukar, bukan sebagai alat untuk melahirkan uang lain. Ia menyebut riba sebagai bentuk kekayaan yang "bertentangan dengan kodrat", karena mengubah relasi manusia menjadi relasi eksploitasi. Uang, kata Aristoteles, tak seharusnya "beranak-pinak" — sebab itu melanggar prinsip keadilan distributif: memberi kepada yang berhak sesuai kontribusinya.


Indonesia, sebagai negara dengan semangat keadilan sosial dalam Pancasila, tak boleh membiarkan praktik riba merasuki sistem perbankan, pinjaman daring, hingga praktik rente dalam pengadaan barang dan jasa. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), per 2024, akumulasi pinjaman online mencapai lebih dari Rp 86 triliun dengan tingkat bunga efektif yang bisa menyentuh 200% per tahun. Ini bukan pinjaman, ini perbudakan.


Di sisi lain, World Inequality Report menunjukkan bahwa 10% orang terkaya di Indonesia menguasai lebih dari 77% kekayaan nasional, sebuah ketimpangan yang didorong bukan oleh produktivitas, tapi oleh akumulasi rente dan hasil sistem keuangan yang tidak adil.


Sudah saatnya republik ini memurnikan kembali arah pergaulan hidupnya: menolak riba sebagai sistem hukumnya, dan merawat keadilan sebagai prinsip. Ekonomi harus ditundukkan pada moral. Negara tidak boleh membiarkan bunga berbunga menjadi instrumen legal, sementara petani kehilangan tanahnya karena tak sanggup membayar cicilan. Mahasiswa putus kuliah karena bunga pinjaman pendidikan. UMKM bangkrut karena lilitan bunga pinjol. Ini bukan sekadar problem teknis—ini adalah soal etika publik.


Republik, jika ingin berumur panjang, harus kembali ke akarnya: keadilan. Riba dan rente adalah lawan filosofis dari republik. Maka, menolak riba bukan sekadar agenda agama, melainkan fondasi moral bangsa. Republik yang membiarkan riba adalah republik yang sedang menggali kuburannya sendiri.


Penghapusan Pasal-Pasal Riba dalam Sistem Hukum Republik Indonesia


Sistem hukum Indonesia masih menyisakan warisan kolonial yang bertentangan secara terang dengan jati diri konstitusional bangsa. Pasal 1765 hingga 1768 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) adalah contohnya—serangkaian pasal yang melegalkan praktik bunga atau rente atas pinjaman uang. Meskipun tampak netral dalam wajah hukum positif, secara substansi pasal-pasal ini adalah legalisasi riba, yang jelas-jelas bertentangan dengan asas moral konstitusi Indonesia. Negara yang mengaku sebagai republik dan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, tak bisa lagi membiarkan hukum menjadi alat pembenaran eksploitasi ekonomi.


Pasal 1765 KUHPerdata, misalnya, secara eksplisit menyatakan bahwa pinjam-meminjam uang dapat dikenai bunga berdasarkan kesepakatan. Lalu, Pasal 1766 hingga 1768 mengatur bentuk bunga dan hak kreditur atas akumulasi bunga tersebut. Dalam logika hukum kolonial, ini sah. Tapi dalam terang konstitusi kita, ini cacat moral. Pasal-pasal tersebut bukan sekadar teks hukum—mereka adalah legitimasi negara terhadap sistem yang memperbolehkan uang "beranak uang", bahkan tanpa aktivitas produktif. Aristoteles dalam Politics menyebut praktik ini sebagai bentuk kekayaan yang bertentangan dengan kodrat alam, karena melahirkan ketimpangan yang tidak berasal dari kerja nyata.


Secara filosofis, keberadaan pasal-pasal riba dalam KUHPerdata menyalahi nilai-nilai utama dalam Pancasila, khususnya Sila Pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa. Tak satu pun agama yang diakui di Indonesia membenarkan praktik riba. Islam mengharamkannya (QS Al-Baqarah: 275–279), Kristen menolaknya dalam prinsip moral Yesus terhadap para rentenir (Lukas 6:35), sementara Hindu dan Buddha mengecam praktik pemerasan dalam kehidupan sosial. Maka, mempertahankan pasal riba bukan saja melanggar asas hukum, tapi juga merusak konsensus teologis bangsa. Ini kontradiksi yang mencederai ruh republik.


Dari aspek konstitusi, Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa Indonesia adalah negara berbentuk republik. Republik, sebagaimana digambarkan oleh Cicero, adalah res publica—hal ihwal publik yang dijalankan dengan kebajikan dan keadilan. Dalam republik, hukum tidak boleh menjadi alat pembenaran bagi sistem yang menindas rakyat kecil. Rente dan riba menjadikan hukum sebagai instrumen pemburu rente, bukan pembela keadilan. Maka, penghapusan pasal-pasal riba harus dibaca sebagai koreksi ideologis terhadap sistem hukum yang menyimpang dari semangat konstitusional.


Penghapusan pasal-pasal riba dalam KUHPerdata adalah langkah mendesak dan mendalam. Ini bukan sekadar revisi teknis, tapi proses restorasi moral sistem hukum nasional agar sejalan dengan jati diri republik Indonesia yang religius dan berkeadilan sosial. Jika hukum ingin kembali dipercaya rakyat, maka ia harus kembali pada akar keadilan, bukan sekadar prosedur legal formal. Republik tidak bisa terus-menerus membiarkan hukum berdiri netral di tengah ketidakadilan—karena netralitas dalam konteks eksploitasi, adalah keberpihakan kepada penindas.


Penutup 


Republik bukan hanya soal bentuk pemerintahan, tetapi soal watak moral dalam mengelola kekuasaan dan kehidupan bersama. Ketika sistem ekonomi dibiarkan bertumpu pada riba dan rente, maka negara telah mengkhianati mandat konstitusionalnya untuk menjamin keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Riba bukan sekadar persoalan bunga—ia adalah simbol ketidakadilan struktural yang merampas dari yang lemah untuk memperkaya yang kuat. Sebuah republik tidak bisa tumbuh di atas fondasi eksploitasi.


Plato menegaskan bahwa keadilan hanya akan tumbuh dalam negara yang setiap unsur masyarakatnya bekerja untuk kebaikan bersama, bukan kepentingan pribadi. Cicero menuntut adanya kebajikan sipil sebagai inti dari res publica, sementara Aristoteles memperingatkan bahwa ekonomi yang tidak tunduk pada etika akan menghancurkan tatanan sosial. Maka, selama riba masih menjadi bagian dari sistem hukum dan ekonomi, republik Indonesia belum selesai membangun dirinya sebagai negara yang bermoral.


Kini saatnya negara bersikap. Penghapusan pasal-pasal riba dalam KUHPerdata bukan sekadar tindakan hukum, tapi deklarasi etik bahwa republik ini berpihak pada nilai, bukan sekadar nilai tukar. Rakyat tidak butuh negara yang netral di hadapan ketidakadilan, tetapi negara yang aktif membela mereka dari sistem yang menindas. Republik sejati bukan lahir dari pertumbuhan ekonomi semu, tapi dari keberanian moral untuk menegakkan keadilan yang sesungguhnya. Dan itu hanya mungkin jika riba disingkirkan dari tubuh hukum dan kehidupan sosial bangsa.


Demikian 


Penulis Adv. M.Taufik Umar Dani Harahap,SH, salah satu Tim Advokat Pemohon Norma Republik dalam Pasal 1 UUD 1945, teregister perkara MK, Nomor Perkara 59/PUU-XXIII/2025 dan Wakil Sekretaris Bidang Hukum Dan HAM MW KAHMI Sumut.

_______________


Daftar Pustaka


Aristotle. Politics. Translated by Benjamin Jowett. Oxford: Clarendon Press, 1885.


Aristotle. Nicomachean Ethics. Translated by W.D. Ross. Chicago: Encyclopedia Britannica, 1952.


Cicero, Marcus Tullius. De Officiis. Translated by Walter Miller. Cambridge, MA: Harvard University Press, 1913.


Plato. The Republic. Translated by G.M.A. Grube and C.D.C. Reeve. Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1992.


Otoritas Jasa Keuangan (OJK). “Statistik Fintech Lending Periode Desember 2024.” Accessed July 5, 2025. https://www.ojk.go.id/id/kanal/iknb/data-dan-statistik/fintech.


World Inequality Lab. World Inequality Report 2022. Edited by Lucas Chancel, Thomas Piketty, Emmanuel Saez, and Gabriel Zucman. Cambridge, MA: Harvard University Press, 2022.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)