"Kejatisu Baru Sumut: Harapan Besar Pemberantas Kasus Extra Ordinary Crime di Sumatera Utara"

Media Barak Time.com
By -
0

 



Pendahuluan

Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin resmi menunjuk Harli Siregar sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Sumatera Utara melalui Keputusan Jaksa Agung Nomor 352 Tahun 2025 tertanggal 4 Juli 2025. Harli menggantikan Idianto yang telah menduduki jabatan itu hampir tiga tahun. Pengangkatan ini menjadi sorotan bukan hanya karena pos strategisnya, tetapi karena sosok Harli adalah alumnus Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) stambuk ’89 yang selama ini dikenal berintegritas dan progresif dalam kariernya di Kejaksaan RI.


Penunjukan Harli Siregar bukanlah rotasi biasa. Sebelumnya, ia menjabat sebagai Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung—jabatan strategis yang menuntut ketepatan komunikasi publik dan pengawalan citra institusi penegak hukum. Kini, ia menghadapi medan yang jauh lebih keras: Sumatera Utara, wilayah yang menjadi episentrum kasus-kasus kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes) seperti korupsi anggaran daerah, mafia tanah, hingga jaringan narkotika lintas negara.


Beban sejarah pun membayangi: Kejatisu selama ini dinilai lamban menangani kasus-kasus korupsi kelas kakap dan cenderung kompromistis terhadap aktor-aktor politik lokal. Laporan ICW tahun 2024 mencatat bahwa Sumut termasuk dalam lima provinsi dengan jumlah kasus korupsi terbanyak, namun sebagian besar berakhir dengan vonis ringan atau penundaan eksekusi. Belum lagi sorotan publik atas minimnya progres penanganan kasus-kasus mafia tanah dan proyek fiktif hibah bansos yang diduga melibatkan banyak pejabat daerah.


Dalam konteks ini, Harli Siregar tak hanya membawa status alumni USU, tapi juga harapan besar masyarakat Sumut terhadap institusi kejaksaan yang bersih, berani, dan berpihak pada keadilan. Ia diharapkan menjadi pemutus rantai kompromi dan aktor perubahan dari dalam institusi. Tantangannya jelas: bukan sekadar menegakkan hukum, tetapi mengembalikan wibawa hukum di tengah pusaran kekuasaan, uang, dan pengaruh. Jika ia gagal, maka Sumatera Utara akan terus terjebak dalam siklus impunitas yang tak berkesudahan. Namun jika ia berhasil, maka sejarah baru akan ditulis—oleh seorang anak daerah yang kembali untuk membongkar borok di tanah kelahirannya.


Saatnya Jaksa Tak Lagi Kompromi pada Kejahatan Luar Biasa


Sumatera Utara sedang berada dalam darurat kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Korupsi berjamaah, perdagangan narkotika lintas negara, hingga mafia tanah yang bersarang dalam tubuh birokrasi menjadi wajah kelam provinsi ini. Kejahatan semacam ini tidak hanya melanggar norma hukum, tetapi juga menghancurkan sendi-sendi moral, sosial, dan ekonomi secara sistemik. Dalam lanskap seperti itu, pergantian pucuk pimpinan di Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara bukanlah sekadar rotasi jabatan, melainkan momentum kritis untuk memutus siklus impunitas yang selama ini berlangsung.


Data terbaru Badan Narkotika Nasional (BNN) menunjukkan bahwa Sumatera Utara adalah provinsi dengan peredaran narkotika tertinggi di Indonesia. Medan menjadi titik episentrum jaringan narkoba dari Malaysia dan Thailand, lalu menyebar ke berbagai kota di tanah air. Jaringan ini bukan bergerak secara sporadis, melainkan terstruktur, sistematis, dan kerap dilindungi oleh aktor-aktor negara yang mestinya menjadi penjaga hukum. Ketika aparat penegak hukum justru terlibat dalam perlindungan pelaku, maka hukum berubah menjadi alat transaksi, bukan keadilan.


Dalam hal korupsi, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat Sumatera Utara sebagai salah satu dari lima besar provinsi terkorup sepanjang 2024. Total kerugian negara dari kasus-kasus korupsi di Sumut mencapai Rp478 miliar. Modusnya tidak lagi klasik. Dari manipulasi pengadaan, permainan hibah fiktif, hingga mark up belanja rutin—semuanya dilakukan dengan kolaborasi antara eksekutif, legislatif, hingga oknum penegak hukum. OTT terhadap Kadis PUPR Sumut, Topan Ginting, menjadi sinyal bahwa penyakit korupsi sudah menjalar ke jantung birokrasi Gubernur Bobby Nasution.


Kondisi ini konflik agraria juga tinggi di Sumut oleh permainan mafia tanah bekerja sama dengan elite politik dengan merampas hak rakyat atas ruang hidup dimana tanah sebagai alas produksinya. Skema mafia ini sering kali memanfaatkan celah hukum, sinergi dengan elite politik, memalsukan dokumen, dan menyuap aparatus agar proses kriminalisasi rakyat dan penggusuran dapat berjalan mulus. Banyak kasus rakyat tak bertanah di perkotaan,  masyarakat adat dan petani yang di gusur demi proyek investasi, tanpa kejelasan hukum. Ini bukan sekadar konflik agraria, melainkan tragedi keadilan yang terus dibiarkan berlangsung di Sumatera Utara.


Karena itu, Kepala Kejaksaan Tinggi yang baru, Harli Siregar, menghadapi ujian sejarah. Ia tidak hanya dituntut memahami struktur masyarakat yang berhubungan dengan penegakan hukum, tapi juga membaca medan kuasa dan jejaring gelap di balik kejahatan luar biasa. Publik tidak butuh jaksa yang lihai beretorika, melainkan jaksa yang berani menyentuh aktor-aktor besar yang selama ini kebal hukum dimana bahasa 'anak medannya' 'semua sudah kita bereskan dan semua bisa diatur'. Jika Siregar gagal menegakkan garis tegas antara keadilan dan kekuasaan, maka Kejatisu hanya akan menjadi teater semu yang mengulang babak lama: hukum tumpul ke atas, tajam ke bawah -dan hanya omon-omon.


Korupsi dan Narkoba Bukan Lagi Kejahatan Biasa


Prof. Romli Atmasasmita, pakar hukum pidana terkemuka sekaligus mantan anggota tim perumus UU KPK, menegaskan bahwa korupsi bukan kejahatan biasa. Ia adalah kejahatan sistemik yang merusak dari dalam — menghancurkan tatanan pemerintahan, melemahkan institusi negara, dan membunuh harapan rakyat secara perlahan. “Kejahatan luar biasa harus ditangani dengan metode luar biasa pula,” ujar Romli. Maka menjadi jelas: Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejatisu) tidak bisa lagi mengandalkan pola kerja birokratis yang lamban dan kompromistis. Ia harus hadir dengan pendekatan ofensif, transparan, dan bermoral tinggi.


Sejalan dengan itu, Prof. Barda Nawawi Arief menegaskan bahwa korupsi dan narkotika adalah kejahatan berdimensi ideologis. Mengapa? Karena keduanya menyerang langsung sendi negara: kepercayaan publik dan masa depan generasi bangsa. Dalam perspektif ini, Kejatisu bukan hanya penuntut perkara, tapi juga aktor strategis dalam membangun kembali moral publik terhadap hukum. Ketika publik sudah tidak percaya pada aparat penegak hukum, maka yang runtuh bukan hanya lembaga, tapi legitimasi negara itu sendiri.


Khusus dalam persoalan narkotika, Sumatera Utara berada di titik nadir. Data BNN tahun 2024 secara gamblang menunjukkan bahwa Sumut adalah provinsi dengan tingkat peredaran narkoba tertinggi di Indonesia. Kota Medan menjadi titik lalu lintas utama jaringan narkoba internasional dari Malaysia, Myanmar, dan Thailand. Kondisi ini menjadikan Sumut sebagai ladang subur peredaran sabu, ganja, hingga ekstasi, yang tidak hanya merusak mental anak bangsa, tetapi juga membiayai kejahatan terorganisir lintas negara.


Sejarah dunia memberikan pelajaran pahit: bangsa yang kalah bukan selalu karena kekuatan militer, tetapi karena kerusakan moral generasinya. Tiongkok di abad ke-19 runtuh di hadapan kolonialisme Inggris bukan karena senjata, tetapi karena candu (opium). Ketika generasi mudanya tertidur dalam pelukan narkoba, kolonialisme masuk tanpa perlawanan berarti. Kini, situasi serupa mengintai Indonesia melalui jalur Sumatera Utara — bukan lagi penjajahan asing, melainkan kehancuran internal akibat narkotika yang merajalela.


Kejatisu tidak boleh menutup mata atas bahaya ideologis ini. Ia harus melampaui sekadar penanganan administratif perkara narkotika dan berani membongkar sindikat besar di baliknya, termasuk keterlibatan oknum aparat dan politisi. Sumut tidak butuh simbol hukum yang hanya tampil saat seremonial, melainkan penegak hukum yang hadir saat rakyat tak punya daya melawan. Jika tidak, Kejatisu hanya akan menjadi saksi bisu dari jatuhnya satu generasi yang tak pernah diselamatkan.


Kejatisu Baru: Ujian Integritas dan Kepemimpinan


Pertama-tama, ucapan selamat patut disampaikan kepada Bapak Harli Siregar, alumni Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara stambuk 1989, atas amanah barunya sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara. Penunjukan ini membawa harapan besar bagi masyarakat Sumut, yang selama ini menanti hadirnya sosok jaksa yang tak sekadar mengerti hukum, tetapi juga memiliki keberanian moral dan integritas untuk melawan akar-akar kejahatan luar biasa di provinsi ini.


Harapan itu bukan tanpa alasan. Sumut bukan sekadar wilayah administratif, melainkan episentrum korupsi dan peredaran narkoba skala nasional. Di tengah kondisi ini, publik menanti: apakah Harli Siregar mampu menjawab tantangan besar itu? Apakah ia berani membuka kembali kasus-kasus mangkrak yang selama ini dibiarkan mengendap? Apakah ia mampu menyentuh aktor-aktor besar yang selama ini seolah kebal hukum? Dan yang tak kalah penting: apakah ia mau membuka ruang kerja sama dengan kalangan akademisi, media investigatif, serta masyarakat sipil sebagai bagian dari sistem pengawasan publik?


Kepemimpinan di Kejatisu kini dipertaruhkan bukan hanya dalam kapasitas administratif, tetapi sebagai ujian integritas dan keberanian moral. Sumut sedang butuh figur penegak hukum yang tidak hanya kuat secara hukum positif, tetapi juga memiliki etika keberpihakan kepada keadilan substantif. Harli harus mampu memimpin institusinya untuk menjawab dua ancaman utama yang selama ini membelenggu Sumut: korupsi yang sistemik dan narkoba yang telah merusak sendi generasi muda.


Keberhasilan Harli bukan akan diukur dari banyaknya konferensi pers atau jumlah berkas perkara, tetapi dari seberapa jauh ia mampu memutus jejaring kejahatan luar biasa yang telah mengakar. Ia harus menolak segala bentuk kompromi kekuasaan, menjauhkan institusi dari intervensi politik, dan mengedepankan transparansi dalam setiap tindakan hukum. Kolaborasi lintas sektor menjadi kunci, sebab kejahatan luar biasa tidak bisa ditangani dengan pendekatan biasa.


Gagal menjawab ekspektasi publik berarti membiarkan Sumatera Utara semakin tenggelam dalam lumpur impunitas, di mana hukum hanya menjadi panggung sandiwara tanpa keadilan. Sebaliknya, jika Harli Siregar berhasil mengangkat kembali marwah Kejaksaan sebagai benteng hukum rakyat, maka ia tidak hanya menegakkan keadilan, tetapi juga meletakkan tonggak baru peradaban hukum di tanah kelahirannya sendiri. Dan sejarah akan mencatatnya.


Penutup


Sudah saatnya Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara berdiri di garda terdepan penegakan keadilan substantif, bukan menjadi alat kekuasaan yang tunduk pada kepentingan politik dan ekonomi elitis. Dalam situasi darurat korupsi dan narkotika seperti yang dihadapi Sumut hari ini, Kejatisu harus menjadi institusi yang berpihak pada rakyat—terutama mereka yang selama ini menjadi korban dari sistem yang korup dan impunitif. Jabatan Kejatisu bukan sekadar posisi birokratis, melainkan mandat moral untuk membalikkan keadaan: dari wilayah kekebalan hukum menjadi wilayah supremasi hukum.


Data dan fakta menunjukkan betapa mendesaknya peran Kejatisu dalam memutus siklus kejahatan luar biasa. Sumut adalah provinsi dengan peredaran narkotika tertinggi di Indonesia (BNN, 2024), dan masuk lima besar dalam kasus korupsi secara nasional (ICW, 2024). Jika institusi kejaksaan tidak tampil memimpin dalam penindakan yang berani, transparan, dan berintegritas, maka kejahatan akan terus bereproduksi melalui tangan-tangan yang selama ini dilindungi hukum yang tumpul ke atas. Maka, integritas personal Kepala Kejatisu menjadi titik tumpu terakhir untuk memulihkan kepercayaan publik terhadap negara.


Harli Siregar memikul beban sejarah dan harapan generasi. Ia ditantang untuk menunjukkan bahwa hukum bukan milik penguasa, melainkan benteng terakhir rakyat dalam menghadapi ketidakadilan yang terstruktur. Jadilah Kejatisu yang menegakkan hukum di atas semua tekanan, bukan di bawah bayang-bayang kekuasaan. Fiat justitia ruat caelum—keadilan harus ditegakkan, meskipun langit runtuh. Sebab di tengah badai ketidakadilan, hanya hukum yang benar dan berani yang bisa menyelamatkan bangsa dari keterpurukan moral dan sosial.


Demikian.


Tentang Penulis:

Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH adalah Advokat,  Alumni Fakultas Hukum USU Stambuk' 92, Ketua Forum Penyelamat USU, Anggota Badan Perkumpulan KontraS Sumut dan Wakil Sekretaris Bidang Hukum dan HAM MW KAHMI Sumut.

______________


Daftar Pustaka


Atmasasmita, Romli. Reformasi Hukum, HAM, dan Korupsi di Indonesia. Bandung: Mandar Maju, 2004.


Barda Nawawi Arief. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Jakarta: Prenada Media, 2010.


Badan Narkotika Nasional (BNN).

“Sumatera Utara Jadi Provinsi dengan Peredaran Narkotika Tertinggi Tahun 2024.”

Diakses 4 Juli 2025. https://bnn.go.id/statistik-peredaran-narkotika-2024.


ICW. “Tren Penindakan Kasus Korupsi Tahun 2024.” Jakarta: Indonesia Corruption Watch.


CNBC Indonesia. “Profil Harli Siregar, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung yang Baru.” 11 Juni 2024. https://www.cnbcindonesia.com/news/20240611125525-4-545629.


Tempo. “Harli Siregar Ditunjuk Jadi Kepala Kejaksaan Tinggi Sumut.” Diakses 4 Juli 2025. https://www.tempo.co/tag/harli-siregar.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)