Forum Penyelamat USU: Debat Kandidat Datang, Panggilan KPK Mangkir, Dan Rendahnya Integritas Rektor USU

Media Barak Time.com
By -
0

 


Baraktime.com|Medan

Debat kandidat atau audisi calon Rektor Universitas Sumatera Utara (USU) pada Rabu, tanggal 24 September 2024 di gedung auditorium, berlangsung meriah. Semua kandidat hadir, termasuk Muryanto Amin. Namun, di balik kehadirannya itu, publik menyoroti satu fakta yang jauh lebih penting: mangkirnya ia dalam panggilan resmi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai saksi fakta. Tegas Ketua FP-USU.


Situasi ini menimbulkan tanda tanya besar. Bagaimana seorang calon rektor—yang seharusnya menempatkan integritas dan akuntabilitas di atas segalanya—dapat memilih hadir dalam arena debat, tetapi tidak memenuhi kewajiban hukum di hadapan lembaga antikorupsi?


USU bukan sekadar kampus. Ia adalah institusi etika, moral, pusat ilmu pengetahuan, dan ruang pembentukan generasi bangsa. Pemimpin kampus tidak cukup hanya cakap menguasai visi akademik, melainkan harus berdiri tegak di hadapan hukum. Absen dari panggilan KPK bukan sekadar pelanggaran etika, tetapi isyarat buruk tentang kepatuhan hukum.


Hadir dalam debat kandidat atau audisi calon rektor memang penting, tetapi mengabaikan panggilan KPK jauh lebih serius, terlebih ketika Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Gunyur Rahayu, secara terang menyebut nama Muryanto Amin berada dalam sirkel kejahatan korupsi kasus OTT Topan Ginting di proyek jalan Sumatera Utara (Tempo.co, 26 Agustus 2025). Dalam konteks ini, menjadi saksi fakta bukan sekadar kewajiban pribadi, melainkan tanggung jawab publik yang menyangkut integritas hukum dan moral. Absen dari panggilan itu sama artinya dengan meruntuhkan kredibilitas diri sekaligus menyeret nama baik Universitas Sumatera Utara ke jurang krisis legitimasi.


Forum Penyelamat USU (FP-USU) menilai ketidakhadiran Muryanto Amin sebagai bentuk inkonsistensi serius. Di satu sisi, ia berupaya tampil meyakinkan di depan sivitas akademika; di sisi lain, ia seolah menutup mata terhadap kewajiban konstitusional untuk membantu penegakan hukum.


Kita tidak bisa memandang enteng peristiwa ini. Sebab, universitas yang dipimpin oleh figur yang menomorduakan hukum akan kehilangan legitimasi moral. Bagaimana mahasiswa dapat dididik untuk taat hukum, bila sang rektor memberi contoh sebaliknya?


Pihak Senat Akademik, Majelis Wali Amanat, Dewan Guru Besar dan Panitia Seleksi Rektor seharusnya tidak tinggal diam. Mereka dituntut menunjukkan sikap tegas: bahwa patuh pada hukum adalah syarat mutlak, bukan sekadar atribut tambahan. Bila tidak, proses suksesi ini hanya akan melahirkan kepemimpinan yang cacat integritas.


Masalah ini bukan sekadar soal Muryanto Amin sebagai individu. Ia adalah cermin dari standar kepemimpinan akademik USU. Jika abai pada kewajiban hukum dibiarkan, maka publik akan menilai bahwa universitas telah kalah oleh syahwat politik kuasa belaka.


FP-USU mengingatkan, marwah kampus harus dijaga dengan keberanian. Membiarkan calon pemimpin mengabaikan panggilan KPK sama saja dengan membiarkan kampus ditarik masuk ke dalam pusaran krisis integritas. Itu bukan sekadar risiko reputasi, melainkan ancaman bagi kepercayaan publik terhadap dunia akademik, pungkas Taufik, di sekretariat FP-USU, Jalan Sutomo No.6 Medan.


Kepemimpinan akademik bukan hanya soal kompetisi gagasan. Lebih dari itu, ia adalah soal keteladanan. Kehadiran dalam debat tidak akan berarti apa-apa jika pada saat yang sama panggilan KPK diabaikan. Pada titik inilah, integritas seorang pemimpin diuji.


USU membutuhkan pemimpin yang berdiri tegak pada moral, taat pada hukum, dan berani menanggung konsekuensi publik. Tanpa itu, universitas akan kehilangan pijakan. Dan sekali pijakan itu rapuh, yang hancur bukan hanya nama baik rektor, tetapi seluruh rumah besar yang bernama Universitas Sumatera Utara, ujar Taufik.

Sumber : Adv. Taufik Umar Dani Harahap

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)