Hukum atas Vonis 10 Bulan Penjara dalam Kasus Penipuan Masuk Akpol

Media Barak Time.com
By -
0



oleh : Haposan Sahala Raja Sinaga, S.H., M.H.

(Dosen Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia) 


Kasus penipuan dengan modus menjanjikan dapat memasukkan seseorang menjadi siswa Akademi Polri (Akpol) kembali menjadi perhatian publik. Kasus serupa telah banyak terjadi, namun tetap saja ada korban baru yang terjerat dengan iming-iming “jalur khusus” untuk masuk ke institusi negara, baik Polri, TNI, maupun ASN. Kasus terbaru yang menjadi sorotan publik adalah kasus penipuan masuk Akpol mencuat di Deli Serdang karena adanya perbedaan putusan antara Pengadilan Negeri Lubuk Pakam, Pengadilan Tinggi Medan, dan langkah kasasi yang diajukan Cabang Kejaksaan Negeri (Cabjari) Deli Serdang. Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut terdakwa dengan pidana penjara selama 2 tahun. Pengadilan Negeri Lubuk Pakam kemudian menjatuhkan vonis 1 tahun penjara, sementara Pengadilan Tinggi Medan justru memperingan putusan menjadi 10 bulan.


Perbedaan vonis tersebut menimbulkan pertanyaan publik: apakah pidana 10 bulan sudah cukup memberikan rasa keadilan, baik bagi korban maupun masyarakat?


Dalam kasus ini, janji dapat meluluskan seseorang masuk Akpol jelas merupakan tipu muslihat. Terdakwa tidak memiliki kewenangan hukum untuk itu, sehingga perbuatannya memenuhi unsur penipuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 KUHP.


Saya menilai posisi korban dalam perspektif hukum meskipun korban telah mengalami kerugian, patut dicatat bahwa korban juga tidak sepenuhnya berada di posisi “benar”. Dengan memberikan uang agar dapat masuk Akpol melalui jalur tidak resmi, korban justru ikut melanggengkan praktik yang merusak sistem rekrutmen Akpol yang seharusnya transparan dan berbasis kemampuan akademik, psikologi, kesehatan dan fisik yang unggul. Dengan demikian, kasus ini menampilkan wajah ganda: Terdakwa bersalah karena melakukan penipuan. Korban turut berperan melestarikan praktik tidak etis, meskipun dalam hukum pidana ia tetap dipandang sebagai pihak yang dirugikan.


Perbedaan Penilaian Hakim dan Proporsionalitas Hukuman


Vonis berbeda antara Pengadilan Negeri Lubuk Pakam (1 tahun) dan Pengadilan Tinggi Medan (10 bulan) mencerminkan perbedaan penilaian hakim. Hal ini wajar dalam sistem peradilan karena hakim memiliki kebebasan menilai fakta dan keadaan yang meringankan atau memberatkan. Namun, perbedaan ini tetap menimbulkan polemik publik terkait apakah hukuman sudah cukup proporsional. Tuntutan JPU selama 2 tahun pidana penjara bisa dipandang wajar mengingat dampak sosial kasus ini. Vonis 10 bulan mungkin menimbulkan kesan terlalu ringan, padahal praktik seperti ini tidak hanya merugikan korban tetapi juga berpotensi merusak integritas institusi Polri. Hukuman yang terlalu ringan dapat melemahkan fungsi _deterrence_ (pencegahan) hukum pidana, sementara hukuman yang terlalu berat juga harus dihindari agar tidak menyalahi prinsip keadilan proporsional.


Langkah Cabjari Deli Serdang mengajukan kasasi atas vonis 10 bulan penjara tersebut adalah hak Kejaksaan dan langkah hukum yang sah. Justru hal ini memperlihatkan bahwa Kejaksaan berupaya menjaga konsistensi penerapan hukum dan mencari putusan yang lebih mencerminkan rasa keadilan.


Menurut saya sah-sah saja JPU mengajukan kasasi dan sebelumnya menuntut terdakwa Nina Wati dengan penjara 2 tahun, sebab dalam kasus serupa yaitu penipuan rekrutmen CPNS di Pandeglang, Banten, JPU Kejari Pandeglang menuntut terdakwa Rusma 3 tahun penjara. Dengan demikian, tuntutan terhadap terdakwa Nina Wati masih berada dalam rentang yang wajar dengan praktik penuntutan pada kasus penipuan rekrutmen CPNS ataupun Akpol. Salah satu alasan yang membedakan adalah status terdakwa. Dalam kasus di Pandeglang, terdakwa adalah ASN Pemkot Serang yang seharusnya lebih memahami hukum dan etika sebagai aparatur negara. Sedangkan dalam kasus penipuan masuk Akpol, terdakwa Nina Wati bukan ASN Polri, melainkan warga biasa yang melakukan serangkaian kebohongan untuk mengelabui korban.


Kasus penipuan masuk Akpol ini menjadi pelajaran berharga bahwa penegakan hukum pidana harus disertai dengan pendidikan hukum kepada masyarakat. Hukum tidak boleh hanya berhenti menghukum pelaku, tetapi juga harus mendorong perubahan perilaku sosial agar tidak ada lagi “pembeli” maupun “penjual” jalan pintas masuk Akpol atapun masuk Polri, TNI, maupun PNS.**

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)