"Topan Ginting: Koruptor yang Layak Dihukum Mati dan Dimiskinkan Wujud Pemberian Efek Jera Bagi Pejabat Di Sumut"

Media Barak Time.com
By -
0

 



Oleh: Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH (Praktisi Hukum)


Pendahuluan 


Korupsi adalah kejahatan luar biasa yang harus dihukum secara luar biasa pula.” Ungkapan ini tak lagi sekadar slogan klise ketika kita menilik kasus Topan Obaja Putra Ginting—pejabat muda flamboyan yang berubah menjadi simbol pengkhianatan birokrasi. Di tengah belitan kemiskinan struktural dan buruknya layanan publik di Sumatera Utara, Topan tak hanya menyalahgunakan kekuasaan, tapi juga merampas harapan ribuan rakyat pada baiknya fasilitas pembangunan infrastruktur jalan. Bukan sekadar pejabat yang korup, ia adalah wajah paling nyata dari elite birokrasi yang kehilangan rasa malu dan tanggung jawab publik.


Lahir pada 7 April 1983 dan jebolan STPDN tahun 2007, Topan Ginting adalah sosok yang melesat cepat dalam karier birokrasi. Mulai dari Kasubbag Protokol di Pemko Medan hingga menjabat sebagai Kepala Dinas PUPR Provinsi Sumatera Utara pada awal 2025. Ia dikenal dekat dengan Bobby Nasution, tokoh politik muda yang sedang membangun dinasti kekuasaan baru di Sumut. Keterlibatan Topan dalam lingkaran kekuasaan Bobby bukan rahasia, mulai dari dukungan politik di Pilkada 2020 hingga 2024, semua dibayar lunas dengan promosi jabatan strategis. Inilah bentuk baru clientelism di pemerintahan daerah, ketika loyalitas politik menjadi jalan pintas menuju kekuasaan, bukan prestasi atau integritas.


Namun kekuasaan tanpa kontrol adalah jalan pintas menuju kehancuran. Dugaan korupsi yang menyeret Topan Ginting terkait pengadaan bantuan bencana menunjukkan bagaimana jabatan digunakan bukan untuk melayani, tetapi memperkaya diri. Dengan modus penggelembungan anggaran, proyek fiktif, hingga dugaan gratifikasi, uang negara—yang seharusnya disalurkan bagi warga terdampak banjir dan longsor—malah masuk kantong pribadi. Jika terbukti benar, maka berdasarkan UU Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31/1999 jo. UU No. 20/2001), tindakan ini termasuk dalam extraordinary crime yang memungkinkan dijatuhkannya hukuman mati karena dilakukan saat keadaan darurat (bencana).


Data KPK mencatat bahwa Sumatera Utara menjadi salah satu provinsi dengan jumlah kasus korupsi terbanyak dalam dua dekade terakhir. Kasus Topan hanyalah puncak gunung es dari budaya korupsi yang mengakar. Ironisnya, banyak dari pelaku adalah alumni sekolah pemerintahan atau aparatur muda yang dianggap “harapan reformasi birokrasi”. Tapi alih-alih membawa perubahan, mereka justru menjelma menjadi predator anggaran publik. Kondisi ini menegaskan bahwa pendidikan formal tanpa nilai moral hanya akan melahirkan teknokrat tanpa nurani.


Topan Ginting kini menjadi simbol buruknya meritokrasi, lemahnya pengawasan internal, dan rusaknya mental birokrasi daerah. Di tengah sorotan publik yang begitu tajam, negara harus bertindak tegas. Tidak cukup hanya memproses hukum secara normatif, tetapi juga memberi pesan simbolik yang kuat: bahwa siapa pun yang mengkhianati mandat publik harus dihukum seberat-beratnya. Dan jika hukum benar-benar ingin menjawab rasa keadilan rakyat Sumut, maka pemiskinan total hingga hukuman mati bukanlah hukuman berlebihan, melainkan bentuk keadilan yang proporsional bagi kejahatan luar biasa.


Topan Ginting dan Darurat Integritas di Sumatera Utara


Korupsi yang menyeret Topan Ginting, pejabat strategis di Pemprov Sumatera Utara, kembali membongkar borok lama: rapuhnya integritas birokrasi daerah dan lemahnya sistem pengawasan internal. Ia ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus pengadaan barang untuk tanggap darurat bencana. Nilai korupsinya disebut mencapai puluhan miliar rupiah. Dana yang seharusnya menyelamatkan korban banjir dan longsor justru dijadikan bancakan. Ketika anggaran bencana dijarah, maka itu bukan sekadar korupsi—itu adalah perampasan hak hidup manusia.


Sumatera Utara tak asing dengan deretan skandal korupsi kelas kakap. Laporan tahunan KPK dan pemetaan ICW menunjukkan bahwa provinsi ini konsisten masuk dalam lima besar wilayah dengan kasus korupsi terbanyak. Mulai dari kasus Gubernur Syansul Arifin, Gatot Pujo Nugroho hingga kepala daerah lain yang jatuh satu per satu. Ironisnya, Sumut adalah daerah yang kaya sumber daya dan sejarah pergerakan, tetapi justru menjadi ladang subur bagi predator anggaran. Jika tren ini terus dibiarkan, maka korupsi tak lagi menjadi kejahatan luar biasa—ia berubah menjadi kebiasaan yang dilembagakan.


Mengapa Sumut begitu produktif dalam melahirkan koruptor? Salah satu jawabannya terletak pada lemahnya efek jera dan ketidaktegasan aparat penegak hukum. Banyak kasus besar berakhir dengan hukuman ringan, tanpa pemiskinan aset, bahkan tanpa pencabutan hak politik. Dalam banyak kasus, termasuk dugaan terhadap Topan Ginting, indikasi obstruction of justice juga muncul—mulai dari penghilangan bukti, pengaruh kekuasaan dalam proses penyelidikan, hingga tekanan terhadap saksi. Ini yang membuat keadilan tampak pincang.


Publik sudah jenuh melihat pertunjukan birokrasi yang berulang: pejabat ditangkap, tetapi kemudian hidup nyaman di balik jeruji. Padahal dalam Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor, kejahatan korupsi dalam keadaan tertentu—seperti saat bencana—dapat dijatuhi hukuman mati. Ini bukan lagi soal keras atau lunak hukum, tetapi soal keberanian negara dalam melindungi rakyat. Topan Ginting menjadi uji lakmus bagi KPK dan lembaga penegak hukum: apakah mereka tunduk pada hukum, atau pada tekanan politik kekuasaan.


Jika negara masih berpihak kepada rasa keadilan publik, maka kejahatan seperti ini harus dihadapi dengan pendekatan luar biasa. Pemiskinan total, pencabutan hak politik, dan pidana maksimal adalah keharusan. Sebab yang dicuri bukan sekadar uang negara, tetapi nyawa dan masa depan rakyat miskin yang tertimpa bencana. Sumatera Utara tidak butuh pejabat pintar manipulasi anggaran—ia butuh teladan integritas. Dan untuk itu, hukuman terhadap Topan Ginting harus dijadikan peringatan keras bagi semua pejabat yang menjadikan jabatan sebagai ladang kejahatan.


Teori Hukum dan Keadilan Retributif


Skandal korupsi Topan Ginting bukanlah peristiwa biasa. Ia bukan hanya menyalahgunakan kekuasaan dalam pengadaan proyek infrastruktur jalan, tetapi juga menghancurkan kepercayaan publik terhadap birokrasi. Proyek jalan seharusnya menjadi urat nadi pembangunan, tetapi dalam tangan pejabat seperti Topan, berubah menjadi alat memperkaya diri dan kroninya. Jika hukum masih berniat memberikan efek jera, maka vonis ringan bukanlah jawabannya. Dalam perspektif keadilan pidana, ini adalah kejahatan yang pantas diganjar hukuman maksimal.


Dalam kerangka utilitarianisme hukum pidana ala Jeremy Bentham, hukuman dijatuhkan bukan sekadar untuk membalas, tetapi mencegah kejahatan di masa depan (deterrence). Maka, korupsi berjamaah yang dilakukan Topan Ginting dalam proyek pembangunan infrastruktur jalan di Sumatera Utara harus dibalas dengan hukuman yang membawa ketakutan nyata bagi para pejabat lainnya. Tidak cukup dengan penjara lima tahun atau potongan masa tahanan. Koruptor seperti Topan harus dimiskinkan total—aset, rekening, bahkan propertinya disita untuk dikembalikan ke kas negara.


Dalam teori retributive justice dari Immanuel Kant, kejahatan berat harus dibalas setimpal. “Let justice be done though the heavens fall,” tulis  Kant. Maka keadilan bukan soal pragmatisme, tapi soal prinsip. Jika seorang pejabat mengkhianati amanah rakyat dan menyunat anggaran jalan demi rumah mewah dan kendaraan mewah dan gaya hidup 'besar pasak dari pada tiang', maka keadilan menuntut: harta dikembalikan,  kebebasannya  dan nyawanya dicabut. Hanya dengan begitu, negara bisa menegakkan martabat hukum.


Pakar hukum pidana Prof. Romli Atmasasmita, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjadjaran, menyebut bahwa korupsi proyek infrastruktur merupakan bentuk state crime atau kejahatan terhadap fungsi negara. Dalam tulisannya, Prof. Romli menekankan bahwa korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik dalam posisi strategis tidak hanya merugikan negara secara materiil, tetapi menghancurkan public trust. Maka dalam kasus seperti Topan Ginting, negara tidak boleh hanya berhenti pada vonis formal. Harus ada pemiskinan, perampasan hak politik, dan pencabutan hak sosial.


Pasal 2 ayat (2) UU No. 31/1999 jo. UU No. 20/2001 memungkinkan penerapan hukuman mati apabila korupsi dilakukan dalam “keadaan tertentu”. Dalam berbagai putusan Mahkamah Agung, keadaan tertentu diinterpretasikan secara luas: saat bencana, dalam rangka pemulihan pasca-krisis, atau ketika anggaran publik sangat dibutuhkan masyarakat. Proyek infrastruktur jalan di Sumut—yang menghubungkan desa-desa terisolasi dan menopang distribusi ekonomi—termasuk dalam kategori vital. Maka penyalahgunaan kekuasaan atas proyek ini bisa masuk kategori “keadaan tertentu” yang memperkuat dasar pemberlakuan pidana mati.


Topan Ginting bukan sekadar pejabat rakus. Ia adalah simbol dari sistem patronase politik yang menjadikan loyalitas kepada elite lebih penting daripada integritas publik. Ia naik melalui jejaring kekuasaan, bukan prestasi. Proyek-proyek jalan yang dikerjakannya bukan dibangun untuk rakyat, tetapi untuk proyek penggelembungan. Saat rakyat menjerit karena jalan rusak dan terisolasi, sang pejabat sibuk membangun imperium properti pribadi. Inilah bentuk pengkhianatan terhadap misi negara.


Negara tidak boleh ragu menjadikan Topan Ginting sebagai preseden hukum. Pemiskinan total, hukuman maksimal, dan pencabutan hak politik harus diberlakukan. Bukan demi balas dendam, tapi demi menyelamatkan Sumatera Utara dari lingkaran korupsi yang tak kunjung putus. Seperti ditegaskan Prof. Romli, “korupsi yang dibiarkan adalah pengingkaran terhadap negara hukum.” Jika hukum tak menakutkan bagi koruptor, maka mereka akan terus melahap anggaran publik—jalan demi jalan akan jadi lubang kubur rakyatnya sendiri.


Moral Publik dan Legitimasi Hukum


Apa artinya hukum jika tak berpihak kepada korban? Pertanyaan ini menggema bukan hanya di ruang akademik, tapi di warkop-warkop kota Medan, tempat rakyat kecil mengolah kekecewaan menjadi satire. Di sana, nama Topan Ginting bukan sekadar berita, tapi simbol nyata bahwa hukum di negeri ini lebih jinak kepada pencoleng berdasi dibanding kepada maling ayam. OTT KPK terhadap Topan dalam kasus suap proyek infrastruktur jalan di Sumatera Utara bukan sekadar penegakan hukum—ia adalah cermin keretakan legitimasi negara. Rakyat bertanya dengan getir: mengapa yang merampok anggaran triliunan hanya disambut dengan prosedur?


Korupsi proyek jalan bukan kejahatan administratif. Ia membunuh akses, membunuh ekonomi lokal, dan menghancurkan kepercayaan rakyat pada negara. Ketika jalan berlubang karena dana dikorupsi, dan ambulans terjebak saat membawa pasien, maka korupsi itu menjelma jadi pembunuh tak bersenjata. Menurut ICW, kerugian negara akibat korupsi sektor infrastruktur mencapai Rp3,6 triliun dalam lima tahun terakhir. Angka itu bukan sekadar statistik, tapi jalan-jalan rusak, jembatan mangkrak, dan desa-desa terisolasi yang menjadi saksi betapa rakusnya pejabat publik.


Dalam wacana publik Medan hari ini, rasa keadilan sudah digantikan oleh humor getir: “Lebih baik para koruptor diperlakukan seperti saat Revolusi Sosial 1946 di Sumatera Timur.” Sebuah seruan marah, bukan karena publik anti-hukum, tapi karena hukum sudah kehilangan taring. Hukum tak lagi jadi alat pemulihan keadilan, tapi sekadar prosedur teknis yang dimonopoli oleh elite. Ketika para bandit birokrasi masih bisa menyuap dari balik tahanan dan hidup nyaman dalam jeruji ber-AC, publik pun kehilangan harapan. Legitimasi hukum tumbang bukan karena rakyat tidak taat, tapi karena negara terlalu kompromistis.


Abdullah Hehamahua, mantan Penasehat KPK, pernah menegaskan: “Koruptor yang mengakibatkan kemiskinan massal dan kematian tidak pantas diberi ampun. Ia harus dihukum mati.” Pandangan ini bukan soal ekstremisme hukum, tetapi soal kesadaran bahwa kejahatan luar biasa butuh respon luar biasa. Korupsi infrastruktur bukan sekadar delik ekonomi, tapi kejahatan terhadap hak dasar rakyat. Dalam kasus Topan Ginting, hukuman mati, pemiskinan total, dan pencabutan hak politik bukanlah tindakan kejam—itu adalah bentuk minimal dari keadilan substansial.


Hukum yang sah bukan hanya yang tertulis, tapi yang dipercaya rakyat. Dan saat rakyat lebih percaya kopi hitam di pinggir jalan daripada jaksa dan hakim di ruang persidangan, maka sebenarnya kita sudah darurat hukum. Inilah momentum bagi negara untuk mengembalikan kehormatan hukum: dengan menghukum berat mereka yang mengkhianati mandat publik. Jika tidak, jangan salahkan rakyat jika satu saat mereka menuntut keadilan lewat cara yang lebih purba. Sebab dalam demokrasi yang dikhianati, kadang yang tersisa hanyalah kemarahan.


Dimiskinkan: Hukuman Sosial dan Simbolik Bagi Koruptor Sebagai Pengkhianat Negara


Hukuman badan bagi koruptor seperti Topan Ginting bukanlah akhir dari proses keadilan—itu baru permulaan. Sebab kejahatan korupsi, khususnya yang menyasar anggaran bencana, meninggalkan luka sosial yang dalam: hancurnya kepercayaan publik, hilangnya bantuan bagi korban, dan memburuknya pelayanan dasar. Oleh karena itu, pemiskinan total bukan tindakan dendam, melainkan bentuk keadilan simbolik dan sosial. Negara harus menyita seluruh aset hasil kejahatan dan mengalihkannya untuk pemulihan kerusakan yang telah ditimbulkan.


Preseden pemiskinan koruptor bukan hal baru. Dalam kasus E-KTP Gate, negara menyita aset Setya Novanto meski publik masih menyisakan kecewa karena sebagian harta diduga tidak tersentuh. Demikian pula dalam kasus Juliari Batubara yang mencuri dana bantuan sosial saat pandemi: sebagian aset disita, tetapi putusan hukumnya dinilai publik terlalu ringan. Dua kasus ini mengajarkan satu hal penting: proses hukum harus dibarengi dengan keberanian moral untuk menyentuh akar masalah: kekayaan hasil kejahatan.


Topan Ginting wajib dijadikan contoh bahwa negara tidak lagi main-main. Pemiskinan harus dilakukan hingga ke simpul-simpul jaringan ekonomi yang menopang kejahatannya. Di Sumatera Utara, sudah terlalu lama hukum hanya menjadi panggung elite yang tak menyentuh keadilan rakyat. Tak heran jika suara-suara sinis di warkop-warkop dan sudut kota mulai terdengar dan bukan rahasia umum lagi: “Ecek-ecek kali hukuman koruptor itu, harusnya koruptor itu diselesaikan kayak revolusi sosial dulu.” Ini bukan sekadar nostalgia pahit, tetapi ekspresi keputusasaan terhadap sistem hukum yang tak lagi dipercaya, sehingga rakyat mengambil inisiatif sendiri dengan caranya.


Ketika keadilan formal tak mampu menjawab rasa keadilan publik, maka celah kekacauan akan terbuka. Negara harus hadir bukan hanya dalam pasal dan prosedur, tetapi dalam sikap yang tegas dan bermartabat. Pemiskinan total, pembekuan aset, pencabutan hak politik, dan sanksi sosial harus menjadi bagian dari paket hukuman. Jangan beri ruang bagi para bandit berdasi untuk hidup nyaman dari hasil kejahatan yang mereka rawat dengan topeng jabatan.


Pejabat publik bukan penguasa—mereka pelayan. Dan seorang pelayan yang mengkhianati rakyatnya, tidak layak dihormati apalagi diberi tempat di sistem birokrasi. Pemiskinan koruptor seperti Topan Ginting bukan hanya soal uang, tapi tentang pemulihan martabat hukum dan moralitas negara. Saat negara berani memiskinkan pelaku kejahatan luar biasa, saat itulah rakyat akan kembali percaya bahwa hukum bukan alat elite, tetapi penjaga keadilan sejati.


Penutup


Sumatera Utara tidak butuh lagi janji antikorupsi yang kosong. Ia butuh efek kejut. Kasus Topan Ginting harus dijadikan titik balik untuk membongkar gurita korupsi yang telah lama membelit birokrasi daerah. Tidak cukup dengan hukuman penjara simbolik. Pembaharuan menyeluruh harus dimulai dari hulu hingga hilir: memperkuat KPK dan lembaga audit internal, mempercepat eksekusi pemiskinan aset, mencabut hak politik pelaku korupsi, dan dalam kasus ekstrem seperti ini—menegakkan hukuman mati sebagai bentuk ultimatum terhadap pengkhianatan publik di Sumatera Utara yang berulang sejak zaman Gubernur Syamsul dan Gatot  Pujo Nugroho dan seterusnya.


Topan Ginting tidak sedang berhadapan dengan sekadar proses hukum formal. Ia sedang diadili oleh akal sehat publik dan nurani bangsa. Rakyat Sumut—yang selama ini jadi korban pembangunan setengah hati—berhak mendapatkan keadilan yang tidak hanya prosedural, tapi juga substansial. Dan keadilan itu tidak akan hadir jika negara terus memberi ruang kompromi terhadap pelanggar kepercayaan publik.


Ini bukan semata soal satu orang pejabat. Ini soal keberanian bangsa dalam menegakkan marwah hukum dan moralitas negara. Jika kasus ini kembali diselesaikan setengah hati, maka Sumut akan terus tenggelam dalam lingkaran setan korupsi. Tapi jika negara cukup berani memberi efek kejut—maka sejarah akan mencatat bahwa bangsa ini pernah bersikap tegas terhadap pencuri uang rakyat sebagai pengkhianat republik. Dan itulah awal dari penyembuhan kolektif bernama keadilan.


Demikian.

______________

Daftar Pustaka


Atmasasmita, Romli. Korupsi sebagai Kejahatan Luar Biasa: Teori dan Implementasi. Bandung: Refika Aditama, 2021.


Atmasasmita, Romli. “Korupsi Infrastruktur sebagai Kejahatan Negara dalam Negara.” Wawancara dalam KompasTV, 15 Juli 2021.


Hehamahua, Abdullah. “Hukuman Mati Bagi Koruptor: Rasional atau Berlebihan?” Republika.co.id, 12 Februari 2020. https://www.republika.co.id/berita/q5ab8v320


Indonesia Corruption Watch. Tren Penindakan Korupsi Sektor Infrastruktur 2018–2023. Jakarta: ICW, 2024. https://antikorupsi.org/id/article/tren-infrastruktur


Komisi Pemberantasan Korupsi. Laporan Tahunan KPK 2022. Jakarta: KPK RI, 2023. https://kpk.go.id/id/publikasi/laporan-tahunan


Komisi Pemberantasan Korupsi. Laporan Tahunan KPK 2023. Jakarta: KPK RI, 2024.


Kompas.com. “Jejak Karier dan Dugaan Suap Topan Ginting: Dari Camat hingga Kadis PUPR Sumut.” Kompas.com, 6 Juni 2025. https://www.kompas.com/


BarakTime.com. “Obstruction of Justice dalam OTT Korupsi Infrastruktur Sumut.” BarakTime.com, 15 Juni 2025. https://www.baraktime.com/2025/06/obstruction-of-justice-dalam.html


Tempo.co. “Rantai Suap Infrastruktur di Pemerintah Daerah: Antara Proyek dan Politik.” Tempo.co, 18 September 2024. https://www.tempo.co/


Tirto.id. “Mengapa Koruptor Tak Pernah Kapok?” Tirto.id, 24 November 2023. https://tirto.id/


Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)