Pernyataan Ketua Umum BADKO HMI Sumatera Utara yang menyatakan bahwa aksi demonstrasi di Kejaksaan Tinggi Sumut (Kejatisu) tidak ada kaitannya dengan HMI merupakan bentuk kekeliruan serius yang mencoreng nilai-nilai dasar keorganisasian. Aksi yang diinisiasi oleh Koalisi Anti Penjahat Korupsi (KAPK) memang merupakan aliansi berbagai elemen, tetapi faktanya terdapat kader HMI aktif, seperti Muhammad Aulia, yang terlibat langsung dalam aksi tersebut. Maka sungguh tidak etis apabila Ketua Umum BADKO HMI Sumut justru berusaha melepaskan diri dari tanggung jawab terhadap kadernya yang sedang memperjuangkan agenda mulia: pemberantasan korupsi di Sumatera Utara.
Sikap lepas tangan ini menjadi sangat disayangkan, mengingat posisi Ketua Umum BADKO bukanlah jabatan simbolik, tetapi amanah struktural dan moral yang wajib berpihak kepada kader, terlebih dalam konteks perjuangan yang sejalan dengan nilai-nilai insan cita. Ketika seorang kader melawan korupsi secara terbuka, tugas pemimpin bukan menjauhkan diri, tetapi memberikan dukungan penuh secara moral, organisasi, dan hukum.
Lebih dari itu, Ketua Umum BADKO HMI Sumut juga melontarkan pernyataan yang mengaitkan kader HMI dengan upaya merusak nama baik Ketua Umum AMPI Sumut. Pernyataan ini patut ditolak keras. Dalam fakta persidangan yang terbuka di hadapan publik, Ketua AMPI Sumut disebut sebagai saksi dalam perkara korupsi besar di Sumatera Utara. Maka, mengaitkan kritikan kader sebagai fitnah atau pencemaran nama baik adalah bentuk pembelokan fakta hukum yang justru merugikan objektivitas dan integritas organisasi.
Justru yang lebih mengkhawatirkan adalah keberpihakan Ketua Umum BADKO terhadap tokoh eksternal ketimbang terhadap kadernya sendiri. Apalagi dalam konteks kekerasan yang terjadi saat aksi berlangsung, di mana kader HMI diduga menjadi korban pemukulan dan penganiayaan oleh sejumlah oknum dari organisasi lain. Apakah pemimpin organisasi sebesar HMI boleh bersikap pasif ketika kadernya diperlakukan secara brutal di ruang publik?
Pernyataan bahwa Ketua Umum BADKO HMI Sumut tidak bertanggung jawab terhadap aksi tersebut menambah luka konstitusional dalam tubuh organisasi. Tanggung jawab terhadap kader tidak dibatasi oleh garis struktur formal semata, melainkan merupakan ikatan moral yang melekat pada jabatan. Ketika kekerasan terjadi dan pemimpin bungkam, maka matilah semangat solidaritas dan advokasi yang menjadi roh HMI sejak awal berdiri.
Ironi semakin mencolok ketika kita tahu bahwa Ketua Umum BADKO HMI Sumut merupakan lulusan Fakultas Hukum. Namun dalam menyikapi kasus kekerasan ini, ia justru gagal menunjukkan ketegasan sikap sesuai kaidah hukum. Bukankah hukum mengajarkan perlindungan terhadap korban? Bukankah seorang sarjana hukum mestinya menjunjung asas keadilan dan proses hukum yang bersih? Sayangnya, yang terlihat justru pembiaran dan pembelaan terhadap dugaan pelaku kekerasan.
Lima orang yang diduga sebagai anggota AMPI Sumut telah resmi ditahan di Polsek Delitua atas dugaan penganiayaan terhadap kader HMI. Fakta ini seharusnya cukup menjadi dasar untuk bersikap tegas dan berada di sisi korban. Namun jika Ketua Umum BADKO justru terkesan mendukung pihak luar yang terindikasi sebagai pelaku, maka posisi beliau sebagai pemimpin moral layak dipertanyakan.
HMI bukan sekadar organisasi kader, tetapi adalah ruang pembentukan insan-insan pejuang keadilan. Ketika kadernya turun ke jalan untuk menyuarakan suara rakyat dan menghadapi risiko kekerasan, maka seluruh struktur HMI—terutama di tingkat wilayah—harus menjadi perisai. Pembelaan terhadap kader bukan bentuk subjektivitas, melainkan pengejawantahan dari sumpah kaderisasi itu sendiri.
Kami mendukung penuh setiap gerakan kader HMI yang bergerak atas dasar nurani, moral, dan komitmen terhadap pemberantasan korupsi. Gerakan yang dilakukan oleh kader dalam aliansi KAPK adalah wujud nyata bahwa HMI masih memiliki daya kritis dan keberanian menghadapi kezaliman. Maka, segala bentuk upaya delegitimasi terhadap gerakan ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap nilai-nilai ke-HMI-an itu sendiri.
Kami juga mengutuk keras tindakan kekerasan yang dilakukan oleh oknum anggota AMPI Sumut terhadap kader HMI dalam aksi tersebut. Kekerasan tidak pernah bisa dibenarkan dalam bentuk dan alasan apapun, terlebih bila dilakukan untuk membungkam suara keadilan. Kekerasan terhadap aktivis mahasiswa adalah bentuk kemunduran demokrasi.
Kami mendesak pihak kepolisian untuk tidak hanya berhenti pada penahanan lima pelaku lapangan, tetapi segera menetapkan aktor intelektual di balik insiden ini. Siapa yang memerintahkan? Siapa yang mengorganisir? Publik berhak tahu dan hukum harus menindak tegas siapa pun, tanpa pandang bulu.
HMI berdiri bukan untuk tunduk pada tekanan kekuasaan ataupun oligarki politik. HMI berdiri untuk menjaga suara rakyat, membela kebenaran, dan memastikan keadilan ditegakkan, bahkan ketika penguasa berpaling. Maka saat kadernya dipukul dan dipinggirkan, seluruh tubuh organisasi harus bergerak: bukan diam, bukan menutup mata, dan bukan mencuci tangan.
Demikian
Penulis Advokat. Irfan Harianto, SH, Praktisi Hukum dan Ketum HMI Komisariat FH USU Periode 2007-2008 dan Litigaror Pada Pusat Bantuan Hukum Rakyat Sumatera Utara.
Posting Komentar
0Komentar