Menjelang 80 Tahun Indonesia Merdeka: Sumber Daya Alam Dieksploitasi Luar Biasa Tapi Tetap Miskin dan Berutang.

Media Barak Time.com
By -
0

 


Menjelang delapan dekade usia kemerdekaannya, Indonesia masih bergulat dengan paradoks paling menyakitkan dalam sejarah republik ini: negeri yang kaya sumber daya alam, tapi tetap miskin menurut klasifikasi Bank Dunia, dan terus menumpuk utang untuk menambal anggaran negara. Di atas tanah yang penuh tambang emas, batu bara, nikel, dan minyak bumi, mayoritas rakyat masih hidup dalam ketimpangan dan ketidakpastian masa depan.

sebagai negara berpendapatan menengah ke bawah (lower middle income country), dengan pendapatan per kapita tahun 2024 sebesar USD 4.580. Padahal, ambang batas negara berpendapatan menengah atas adalah USD 4.516. Artinya, Indonesia hanya sedikit di atas garis batas kemiskinan global versi lembaga internasional. Ironisnya, sumber daya alam negeri ini—dari Freeport hingga Morowali—telah menghasilkan ribuan triliun rupiah setiap tahunnya.

 

Laporan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mencatat lebih dari 8.500 izin tambang aktif tersebar di seluruh Indonesia. Luas wilayah yang dikapling oleh korporasi tambang mencapai lebih dari 5,2 juta hektare, setara dengan dua kali luas Provinsi Jawa Barat. Namun, kontribusi sektor pertambangan terhadap penerimaan negara tidak pernah sebanding dengan kerusakan ekologis dan penderitaan sosial yang ditimbulkannya.

Penerimaan negara dari sektor pertambangan, menurut data Kementerian Keuangan, memang meningkat pasca-boom harga komoditas global. Pada 2022, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor minerba menyumbang Rp 159 triliun. Tapi angka itu sangat kecil dibanding nilai ekspor nikel, batu bara, dan emas yang mencapai lebih dari Rp 1.800 triliun. Artinya, lebih dari 90% nilai ekonomi sumber daya alam justru dinikmati oleh swasta dan investor asing.

 

Ironi ini semakin kentara jika melihat dampaknya terhadap masyarakat lokal. Ribuan warga di sekitar tambang hidup tanpa akses air bersih, rusaknya lahan pertanian, bahkan kehilangan ruang hidup. Jatam mencatat lebih dari 40 anak-anak meninggal di lubang bekas tambang di Kalimantan Timur dalam satu dekade terakhir. Tidak ada restorasi ekologis yang serius, tidak ada keadilan distributif.

Alih-alih menyejahterakan rakyat, negara justru semakin bergantung pada utang. Data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan menunjukkan utang pemerintah per Mei 2025 telah menembus Rp 8.200 triliun. Rasio utang terhadap PDB mencapai 39,5%, nyaris mendekati batas psikologis 40% yang diatur dalam UU Keuangan Negara.

 

Pertanyaan paling mendasar adalah: ke mana larinya kekayaan sumber daya alam kita? Mengapa negara harus berutang padahal emas, batu bara, dan nikel terus dikuras habis? Jawabannya terletak pada struktur ekonomi ekstraktif yang diwarisi sejak era kolonial, dan dilanggengkan oleh model pembangunan neoliberal yang mengorbankan lingkungan demi pertumbuhan ekonomi semu.

Pemerintah berdalih bahwa hilirisasi tambang menjadi solusi. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa industrialisasi nikel di Morowali dan Weda Bay lebih menguntungkan investor Cina ketimbang rakyat Indonesia. Dari 20 smelter besar, mayoritas dimiliki oleh perusahaan asing. Transfer teknologi minim, tenaga kerja lokal hanya dijadikan buruh kasar dengan upah rendah.

 

Ketimpangan ini semakin diperparah oleh regulasi yang permisif. UU Minerba hasil revisi 2020 memberikan kemudahan luar biasa bagi korporasi tambang: perpanjangan izin otomatis, relaksasi reklamasi pascatambang, bahkan pembiaran terhadap eksploitasi di kawasan hutan lindung. Hukum kehilangan fungsi korektifnya, berubah menjadi alat legalisasi perampasan sumber daya.

 

Situasi ini menunjukkan kegagalan negara dalam menjalankan mandat konstitusi Pasal 33 UUD 1945 yang mengamanatkan penguasaan sumber daya oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kenyataannya, kekayaan itu justru dijadikan komoditas politik dan objek rente oleh elite ekonomi dan birokrasi.

Di tengah situasi ini, pembangunan hanya menjadi jargon. Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), misalnya, dibiayai dengan skema utang dan menjanjikan return yang justru belum teruji. Negara berutang untuk membangun kota baru, sementara ribuan desa tertinggal belum memiliki infrastruktur dasar. Ini bukan pembangunan, tapi ilusi pertumbuhan.

 

Pemerintah juga tidak mampu memutus rantai ketergantungan fiskal terhadap utang luar negeri. Setiap tahun, lebih dari Rp 400 triliun APBN digunakan hanya untuk membayar bunga utang. Dengan demikian, generasi mendatang dipaksa menanggung beban dari kekayaan yang tak pernah mereka nikmati.

Menjelang usia 80 tahun kemerdekaan, bangsa ini perlu melakukan refleksi besar: apakah kita benar-benar merdeka secara ekonomi? Atau justru semakin terjajah dalam bentuk yang lebih modern dan terselubung? Negara harus berhenti menjadikan rakyat sebagai objek eksploitasi, dan mulai membangun sistem ekonomi yang berkeadilan ekologis dan sosial.

 

Reformasi struktural harus dimulai dari hulu: pembatalan izin tambang korup, nasionalisasi aset strategis, pemberdayaan ekonomi rakyat di sekitar tambang, hingga penguatan kontrol negara terhadap ekspor SDA. Indonesia tidak butuh pertumbuhan ekonomi semu, tapi pemerataan hasil kekayaan alam untuk rakyat dari Sabang sampai Merauke.

 

Sebab, jika tidak ada keberanian politik untuk mengubah arah pembangunan, maka pada usia 100 tahun kemerdekaan nanti, kita mungkin sudah kehilangan semua sumber daya, tapi masih tetap miskin, tetap berutang, dan tetap dijajah dalam wujud baru: kolonialisme ekonomi.

 

Demikian

Penulis Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH, Praktisi Hukum,Aktivis Musyawarah Rakyat Banyak dan Wakil Sekretaris Bidang Hukum Dan HAM MW KAHMI Sumut.

______________

 

Daftar Pustaka

World Bank. (2024). Indonesia Country Profile and Economic Update.

Kementerian Keuangan RI. (2025). Statistik Utang Pemerintah Pusat.

Jaringan Advokasi Tambang (Jatam). (2024). Peta Krisis Tambang dan Konflik SDA di Indonesia.

Badan Pusat Statistik (BPS). (2025). Statistik Ekonomi Makro dan Lingkungan Hidup.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan UU Minerba

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)