Oleh: Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH (Koordinator Serikat Alumni USU)
Pendahuluan
Universitas Sumatera Utara (USU) kembali jadi sorotan publik. Isu tas mewah Hermes yang dikenakan petinggi kampus, laporan kerugian kebun sawit USU sejak 2012, serta tingginya Uang Kuliah Tunggal (UKT), kini diperparah dengan berita mahasiswa baru yang gagal melanjutkan studi karena tidak mampu membayar UKT. Bila dianalisis melalui teori kritis Antonio Gramsci, persoalan ini merefleksikan relasi hegemoni, krisis kepemimpinan, dan reproduksi ketimpangan sosial.
Simbol Kekuasaan dan Hegemoni Budaya
Menurut Gramsci, kekuasaan tidak hanya ditegakkan melalui paksaan, tetapi melalui hegemoni: kesepakatan sosial yang dibangun lewat simbol dan budaya¹. Tas Hermes bernilai Rp 250 juta yang dikenakan elite (petinggi) kampus bukan hanya soal kemewahan pribadi, tetapi simbol legitimasi status sosial yang berpotensi memutus solidaritas elite dengan mahasiswa dan masyarakat². Dalam bingkai ini, elite kampus ikut mereproduksi ketimpangan simbolik yang memperlebar jurang sosial di lingkungan pendidikan.
Ekonomi Kampus dan Krisis Tata Kelola
Berdasarkan laporan media, kebun sawit USU terus merugi sejak 2012. Padahal, aset ini seharusnya menopang anggaran kampus agar tidak sepenuhnya membebani mahasiswa³. Ketidakmampuan elite kampus mengelola aset penting seperti kebun sawit adalah contoh “krisis organik” dalam pandangan Gramsci, yaitu ketika elite gagal menjawab tuntutan zaman dan menciptakan legitimasi moral dan material⁴.
Data Kemiskinan dan Mahalnya UKT
Data dari Bank Dunia yang dikutip Kompas.com menunjukkan 60,3% penduduk Indonesia pada 2024 hidup dengan pengeluaran di bawah 6,85 dolar AS per kapita per hari (PPP 2017)⁵. Sementara itu, menurut Databoks Katadata, jumlah penduduk miskin di Sumatera Utara pada Juni 2024 mencapai 1,23 juta jiwa, meskipun tren menunjukkan sedikit penurunan⁶. BPS mencatat garis kemiskinan di perkotaan Rp626,78 ribu per kapita/bulan dan di perdesaan Rp573,5 ribu per kapita/bulan. Dalam situasi ini, UKT sebesar Rp8,5 juta, seperti yang dialami mahasiswa Sastra Arab USU, Naffa Zahra Muthmainnah, jelas di luar jangkauan mayoritas masyarakat. Ini menciptakan eksklusi pendidikan dan menggagalkan peran kampus sebagai alat mobilitas sosial⁷.
Pertanyaannya sederhana namun mengguncang: bagaimana mungkin kampus negeri yang seharusnya menjadi lokomotif mobilitas sosial, justru ikut memperdalam jurang ketimpangan? Ketika jutaan penduduk hidup dengan pengeluaran tak sampai Rp20 ribu per hari, UKT yang menembus jutaan rupiah praktis menutup pintu pendidikan bagi anak-anak miskin. Ironisnya, kondisi ini terjadi bersamaan dengan laporan kerugian kebun sawit USU sejak 2012 yang tidak kunjung ditangani secara transparan. Sementara itu, simbol-simbol kemewahan seperti tas Hermes menghiasi elite kampus, mempertebal kesan terputusnya kampus dari realitas rakyat.
Dalam perspektif teori kritis Gramsci, ini bukan sekadar masalah ekonomi, tapi masalah hegemoni. UKT tinggi bukan hanya meminggirkan kelompok miskin dari bangku kuliah, tetapi juga mematikan harapan mereka untuk menjadi bagian dari kelas intelektual yang mampu menggugat ketidakadilan. Pendidikan yang mahal adalah alat reproduksi ketimpangan, bukan kendaraan pembebasan.
Maka, problem UKT mahal dan kemiskinan bukan hanya soal kebijakan fiskal universitas, melainkan soal keberpihakan moral: pada siapa kampus berdiri—pada elite atau rakyat? Dan inilah pertanyaan yang tidak boleh kita biarkan menguap tanpa jawaban.
Perlawanan, Kesadaran, dan Intelektual Organik
Gramsci menekankan peran “intelektual organik” yang lahir dari kelas rakyat untuk menantang dominasi hegemoni⁸. Di USU, mahasiswa dapat berperan sebagai agen perubahan yang mendorong transparansi aset, menuntut keadilan biaya pendidikan, dan menantang simbolisme elite kampus. Gerakan mahasiswa harus keluar dari sekadar protes sesaat menuju perjuangan berjangka panjang yang membangun kesadaran kritis.
Kesimpulan
Fenomena tas merk Hermes di tangan elite kampus, laporan kerugian kebun sawit USU sejak 2012, dan mahalnya UKT yang memaksa mahasiswa gagal kuliah, bukan sekadar potret masalah manajerial—ini adalah wajah telanjang dari ketidakadilan struktural. Dalam pandangan Antonio Gramsci, kita sedang menyaksikan bagaimana hegemoni bekerja bukan hanya melalui kekuatan formal, tapi juga melalui simbol, bahasa, dan norma sosial yang diam-diam menundukkan kesadaran publik.
Kampus, yang seharusnya menjadi ruang meritokrasi dan mobilitas sosial, perlahan berubah menjadi arena reproduksi ketimpangan. Ketika akses pendidikan hanya bisa dibeli oleh mereka yang mampu, ketika simbol kemewahan lebih penting daripada keberpihakan pada rakyat kecil, ketika aset produktif gagal dikelola untuk kepentingan bersama—saat itulah krisis moral elite kampus mencapai puncaknya.
Namun, di tengah gelapnya hegemoni, Gramsci mengingatkan kita pada pentingnya lahirnya intelektual organik—orang-orang yang mampu menerjemahkan penderitaan rakyat menjadi kesadaran kritis dan aksi kolektif. Dalam konteks USU, mahasiswa bukan hanya objek korban kebijakan, tetapi harus menjadi subjek perubahan. Mereka harus berani melawan, membongkar topeng kemunafikan, dan mendorong kampus kembali kepada jati dirinya: sebagai rumah pengetahuan, bukan arena gengsi.
Sejarah tidak akan mencatat siapa yang memakai tas paling mahal, tapi siapa yang berani berdiri melawan ketidakadilan.
Demikian.
Penulis Mahasiswa Fakultas Hukum USU Stambuk' 92 dan Ketua Kelas Grup A, Tercatat Sebagai Anggota Badan Perwakilan Mahasiswa FH USU Periode 1992-1993.
---
Refrensi
1. Antonio Gramsci, Selections from the Prison Notebooks, ed. Quintin Hoare dan Geoffrey Nowell Smith (New York: International Publishers, 1971), hlm. 12–13.
2. Simon Chambers, “A Critical Theory of Civil Society,” dalam Civil Society and Government, hlm. 96.
3. Antonio Gramsci, Prison Notebooks, hlm. 210–215.
4. Kompas.com, 1 Mei 2025.
5. Databoks Katadata, 9 September 2024.
6. YouTube, “Mahasiswa Baru USU Gagal Kuliah karena UKT,” 2025.
7. Antonio Gramsci, Selections from the Prison Notebooks, hlm. 5–6.
8.https://www.antaranews.com/berita/4801793/cek-fakta-bps-sebut-pengeluaran-di-atas-rp20000-per-hari-bukan-termasuk-miskin
Posting Komentar
0Komentar