Pendahuluan
> “Kekuasaan yang takut pada suara nurani adalah kekuasaan yang layak dicurigai.”
Tuduhan “masalah kedisiplinan” terhadap dr. Rizky Adriansyah tidak berdiri di atas proses hukum yang sahih. Tidak ada sidang etik di RSUP H. Adam Malik. Tidak ada dokumen putusan Majelis Disiplin Profesi Kedokteran. Tidak ada rekomendasi dari instansi kepegawaian di Fakultas Kedokteran USU sebagai institusi asal dr. Rizky. Maka pernyataan Aji Muhawarman yang menyebut “masalah kedisiplinan” bukan hanya tidak berdasar, tetapi merupakan bentuk pelabelan sepihak yang berpotensi melanggar hukum dan prinsip praduga tak bersalah. Dalam dunia medis, seperti halnya dalam hukum, reputasi adalah aset tak tergantikan—dan kerusakannya, meski tanpa bukti, bisa bersifat permanen.
Penguasa Kesehatan Republik tak boleh menggunakan kekuasaannya untuk memukul balik warga yang menjalankan hak konstitusionalnya. Dalam kasus ini, dr. Rizky tak melakukan tindakan insubordinasi atau pelanggaran hukum, melainkan menyuarakan keberatan atas mutasi mendadak terhadap Ketua Umum IDAI, dr. Piprim Yanuarso, yang dinilai sarat muatan politis. Pernyataan itu disampaikan secara terbuka dan sah, sebagaimana dijamin dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Ketika suara kritis dibalas dengan pemecatan dan stigmatisasi, maka itu bukan lagi pemerintahan demokratis, melainkan praktik pembungkaman yang sistemik.
Ini bukan sekadar kasus individual, melainkan cermin dari cara negara memperlakukan profesi intelektual. Dunia kedokteran tidak semestinya tunduk pada logika kuasa birokrasi, tetapi pada etika profesi, evidence-based science, dan moralitas publik. Jika setiap perbedaan pandangan dianggap sebagai pembangkangan, dan dijawab dengan pemecatan atau karakterisasi negatif, maka kita tengah menyaksikan reproduksi budaya feodal dalam sistem kesehatan modern. Ironisnya, hal ini justru terjadi di tengah janji reformasi pelayanan kesehatan yang menjunjung keterbukaan dan transparansi.
Jika penguasa mengklaim menjunjung profesionalisme dan meritokrasi, maka penyelesaian sengketa etik harus melalui mekanisme formal: Komite Etik Rumah Sakit, Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK), atau Majelis Disiplin Profesi Kesehatan (MDPK). Tapi dalam kasus ini, semua prosedur itu diloncati. Pemerintah justru memilih jalur opini publik—melempar stigma melalui media, tanpa dasar hukum. Ini bukan hanya pembunuhan karakter, tapi juga pelanggaran asas due process of law, prinsip paling dasar dalam negara hukum.
Masyarakat sipil tidak boleh diam. Hari ini dr. Rizky yang dibungkam, esok bisa siapa pun yang bersuara. Profesional medis, akademisi, jurnalis, hingga aktivis—semua punya risiko yang sama ketika negara mulai alergi pada kritik dan menempuh jalur intimidasi. Jika tidak ada koreksi institusional dan pertanggungjawaban publik, maka kasus ini akan menjadi preseden buruk: negara melawan warganya sendiri hanya karena mereka berbeda pendapat. Dan itu bukan tanda negara kuat, melainkan negara yang rapuh secara moral.
Hak Berpendapat Dijamin Konstitusi
Dalam negara hukum yang demokratis, hak untuk menyampaikan pendapat adalah pilar yang tak boleh diganggu gugat. Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa setiap orang “berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Ini bukan sekadar kalimat konstitusional, tapi jaminan mendasar bahwa kekuasaan negara tidak boleh mengintimidasi warganya hanya karena berbeda pendapat. Sayangnya, dalam kasus dr. Rizky Adriansyah, prinsip ini justru dilanggar oleh institusi yang seharusnya menjadi pelindung hak-hak sipil.
Dr. Adnan Buyung Nasution, salah satu peletak dasar pemikiran hukum HAM di Indonesia, menyebut bahwa “hak menyatakan pendapat adalah hak asasi manusia yang langsung berasal dari martabat manusia itu sendiri, tidak boleh dibatasi kecuali oleh hukum yang adil.” Dalam konteks ini, suara dr. Rizky yang mengkritik mutasi sepihak terhadap dr. Piprim Yanuarso bukan pelanggaran, melainkan ekspresi etis dari seorang profesional. Kritik terhadap kebijakan publik adalah bentuk pengabdian kepada kebenaran, bukan pembangkangan terhadap negara.
Lebih lanjut, Buyung menekankan bahwa demokrasi bukan hanya prosedur elektoral, tetapi ruang hidup di mana warga dapat bersuara tanpa takut dikriminalisasi atau distigmatisasi. Pemecatan tanpa proses hukum, tanpa sidang etik, dan tanpa pembelaan diri, adalah bentuk otoritarianisme administratif—kekuasaan yang memanipulasi birokrasi untuk membungkam suara yang berbeda. Ini bukan demokrasi, tapi regresi menuju negara kekuasaan (machtsstaat).
Jika kita kembali pada hukum internasional, Pasal 19 ICCPR yang telah diratifikasi lewat UU No. 12 Tahun 2005, memperkuat jaminan bahwa “setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat tanpa campur tangan.” Maka tindakan pejabat Kemenkes yang melabeli dr. Rizky sebagai “tidak disiplin” di media massa, tanpa dasar hukum dan mekanisme etik, merupakan pelanggaran terhadap komitmen HAM internasional yang telah menjadi bagian dari hukum nasional.
Lebih mengkhawatirkan lagi, pelanggaran ini dilakukan oleh aparatur negara terhadap seorang dokter yang berbicara berdasarkan tanggung jawab moral profesinya. Seperti ditegaskan Adnan Buyung, negara tidak boleh memperlakukan perbedaan pendapat sebagai musuh. Dalam perspektif negara hukum, suara minoritas bukan ancaman, melainkan koreksi. Ketika koreksi dianggap dosa, dan pembelaan etika dianggap pelanggaran, maka yang sedang runtuh bukan hanya hukum, tetapi nurani kekuasaan itu sendiri.
Tidak dapat diabaikan bahwa dalam kasus ini, tidak pernah ada sidang etik, tidak ada keputusan disiplin, dan tidak ada pelanggaran hukum yang terbukti. Yang ada hanyalah represi melalui opini publik yang digerakkan oleh pejabat negara. Ini adalah bentuk chilling effect, efek jera terhadap suara-suara kritis yang membuat publik profesional enggan bersuara. Dalam bahasa Buyung, ini adalah ancaman terhadap “substansi demokrasi yang lahir dari kebebasan berpikir dan menyampaikan pendapat.”
Apa yang dialami dr. Rizky harus menjadi alarm bagi seluruh warga negara: hari ini seorang dokter yang dibungkam, esok bisa jurnalis, dosen, aktivis, atau bahkan mahasiswa. Negara tidak boleh memonopoli kebenaran, apalagi menjadikannya senjata untuk memberangus perbedaan. Konstitusi bukan hanya dokumen hukum—ia adalah benteng terakhir perlindungan warga dari kesewenang-wenangan.
Kuasa Negara vs Hak Profesional
Ironis ketika kuasa negara justru bertentangan dengan ilmu. Dalam ranah pelayanan publik, terutama di sektor kesehatan, profesionalisme tidak hanya soal disiplin administratif, tapi lebih dalam: soal integritas ilmu pengetahuan dan tanggung jawab etik. Seorang dokter seperti dr. Rizky Adriansyah tidak hanya menjalankan tugas birokratis, tetapi juga mengemban professional conscience—nurani ilmiah yang menjadikan ilmu sebagai panglima. Ketika pendapat ilmiah dibalas dengan pembungkaman, maka yang dilawan bukan hanya individu, tetapi ekosistem keilmuan itu sendiri.
Dalam sistem profesi modern, otoritas ilmiah tidak bisa tunduk pada selera kuasa. Profesi kedokteran telah memiliki perangkat etik, standar praktik, hingga sistem disiplin yang ketat dan independen. Maka setiap sanksi harus melalui proses etik formal: Komite Etik RS, Majelis Kehormatan Etik Kedokteran, atau Majelis Disiplin Profesi. Ketika birokrat kementerian tiba-tiba mengambil alih penilaian etik tanpa prosedur, itu bukan sekadar salah langkah administratif—itu bentuk intervensi negara terhadap ranah keahlian yang seharusnya otonom dan objektif.
Fenomena ini membentuk apa yang disebut Michel Foucault sebagai regime of truth—rezim kebenaran yang hanya sah jika berasal dari struktur kuasa, bukan dari logika ilmu. Dalam konteks ini, suara seorang dokter yang menyampaikan penilaian profesional justru dianggap ancaman terhadap "stabilitas" sistem, lalu dibalas dengan stigma “tidak disiplin”. Ini bukan soal disiplin, tapi delegitimasi wacana—upaya membungkam ilmu demi mempertahankan otoritas negara yang rapuh secara argumentatif.
Lebih berbahaya lagi, praktik ini menciptakan iklim ketakutan di kalangan tenaga kesehatan. Dalam diskusi internal maupun ruang akademik, mulai terasa adanya pembatasan diam-diam terhadap kebebasan berbicara. Bukan karena larangan resmi, tetapi karena trauma struktural: siapa pun yang bersuara bisa "dimutasi", "di-nonaktifkan", atau dilabeli negatif di media. Ini adalah chilling effect—efek jera yang sistemik. Dalam jangka panjang, hal ini bisa membunuh inovasi, menghambat kritik, dan merusak proses pembelajaran dalam dunia kedokteran Indonesia.
Jika negara serius membangun sistem kesehatan yang maju, maka profesionalisme harus dijaga, bukan dicurigai. Kompetensi tidak boleh dikalahkan oleh loyalitas politik. Ilmu tidak boleh ditundukkan oleh kekuasaan. Maka ketika negara mulai mengintervensi etik profesi tanpa dasar hukum dan prosedur ilmiah, yang runtuh bukan hanya karier seorang dokter—tetapi fondasi rasional dari kebijakan publik itu sendiri.
Pelajaran dari Dokter Rizky
Kasus dr. Rizky Adriansyah membuka tabir persoalan yang lebih dalam: bukan sekadar konflik personal, melainkan tanda bahaya dari sistem yang makin tertutup terhadap kontrol etik dan akademik. Ketika seorang dokter—yang bicara atas nama sumpah profesi dan prinsip ilmiah—dicap tidak disiplin tanpa proses etik formal, maka yang terjadi bukan penegakan disiplin, tapi delegitimasi profesionalitas oleh kuasa negara. Ini gejala klasik dari rezim birokrasi yang anti-kritik, bahkan dalam dunia yang seharusnya menjunjung kebebasan akademik dan tanggung jawab moral.
UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran secara jelas memberikan hak dan perlindungan kepada dokter untuk menjalankan praktik secara independen dan bertanggung jawab secara etik. Dalam pasal-pasalnya, ditegaskan bahwa penyelesaian konflik etik atau pelanggaran harus melalui Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) dan Majelis Disiplin Kedokteran Indonesia (MDKI), bukan melalui pernyataan terbuka pejabat negara tanpa dasar hukum. Maka ketika dr. Rizky dihukum dengan cara informal dan dilabeli di media, itu bukan sekadar pelanggaran prosedur, tapi abuse of power yang merusak prinsip negara hukum (rechtstaat).
Kekhawatiran ini bukan milik satu dua orang. Sejumlah guru besar fakultas kedokteran di berbagai universitas terkemuka Indonesia telah menyuarakan keprihatinan secara terbuka. Mereka menilai bahwa tindakan pejabat Kemenkes bukan hanya tidak elegan, tapi membahayakan independensi dunia kedokteran. Dalam surat terbuka dan berbagai forum ilmiah, para akademisi senior itu mempertanyakan motif dan prosedur dari mutasi serta pemberhentian dokter-dokter yang bersikap kritis. Sebab, bila dunia kampus dan profesi tidak lagi bebas bersuara, maka sains pun bisa dikendalikan sesuai arah politik kekuasaan.
Dalam jangka panjang, situasi ini bisa menimbulkan kerusakan sistemik: profesional muda enggan bicara, mahasiswa belajar tunduk, dan birokrasi makin berkuasa atas nama "disiplin". Padahal, demokrasi dalam dunia profesi dibangun atas asas deliberasi—ruang terbuka untuk mengkritik, berdebat, dan mencari kebenaran ilmiah. Ketika jalur itu tertutup karena ancaman mutasi atau pemecatan, maka yang tersisa hanyalah kepatuhan semu. Sebuah atmosfer yang berlawanan total dengan semangat evidence-based medicine dan academic freedom.
Kasus ini seharusnya menjadi bahan refleksi menyeluruh. Bukan hanya bagi Kementerian Kesehatan, tetapi juga untuk semua pemegang kekuasaan di negeri ini. Profesi tidak boleh dikooptasi, ilmu tidak boleh dibungkam, dan nurani tidak boleh dikorbankan demi stabilitas birokrasi. Kita butuh sistem yang bisa menerima kritik tanpa paranoia, dan pejabat yang bisa membedakan antara kontrol publik dengan pembangkangan. Karena jika suara hati para profesional dibungkam, maka yang runtuh bukan hanya reputasi mereka—melainkan legitimasi moral kekuasaan itu sendiri.
Mengembalikan Martabat Profesi dan Konstitusi
Republik ini tidak boleh dijalankan dengan logika loyalitas buta. Dalam dunia profesi, khususnya kedokteran, loyalitas utama bukan kepada pejabat, melainkan kepada pasien, ilmu pengetahuan, dan etika profesi yang dijaga dengan sumpah. Ketika negara—melalui tangan birokrasi kesehatan—membungkam suara-suara kritis di kalangan intelektual medis, maka yang hancur bukan hanya reputasi seorang dokter, tapi wibawa konstitusi sebagai pelindung hak warga negara.
Kasus dr. Rizky Adriansyah harus dibaca sebagai sinyal krisis dalam tata kelola kekuasaan. Ketika hak menyampaikan pendapat dibalas dengan pemecatan tanpa prosedur, dan ketika opini profesional dibalas dengan label negatif, maka negara telah mengingkari perannya sebagai pelindung hak sipil. Prof. Jimly Asshiddiqie, pakar hukum tata negara, selalu menegaskan bahwa "seluruh institusi dalam negara demokrasi wajib tunduk pada hukum, bukan pada kemauan penguasa." Artinya, bahkan kementerian sekalipun, tidak boleh melampaui batas hukum dan prosedur.
Demikian pula Prof. Laica Marzuki, mantan hakim konstitusi, pernah mengingatkan bahwa konstitusi bukan hanya norma hukum tertinggi, tapi juga etika bernegara. “Siapa pun yang menjalankan jabatan publik, harus tunduk pada kehendak konstitusi, bukan selera politik.” Dalam konteks ini, pembiaran atas pernyataan Aji Muhawarman yang tanpa dasar dan menyerang kehormatan seorang profesional, adalah bentuk kelalaian institusional yang tidak bisa dibiarkan. Negara tidak boleh memihak pada kekuasaan, tapi harus berpihak pada keadilan dan kebenaran.
Jika Kementerian Kesehatan tidak segera mengoreksi langkah ini, dan membiarkan stigma “tidak disiplin” melekat tanpa dasar hukum, maka yang sedang diuji bukan hanya integritas satu pejabat—tetapi moralitas negara dalam memperlakukan warganya yang kritis. Ini bukan soal somasi semata, melainkan pertempuran untuk mengembalikan nalar keadilan dalam kehidupan bernegara. Karena dalam sistem demokrasi, koreksi bukan penghinaan, dan kritik bukan pengkhianatan.
Penutup
Negara ini didirikan bukan untuk melayani kehendak kuasa, melainkan untuk menegakkan keadilan dan melindungi hak menyampaikan pendapat sebagai hak-hak dasar setiap warganya. Maka ketika seorang profesional yang bersuara atas nama etika justru diintimidasi dan distigmatisasi oleh aparat negara, itu bukan hanya pelanggaran administratif—itu adalah pengkhianatan terhadap konstitusi. Hentikan segala bentuk intimidasi kekuasaan yang mengabaikan prinsip-prinsip dasar demokrasi dan hak asasi manusia.
Negara hukum (rechtstaat) mensyaratkan setiap tindakan pejabat publik dilakukan berdasarkan hukum, bukan berdasarkan amarah, sentimen, atau selera penguasa. Jika pejabat merasa terganggu oleh kritik, maka mekanisme klarifikasi dan hukum adalah jalannya—bukan pembungkaman. Sebab negara yang menindas kebebasan berpendapat, cepat atau lambat akan kehilangan legitimasi moral di mata rakyatnya. Patuhlah pada konstitusi, bukan pada ego jabatan.
Kita butuh pejabat yang mengerti bahwa kuasa bukan alat pembalasan, melainkan sarana pengabdian. Karena dalam republik ini, konstitusi adalah panglima, bukan birokrat yang antikritik. Maka satu-satunya jalan keluar dari krisis ini adalah kembali pada akal sehat hukum, menjunjung tinggi etika, dan menghormati martabat profesi. Jangan biarkan negeri ini bergeser dari negara hukum menjadi negara kekuasaan (machtstaat), tempat kritik dianggap dosa dan kebenaran dibungkam dengan jabatan.
Demikian
Tentang Penulis:
Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH adalah advokat, pemerhati isu konstitusi serta hak asasi manusia, anggota badan perkumpulan KontraS Sumut dan Wakil Sekretaris Bidang Hukum dan HAM MW KAHMI Sumut.
_____________
Daftar Pustaka
Adnan Buyung Nasution. Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Supremasi Hukum. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 1995.
Asshiddiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Konstitusi Press, 2006.
Asshiddiqie, Jimly. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
Kompas.com. “Kemenkes: Dokter Rizky Diberhentikan Karena Masalah Disiplin.” Kompas.com, 5 Mei 2025. https://www.kompas.com (akses 1 Juli 2025).
Konstitusi Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR), diratifikasi Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005.
Konferensi pers para guru besar fakultas kedokteran di seluruh Indonesia, https://youtu.be/XcO6llMiRf0?si=m0UJdCUyK4dLhYX0
Laica Marzuki. Kedaulatan Konstitusi. Yogyakarta: FH UGM Press, 2010.
Michel Foucault. Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings 1972–1977. Edited by Colin Gordon. New York: Pantheon Books, 1980.
Republik Indonesia. Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
Posting Komentar
0Komentar