Forum Penyelamat USU (FP-USU)~Hibah Rp41 miliar dari Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pemprovsu) kepada Universitas Sumatera Utara (USU), yang dikaitkan dengan pembangunan gedung UMKM, memunculkan pertanyaan mendasar: apa sesungguhnya logika hukum atau rasio legis dari pengalihan dana tersebut? Jika merujuk pada Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, setiap rupiah APBD harus berorientasi pada kepentingan publik dengan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan efektivitas. Hibah bukan instrumen untuk “pelicin” proyek, melainkan untuk memperkuat layanan publik.
UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah juga menegaskan, setiap hibah dari pemerintah daerah harus memenuhi asas kepatutan, rasionalitas, dan tidak tumpang tindih dengan kewenangan pihak lain. Dalam hal ini, timbul pertanyaan: mengapa pembangunan gedung UMKM di USU menjadi prioritas mendesak yang harus disuntik dari APBD Sumut, padahal universitas tersebut berada di bawah otoritas Kementerian Pendidikan Tinggi dan justru menerima alokasi anggaran dari APBN?
Permendagri No. 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah memberi pagar hukum yang jelas: hibah hanya dapat diberikan kepada lembaga yang memiliki legal standing, tujuan yang sejalan dengan visi pembangunan daerah, serta dipastikan memberi manfaat langsung kepada masyarakat. Hibah juga wajib melalui mekanisme perencanaan dan penganggaran yang transparan. Namun, dalam kasus Rp41 miliar ini, urgensi dan rasionalitas alokasi justru kabur, pungkas Bomski.
Fakta bahwa dana ini semula muncul dari pos Biro Kesejahteraan Rakyat (Kesra) menambah kecurigaan publik. Biro Kesra secara fungsi tidak memiliki mandat langsung terhadap pembangunan fisik gedung. Apalagi, nomenklatur “UMKM USU” lebih dekat pada program pengembangan kewirausahaan, bukan infrastruktur. Perpindahan pos anggaran ini menimbulkan dugaan bahwa hibah dijadikan jalan pintas politik anggaran.
Jika dikaji lebih dalam, hibah ini mengandung potensi detournement de pouvoir — penyalahgunaan wewenang — yakni penggunaan instrumen hukum yang sah untuk tujuan yang menyimpang. Secara formil, hibah memang sah dalam UU. Tetapi secara materiil, ia diduga menjadi instrumen untuk proyek bancakan Pemko Medan yang dititipkan melalui APBD Provinsi, terang Bomski.
FP-USU Menegaskan, DPRD Sumatera Utara, sebagai badan legislatif, mestinya menjadi pagar pertama. Dengan fungsi budgeting dan pengawasan, DPRD berhak mempertanyakan apakah hibah ini melalui kajian cost-benefit analysis, uji kelayakan, dan diskusi publik. Jika DPRD meloloskan tanpa debat kritis, maka lembaga legislatif daerah secara de facto ikut melegitimasi penyalahgunaan APBD.
Aspek lain yang tak kalah penting adalah azas keterbukaan informasi. UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik memberi hak kepada masyarakat untuk meminta seluruh dokumen hibah: proposal, nota dinas, notulensi pembahasan, hingga laporan realisasi. Tanpa keterbukaan, hibah berpotensi jadi mekanisme transfer dana yang tidak bisa diuji publik, terang Bomski.
Dalam dimensi pengawasan, Inspektorat Pemprov Sumut wajib memastikan tidak ada pelanggaran teknis. Namun pengalaman panjang menunjukkan, aparat pengawas internal sering kehilangan independensi di hadapan birokrasi. Laporan audit internal pun kerap tidak diumumkan ke publik. Padahal, justru transparansi audit itulah yang menjamin rasionalitas hibah.
Di level eksternal, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memiliki mandat konstitusional sebagaimana Pasal 23E UUD 1945 dan UU No. 15 Tahun 2006. BPK tidak sekadar menghitung saldo kas, melainkan memeriksa apakah hibah tersebut efektif, efisien, dan sesuai peruntukan. Audit kinerja menjadi pintu masuk untuk menguji apakah Rp41 miliar itu benar-benar menciptakan nilai tambah, atau sekadar menjadi uang politik.
Jika BPK menemukan penyimpangan, Pasal 10 UU BPK mewajibkan temuan yang berindikasi pidana diserahkan ke penegak hukum dalam waktu satu bulan. Artinya, kasus hibah USU bukan hanya soal administratif, melainkan berpotensi menyeret pejabat Pemprov, DPRD, bahkan pihak kampus jika terbukti ada rekayasa kepentingan, jelas Bomski..
Di sinilah peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi vital. KPK berwenang menyelidiki dugaan korupsi dalam penggunaan hibah daerah, apalagi bila ditemukan praktik gratifikasi atau penyalahgunaan wewenang. Sebab hibah sering dipakai sebagai mekanisme “kamuflase” untuk mengalihkan dana publik ke ruang privat.
Rasio legis pemberian hibah sejatinya adalah memperkuat sinergi daerah dengan institusi strategis demi kepentingan publik. Misalnya, hibah untuk rumah sakit daerah, lembaga sosial, atau sekolah yang melayani masyarakat luas. Namun, hibah Rp41 miliar ke USU justru mengaburkan esensi ini: manfaat langsungnya tidak jelas, sementara konflik kepentingan antara Pemprov, Pemko Medan, dan USU sangat kentara.
FP-USU mengamati lebih ironis lagi, hibah ini muncul di tengah krisis fiskal daerah. Banyak kabupaten/kota di Sumut mengeluhkan keterbatasan anggaran layanan dasar — jalan, kesehatan, pendidikan. Tetapi APBD justru diserap untuk proyek gedung UMKM di universitas besar yang semestinya sudah dibiayai oleh APBN. Ini adalah bentuk mal-administrasi prioritas pembangunan.
Jika DPRD, BPK, dan KPK tidak segera turun tangan, kasus ini akan menjadi preseden buruk: hibah sebagai mekanisme bancakan. Publik Sumut akan menyaksikan bagaimana dana rakyat yang seharusnya meningkatkan kesejahteraan justru berubah jadi instrumen politik anggaran. Kredibilitas pemerintahan pun akan runtuh.
Karena itu, publik, media, dan lembaga masyarakat sipil harus mendorong transparansi total atas hibah Rp41 miliar ini. Dokumen harus dibuka, audit harus diumumkan, dan penegak hukum harus berani menindak. Jika tidak, rasio legis hibah akan terus dipelintir menjadi rasio oligarkis—hukum hanya sebagai kedok, sementara uang rakyat mengalir ke kantong segelintir elite,ujar Bomski.
Demikian.
Siaran Pers.
Forum Penyelamat USU
(FP-USU)
Adv. Irfan Harianto,SH.,
Anggota
Posting Komentar
0Komentar