Perlombaan Data Kesehatan Antara WHO dan USA: Bak Perebutan Nusantara oleh Inggris dan Belanda di Era Kolonial

Media Barak Time.com
By -
0

 



Pendahuluan 

Di era digital abad ke-21, data bukan lagi sekadar informasi—ia adalah senjata strategis, alat kendali, dan sumber kekuasaan. Terutama dalam sektor kesehatan global, data kini memainkan peran krusial dalam membentuk arah kebijakan internasional, distribusi bantuan, hingga penentuan status epidemiologis suatu negara. Seiring meningkatnya penggunaan teknologi dalam pengumpulan, penyimpanan, dan analisis data, muncul persaingan antara Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagai aktor multilateral, dan Amerika Serikat (USA) sebagai kekuatan unilateralis yang mendikte melalui kekuatan finansial, teknologi, dan jaringan intelijen kesehatan. Perlombaan ini lebih dari sekadar pengumpulan informasi—ia merupakan kontestasi supremasi.


Sebagaimana dikemukakan oleh pakar geopolitik digital Shoshana Zuboff dalam Surveillance Capitalism, penguasaan data tak lagi bersifat netral. Ia adalah bentuk kekuasaan baru yang mengaburkan batas antara kepentingan publik dan dominasi korporasi atau negara. Dalam konteks WHO dan USA, kontestasi ini menyerupai logika kolonialisme gaya lama: WHO berperan laiknya Nederland yang membentuk jaringan kekuasaan melalui sistem administrasi dan keteraturan global, sementara USA memainkan peran Inggris yang agresif—menguasai data melalui inovasi teknologi, kemitraan bilateral, dan penetrasi perusahaan raksasa seperti Google, Amazon, dan Palantir Technologies ke sistem kesehatan dunia. Negara-negara berkembang? Sekadar “Nusantara digital” yang data rakyatnya dipanen tanpa kedaulatan.


Konflik laten antara WHO dan USA tercermin nyata pasca pandemi COVID-19. Ketika WHO berupaya menstandarkan sistem pelaporan kasus global dan akses vaksin, USA justru meluncurkan program "Operation Warp Speed" dan memperluas kekuatan bioteknologi mereka secara unilateral. Di sisi lain, WHO pun dikritik terlalu bergantung pada pendanaan negara besar dan donor filantropi seperti Bill & Melinda Gates Foundation, yang kerap menyusupkan kepentingan tertentu dalam protokol kebijakan. Maka, bukan hanya kontrol data yang diperebutkan, tetapi juga kontrol narasi dan legitimasi kebijakan global—suatu bentuk kolonialisme baru dengan wajah kerjasama multilateral.


Fenomena ini tidak bisa dilepaskan dari lemahnya kedaulatan data di negara-negara berkembang. Sebagian besar dari mereka belum memiliki infrastruktur lokal yang aman dan mandiri untuk menyimpan serta mengelola data kesehatan penduduknya. Sebaliknya, banyak yang terjebak dalam sistem interoperabilitas global yang dikuasai oleh lembaga asing. Sebagaimana tanah dan rempah-rempah diekspor pada masa penjajahan dahulu, kini metadata biologis dan informasi kesehatan warga negara mengalir bebas ke server luar negeri. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah kita sedang mengulang sejarah kolonial dalam bentuk digital?


Sebagaimana pernyataan cerdas Prof. Makarim Wibisono dalam diskusi YouTube "Geopolitik Kesehatan Global" (2022), penguasaan data adalah instrumen kekuasaan politik yang harus disikapi secara kritis. Ia mengingatkan bahwa pertarungan WHO dan USA tak lain adalah perebutan otoritas epistemik atas tubuh manusia itu sendiri. Maka, bangsa-bangsa di Global South harus membangun arsitektur data nasional yang berdaulat, sebagaimana mereka dahulu memperjuangkan kemerdekaan dari kolonialisme Eropa. Tanpa itu, kita hanya akan menjadi penonton dalam medan perang geopolitik digital—sekadar penyedia data, bukan penentu masa depan.


WHO dan USA: Kolonialisme Baru dalam Data?


WHO, sebagai lembaga multilateral di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa, secara historis berfungsi sebagai penjaga etika, koordinasi, dan integrasi data kesehatan global. Namun, realitas politik global menunjukkan bahwa lembaga ini tidak steril dari tarik-menarik kepentingan negara-negara besar, terutama USA yang merupakan penyumbang dana terbesar bagi WHO. Ketika USA di bawah pemerintahan Trump sempat menarik diri dari WHO pada 2020, hal tersebut memperlihatkan bahwa supremasi atas data dan kebijakan global bukan hanya perkara kesehatan, melainkan soal kuasa.


Sebaliknya, USA mengembangkan berbagai infrastruktur data kesehatan melalui CDC (Centers for Disease Control and Prevention), NIH (National Institutes of Health), dan aliansi teknologi seperti Microsoft, Amazon, hingga Google Health. Mereka tidak hanya menyimpan data domestik, tapi juga membangun jaringan pengumpulan data dari negara-negara mitra melalui proyek vaksin, penelitian genomik, hingga bantuan teknologi kesehatan. Jika WHO ibarat Belanda yang membangun hegemoni melalui VOC dengan strategi diplomasi dan integrasi, maka USA seperti Inggris yang menggunakan kekuatan teknologi dan aliansi industri swasta untuk memperluas pengaruh data.


Negara Berkembang: Lahan Kolonisasi Data


Di tengah gelombang digitalisasi global, negara-negara berkembang tak ubahnya ladang subur yang kembali diperebutkan oleh kekuatan besar. Jika dahulu tanah, rempah-rempah, dan tenaga kerja menjadi incaran kolonialisme klasik, kini giliran data warga negara—terutama data kesehatan—yang menjadi rebutan. Program bantuan kesehatan, hibah infrastruktur IT, hingga kerja sama penelitian medis seringkali dibungkus dengan narasi filantropi, padahal di baliknya tersimpan kepentingan penguasaan data secara sistemik dan terstruktur. Pandangan ekonom dan pengamat geopolitik Ichsanuddin Noorsy menyebut praktik ini sebagai “penjajahan digital berbungkus kerjasama pembangunan,” sebuah bentuk eksploitasi baru yang merampas tanpa terlihat.


Noorsy dengan tajam menyoroti bahwa negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, secara sadar maupun tidak, telah menyerahkan kontrol vital terhadap data penduduk kepada entitas luar. Data rekam medis yang tersimpan dalam server asing, kerja sama genomik yang diatur oleh protokol global tanpa transparansi, hingga ketergantungan terhadap aplikasi tracing dan surveilans digital yang berbasis platform milik raksasa teknologi, telah menjadikan negara berkembang sebagai penyedia bahan mentah digital. Metadata biologis, informasi perilaku, dan tren populasi diolah, dianalisis, dan dimonetisasi bukan untuk kepentingan rakyat, tetapi untuk keuntungan geopolitik dan korporasi global.


Ketika pandemi COVID-19 melanda, situasi ini semakin gamblang. Banyak negara berkembang dengan sistem kesehatan lemah bergantung pada platform data asing untuk memantau persebaran virus, mendeteksi varian, dan bahkan merespons kebutuhan vaksin. Dalam proses itu, data tracing, hasil tes PCR, dan informasi imunisasi warga terekstraksi ke dalam ekosistem digital global yang tak sepenuhnya dikuasai oleh negara itu sendiri. Noorsy menyebut ini sebagai “hilangnya kedaulatan teknologi dan informasi,” yang tak ubahnya seperti VOC atau EIC masa lalu yang mencengkeram ekonomi lokal lewat jalur logistik dan pelabuhan.


Lebih mengkhawatirkan lagi, banyak pemerintah di negara berkembang belum memiliki kesadaran penuh akan pentingnya data sebagai aset strategis nasional. Belum ada sistem proteksi data yang kuat, apalagi infrastruktur siber yang mandiri. Akibatnya, negara-negara ini hanya menjadi penonton ketika data penduduk mereka ditransaksikan dalam ekosistem global. Dalam kerangka pemikiran Ichsanuddin Noorsy, jika tidak segera dibangun kedaulatan data melalui regulasi, teknologi dalam negeri, dan kontrol publik yang kuat, maka kita hanya akan mengalami kolonialisme dalam bentuk yang lebih canggih dan lebih sunyi—kolonialisme yang tidak datang dengan senjata, tapi dengan server dan algoritma.


Sejarah Mengulang Diri dalam Format Digital


Imperialisme tidak pernah benar-benar punah; ia hanya berganti wajah. Jika pada abad ke-17 hingga 19 kolonialisme memanfaatkan kapal, mesiu, dan bendera dagang untuk menguasai dunia, kini dominasi datang melalui kabel fiber optik, server cloud, dan aplikasi kesehatan berbasis AI. WHO dan Amerika Serikat, sebagai aktor utama dalam perlombaan data kesehatan global, telah membentuk “imperium tak kasatmata” yang mencengkeram infrastruktur digital negara-negara berkembang. Mereka tak perlu mengirim pasukan atau mendirikan benteng kolonial—cukup dengan mengintegrasikan sistem digital dan protokol kesehatan global ke dalam tubuh birokrasi lokal.


Kini, kedaulatan tidak lagi soal batas teritorial, tetapi tentang siapa yang mengendalikan aliran informasi dan data rakyat. Di banyak negara berkembang, sistem rekam medis, database imunisasi, hingga platform tracing COVID-19 disusun dengan infrastruktur yang dikuasai aktor luar. Negara seperti Indonesia, alih-alih menjadi penguasa penuh atas data warganya, justru kerap menjadi “tenant digital” yang menyewa sistem dan menyimpan data di server luar negeri. Sebagaimana dahulu kerajaan-kerajaan lokal “dilindungi” oleh VOC dan EIC tapi justru dilucuti kedaulatannya, kini bangsa kita “dibantu” dengan platform kesehatan global, sambil diam-diam kehilangan kendali atas warisan data biologis kolektifnya.


Narasi bahwa “data adalah minyak baru” bukan lagi metafora futuristik, tetapi fakta pahit yang tengah terjadi. Sebagaimana rempah-rempah Nusantara dulu diperebutkan habis-habisan di pasar Amsterdam dan London, kini data warga negara menjadi komoditas panas yang diperebutkan oleh laboratorium bioteknologi, perusahaan farmasi, dan raksasa teknologi global. Dan sebagaimana penjajahan dulu berdalih “civilizing mission”, kini kolonialisme digital datang dengan jargon “transformasi kesehatan” dan “resiliensi global”. Dunia berubah, tetapi watak dominasi tetap sama—lebih halus, lebih dalam, dan lebih sistemik.


Jalan Menuju Kedaulatan Data Kesehatan


Di tengah arus digitalisasi yang kian masif, negara berkembang tidak boleh lagi memposisikan diri sekadar sebagai objek kebijakan global. Kedaulatan data kesehatan adalah pilar fundamental untuk menjamin hak atas kesehatan dan privasi warga negara. Mengandalkan sistem asing yang tertutup, menyimpan data pada server luar negeri, dan menyerahkan kendali kepada korporasi multinasional adalah bentuk baru dari ketundukan struktural. Sebagaimana dahulu kita memperjuangkan kemerdekaan dari kolonialisme berbendera VOC dan EIC, kini perjuangan harus diarahkan pada pembebasan dari penjajahan digital yang bersembunyi di balik jargon "transformasi teknologi kesehatan."


Membangun infrastruktur server dan cloud lokal menjadi titik awal dari kedaulatan data. Negara harus memiliki tempat aman untuk menyimpan dan memproses informasi medis warganya. Tanpa infrastruktur ini, negara hanya menjadi penyedia bahan mentah digital yang diekspor ke luar negeri untuk diolah dan dikomersialkan. Selain itu, memperkuat regulasi perlindungan data pribadi—seperti model GDPR di Uni Eropa—merupakan keniscayaan. Tanpa perangkat hukum yang kokoh, warga negara terus terekspos pada penyalahgunaan data, kebocoran informasi sensitif, hingga pelanggaran HAM digital secara sistemik.


Perlindungan data pribadi merupakan mandat konstitusional yang melekat pada fungsi negara. Dalam konteks itu, menolak ketergantungan pada sistem tertutup milik asing bukan tindakan anti-modernisasi, melainkan upaya memulihkan hak rakyat atas kendali informasi dirinya sendiri. Lebih dari itu, membangun interoperabilitas digital antar negara berkembang di kawasan Asia Tenggara atau Global South adalah langkah strategis untuk memecah dominasi platform digital dari negara-negara adikuasa.


Namun, semua langkah tersebut akan sia-sia jika elite pembuat kebijakan dan pelaku sektor kesehatan masih gagap teknologi dan buta literasi data. Tanpa pemahaman yang utuh mengenai risiko kolonialisme digital, para pemimpin kita akan terus membuat kesepakatan yang melemahkan posisi negara. Literasi data bukan semata kemampuan teknis, tetapi kesadaran politik atas pentingnya kedaulatan. Karena itu, perjuangan menuju kemerdekaan digital harus dimulai dari kesadaran kolektif bahwa data kesehatan bukan sekadar catatan medis—ia adalah warisan genetik, sosial, dan politis bangsa, yang hanya boleh dikuasai oleh negara untuk kepentingan rakyatnya sendiri.


Penutup


Perlombaan penguasaan data kesehatan global antara WHO dan Amerika Serikat bukan sekadar ajang kompetisi institusional, melainkan pertarungan geopolitik modern dengan wajah baru: kolonialisme digital. Ketika data warga negara—termasuk rekam medis, kebiasaan konsumsi obat, hingga metadata kesehatan—dikuasai oleh entitas luar negeri, maka yang terampas bukan hanya privasi, tetapi juga kedaulatan nasional. Di tengah ketimpangan arsitektur teknologi global, negara-negara berkembang seperti Indonesia berada dalam posisi rapuh: menjadi objek eksploitasi data tanpa kontrol penuh atas infrastruktur, algoritma, dan standar etika global yang dipaksakan.


Pengalaman historis ketika Inggris dan Belanda berebut pengaruh di Nusantara menjadi analogi yang relevan: eksploitasi atas rempah kini digantikan oleh eksploitasi atas data. Sejarah memang tidak terulang secara persis, namun pola dominasi tetap mengendap dalam bentuk yang lebih canggih dan sulit terlihat. Maka dari itu, emansipasi digital menjadi jalan baru menuju kemerdekaan sejati. Negara harus hadir sebagai pelindung utama data rakyatnya, bukan justru menjadi pintu masuk bagi kekuatan asing yang ingin menancapkan kuku imperialismenya lewat chip, server, dan regulasi yang dikendalikan dari luar negeri.



Demikian.


Penulis Advokat. M.Taufik Umar Dani Harahap,SH.

Praktisi Hukum, Anggota Badan Perkumpulan KontraS Sumut dan Wakil Sekretaris Bidang Hukum Dan HAM MW KAHMI Sumut.

______________


Daftar Pustaka


BarakTime. “Negara dan Kewajiban Konstitusional Melindungi Kerahasiaan Data Pribadi Warga.” BarakTime, July 2025. https://www.baraktime.com/2025/07/negara-dan-kewajiban-konstitusional.html


Ball, James. The System: Who Owns the Internet, and How It Owns Us. London: Bloomsbury Publishing, 2020.


European Union. General Data Protection Regulation (GDPR). Regulation (EU) 2016/679 of the European Parliament and of the Council, 27 April 2016.


Harari, Yuval Noah. “The World after Coronavirus.” Financial Times, March 2020.


Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. Rangkuman Evaluasi Perlindungan Data Pribadi pada Sektor Publik dan Kesehatan. Jakarta: Kominfo, 2023.


Ichsanuddin Noorsy. Ekonomi Biaya Tinggi dan Imperialisme Global Baru. Jakarta: Pustaka LP3ES, 2004.


Ichsanuddin Noorsy, “Negara Tak Punya Kedaulatan Teknologi, Data Warga Dikuasai Asing,” dalam Diskusi Virtual Indonesia Merdeka Data, diselenggarakan oleh Forum Kajian Nusantara, 2021. Diakses 26 Juli 2025. https://www.youtube.com/watch?v=1QmYr1oDnFw


Makarim Wibisono, “Geopolitik Kesehatan Global: Tantangan Data dan Kedaulatan Bangsa,” dalam diskusi YouTube “Forum Doktor Indonesia”, diakses 25 Juli 2025, https://youtu.be/jIqKefJVXVk.


World Health Organization. “Data Governance in Health Information Systems.” WHO, 2022. https://www.who.int


United Nations. “Data Privacy and Protection.” UN Global Pulse, 2021. https://www.unglobalpulse.org


Zuboff, Shoshana. The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power. New York: PublicAffairs, 2019.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)