Oleh: Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH (Koordinator Alumni USU)
Belakangan ini publik dihebohkan dengan viralnya foto tas Hermes seharga Rp 250 juta yang diduga milik salah satu petinggi Universitas Sumatera Utara (USU). Di saat yang sama, gelombang keluhan mahasiswa USU mengenai tingginya Uang Kuliah Tunggal (UKT) tak kunjung surut. Kontras yang tajam ini menyulut kemarahan publik, terutama mahasiswa yang merasa diperas oleh sistem birokrasi kampus.
Mari kita perjelas: sah-sah saja seseorang membeli barang mewah dari hasil jerih payahnya, apalagi jika diperoleh secara legal. Namun, ketika kemewahan itu dipertontonkan di ruang publik pendidikan yang sedang berjuang dengan masalah biaya kuliah yang mencekik, persoalannya menjadi etis dan moral.
USU, sebagai salah satu perguruan tinggi negeri ternama di Indonesia, selama ini dihormati sebagai benteng intelektual Sumatera Utara. Namun, citra itu kini tercoreng oleh wacana ketimpangan sosial di internal kampus. Banyak mahasiswa harus pontang-panting mencari beasiswa, bekerja paruh waktu, bahkan berutang untuk membayar UKT. Di sisi lain, para pemangku kebijakan kampus seolah hidup dalam menara gading yang jauh dari realitas mahasiswa.
Jika dirunut, kenaikan UKT di banyak kampus negeri tak lepas dari kebijakan otonomi kampus yang memberi kewenangan lebih besar dalam mengelola keuangan. Sayangnya, otonomi ini justru sering dimaknai sebagai peluang komersialisasi, bukan efisiensi atau inovasi pelayanan pendidikan.
Momen viral tas Hermes ini mestinya menjadi titik refleksi. Petinggi kampus harus sadar, mereka bukan sekadar manajer lembaga, tapi juga teladan moral. Transparansi penggunaan anggaran, keterbukaan soal besaran gaji pejabat, dan audit pengelolaan keuangan harus menjadi prioritas. Jangan sampai publik mencurigai bahwa mahalnya UKT justru menopang gaya hidup elite birokrasi kampus.
Lebih jauh, peristiwa ini menunjukkan perlunya reformasi tata kelola pendidikan tinggi. Pendidikan bukan ladang bisnis. Kampus harus kembali pada roh utamanya: mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan memperkaya segelintir elite.
Untuk mahasiswa USU dan seluruh mahasiswa Indonesia, ini momentum untuk memperkuat solidaritas, menuntut transparansi, dan mendesak penurunan UKT. Untuk pejabat kampus, ini saatnya menanggalkan simbol-simbol kemewahan, mendengarkan suara mahasiswa, dan memulihkan kepercayaan publik.
Karena sejatinya, kampus adalah rumah teladan moral bersama tempat berkumpulan para intelektual, bukan showroom barang mewah.
Sebagai penutup, warisan pemikiran Gramsci mengingatkan kita bahwa kampus adalah lahan subur bagi lahirnya agen perubahan. Di sinilah intelektual organik tumbuh dan bersemayam, membentuk peradaban manusia yang lebih adil, setara, dan berkeadaban [^1].
Demikian.
Penulisan Mahasiswa Fakultas Hukum USU Stambuk' 92 dan Ketua Kelas Grup A.
Catatan.
Gaji Pokok Dosen PNS di PTN
Gaji dosen PNS ditentukan berdasarkan golongan dan masa kerja, sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2024:
Golongan III (Lulusan S2):
IIIa: Rp 2.785.700 – Rp 4.575.200
IIIb: Rp 2.903.600 – Rp 4.768.800
IIIc: Rp 3.026.400 – Rp 4.970.500
IIId: Rp 3.154.400 – Rp 5.180.700
Golongan IV (Lulusan S3):
IVa: Rp 3.287.800 – Rp 5.399.900
IVb: Rp 3.426.900 – Rp 5.628.300
IVc: Rp 3.571.900 – Rp 5.866.400
IVd: Rp 3.723.000 – Rp 6.114.500
IVe: Rp 3.880.400 – Rp 6.373.200
______
Referensi
[^1]: Carl Boggs, The Two Revolutions: Gramsci and the Dilemmas of Western Marxism (Boston: South End Press, 1984), hlm. 122-125.
Posting Komentar
0Komentar