Menjelang delapan dekade kemerdekaannya, Indonesia menghadapi ironi tragis: rakyat yang semestinya menikmati pangan berkualitas justru menyantap plastik dalam nasi yang mereka makan saban hari. Penelitian terbaru yang ditampilkan dalam video viral di media sosial menunjukkan bahwa hampir seluruh sampel nasi yang dikonsumsi masyarakat mengandung mikroplastik.
Fakta ini bukan sekadar anekdot murahan dari ruang maya. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), hingga World Wildlife Fund (WWF) Indonesia telah melakukan kajian serupa dalam beberapa tahun terakhir. Mikroplastik ditemukan di air minum kemasan, ikan laut, dan kini—nasi, makanan pokok mayoritas penduduk Indonesia.
Jika nasi sudah tercemar, maka jelas ini bukan lagi isu lingkungan, melainkan ancaman langsung terhadap hak atas pangan yang sehat, aman, dan layak. Konstitusi menjamin hal ini dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, namun dalam praktiknya, negara membiarkan industri dan limbah rumah tangga mencemari ekosistem tanpa kendali.
Ironi ini makin tajam ketika pemerintah menggembar-gemborkan ketahanan pangan, namun mengabaikan dimensi kualitasnya. Dalam narasi resmi negara, rakyat disebut tidak lagi kelaparan. Tapi apakah benar mereka tidak sedang mati pelan-pelan karena mengonsumsi makanan tercemar bahan sintetis beracun?
Dalam video yang viral itu, seorang narasumber menyebut bahwa 92 persen nasi di Indonesia telah terkontaminasi mikroplastik. Ini berarti hampir seluruh warga negeri ini telah memakan sampah plastik yang seharusnya berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA), bukan di dalam tubuh manusia.
Mikroplastik bukan sekadar partikel kecil, ia adalah biang penyakit yang diam-diam merusak sel, meracuni darah, dan mengganggu sistem hormon tubuh. Jurnal Environmental Science & Technology bahkan menyebutkan bahwa manusia dewasa rata-rata menelan 5 gram plastik per minggu—setara dengan satu kartu ATM.
Jika dulu rakyat berteriak karena mahalnya harga beras, kini mereka bahkan tak sadar bahwa nasi yang mereka beli dengan harga tinggi pun berisi racun yang mengancam kesehatan generasi. Ini bukan sekadar ketimpangan ekonomi, melainkan kemiskinan ekologis dan pengkhianatan terhadap hak-hak biologis manusia.
Pemerintah tampak abai. Tidak ada kampanye besar-besaran untuk mengendalikan plastik sekali pakai secara serius. Padahal sejak 2019, Indonesia telah menyatakan komitmen untuk mengurangi sampah plastik hingga 70 persen pada 2025. Tapi hingga pertengahan 2025, realisasinya nyaris tak terdengar.
Di saat negara-negara maju berlomba mencari alternatif ramah lingkungan, Indonesia malah memberi ruang legal bagi industri-industri plastik terus memproduksi limbah. Lebih tragis lagi, sebagian besar sampah plastik justru berasal dari produk rumah tangga bermerek—yang ironisnya, ikut serta dalam program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) lingkungan.
Sumber pencemaran pun tersebar merata: sungai, laut, sawah, dan irigasi pertanian. Limbah plastik mencemari air yang digunakan untuk mengairi padi, masuk ke jaringan akar, dan kemudian berpindah ke butiran nasi. Maka jangan heran jika mikroplastik kini menari di dalam setiap suapan.
Pertanyaannya kini: di mana negara? Di mana Badan Pangan Nasional? Kementerian Pertanian? KLHK? Badan POM? Bukankah sudah saatnya mereka bekerja dengan pendekatan lintas sektoral, membentuk satuan tugas nasional untuk membersihkan rantai pangan dari mikroplastik?
Lebih dari itu, pendidikan publik tentang bahaya mikroplastik harus menjadi agenda negara. Rakyat perlu tahu bahwa kebiasaan membakar plastik, membuang sampah ke sungai, dan konsumsi air minum kemasan tanpa kontrol adalah bagian dari lingkaran setan yang menciptakan tragedi ekologis ini.
Sungguh menyedihkan bahwa menjelang usia 80 tahun kemerdekaan, Indonesia justru menatap masa depan yang tercemar. Kemerdekaan sejati tidak sekadar bebas dari penjajah, tetapi bebas dari segala bentuk bahaya yang membunuh secara perlahan—dan mikroplastik adalah penjajah baru itu.
Perlu kebijakan tegas: pelarangan plastik sekali pakai, penguatan sistem daur ulang berbasis komunitas, dan insentif untuk teknologi pangan bersih. Jika tidak, maka setiap program pemerintah tentang "kedaulatan pangan" hanya akan jadi retorika hampa dalam perut rakyat yang keroncongan—dan teracuni.
Kita harus belajar dari negara seperti Rwanda yang telah melarang total plastik sekali pakai sejak 2008 dan berhasil menciptakan lingkungan bersih. Mengapa Indonesia, dengan seluruh sumber dayanya, justru tunduk pada logika ekonomi pasar yang menyuburkan plastik?
Dunia sedang menyorot Indonesia sebagai salah satu penghasil sampah plastik laut terbesar. Ini bukan prestasi, tetapi aib nasional. Kita tidak sedang menuju Indonesia Emas 2045 jika tubuh anak-anak kita telah penuh partikel plastik sebelum mereka mencapai usia produktif.
Menjelang 80 tahun Indonesia merdeka, mari kita bertanya dengan jujur: apakah ini bangsa yang merdeka, jika rakyatnya dipaksa memilih antara lapar dan racun? Jika negara diam, maka rakyat berhak marah. Karena plastik dalam nasi bukan hanya bencana ekologis, tapi juga bentuk pengkhianatan terhadap janji kemerdekaan.
Demikian.
Penulis Advokat. M.Taufik Umar Dani Harahap,SH.
Praktisi Hukum, aktivis Musyawarah Rakyat Banyak, Anggota Badan Perkumpulan KontraS Sumut dan Wakil Sekretaris Bidang Hukum Dan HAM MW KAHMI Sumut.
______________
Daftar Pustaka
LIPI. Kajian Mikroplastik di Perairan Indonesia. Jakarta: LIPI, 2022.
WWF Indonesia. “Plastic: The Real Threat in Our Food.” 2023.
Environmental Science & Technology. “Human Consumption of Microplastics.” Vol. 53, No. 12, 2021.
BRIN. Laporan Penelitian Kandungan Mikroplastik dalam Bahan Makanan Pokok. Jakarta: BRIN, 2024.
Detik.com. “Nasi Mengandung Mikroplastik: Fakta atau Hoaks?” Diakses 27 Juli 2025.
Posting Komentar
0Komentar