Dari Tuduhan Sirkel Korupsi ke Bursa Rektor: Muryanto Amin dan Ambisi Tanpa Malu.

Media Barak Time.com
By -
0

 



Selayang Pandang

Seorang guru besar bukan sekadar jabatan akademik, melainkan simbol adab, etika, dan keteladanan. Namun, nama Prof. Dr. Muryanto Amin, Rektor Universitas Sumatera Utara (USU), kini tercoreng dalam pusaran kontroversi. Ia disebut KPK sebagai bagian dari lingkaran kekuasaan Bobby Nasution dan Topan Ginting dalam kasus korupsi proyek jalan Rp 231,8 miliar, tetapi justru dua kali mangkir dari panggilan lembaga antirasuah tersebut. Bagi seorang akademisi, sikap menghindar dari proses hukum bukan hanya persoalan formalitas, tetapi tanda retaknya integritas moral.


Sejarah dunia akademik Indonesia telah mencatat, sejumlah rektor diminta mundur akibat pelanggaran etika yang merusak kepercayaan publik. Kasus plagiarisme hingga penyalahgunaan kewenangan pernah membuat pimpinan perguruan tinggi kehilangan legitimasi moralnya. Etika dalam dunia akademik ditempatkan lebih tinggi dari hukum, sebab ia menjadi pondasi kepercayaan sosial dan dasar kehormatan seorang guru besar. Ketika seorang rektor terjerat pelanggaran etik, ia sejatinya kehilangan legitimasi untuk memimpin lembaga ilmu pengetahuan.


Oleh karena itu, seruan agar Muryanto Amin menanggalkan jubah akademiknya bukanlah tuntutan emosional, melainkan panggilan logis dari prinsip etika akademik itu sendiri. Seorang guru besar yang etikanya tercemar sudah tidak layak mempertahankan jabatan rektor, apalagi kembali mencalonkan diri. Menjadi rektor adalah amanah moral, bukan sekadar posisi struktural. Mundur dari jabatan seharusnya dipandang sebagai wujud tanggung jawab etik dan moral seorang intelektual kampus, demi menjaga marwah universitas dan dunia akademik.


Data Kasus Korupsi Jalan Sumatera Utara & Pemanggilan KPK


Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali membongkar praktik busuk korupsi di Sumatera Utara. Kasus terbaru menyangkut proyek pembangunan jalan senilai Rp231,8 miliar yang melibatkan Topan Obaja Putra Ginting, Kepala Dinas PUPR Sumut, beserta sejumlah pejabat lainnya. Fakta ini menegaskan bahwa infrastruktur, yang semestinya menjadi sarana mempercepat pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat, justru dikorupsi oleh pejabat yang seharusnya mengemban amanah publik.


Nama Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Muryanto Amin, ikut terseret dalam pusaran ini. KPK secara terbuka menyebutnya bagian dari sirkel kekuasaan Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution dan Topan Ginting. Sebagai rektor sekaligus guru besar, pemanggilan dirinya oleh KPK sebagai saksi fakta seharusnya di jawab dengan kehadiran yang penuh tanggung jawab dalam menghormati hukum. Namun kenyataannya, ia justru dua kali mangkir. Sikap abai semacam ini bukan saja merendahkan kewibawaan hukum, tetapi juga merusak integritas akademik yang diembannya.


Korupsi, dalam banyak literatur, digolongkan sebagai extraordinary crime — kejahatan luar biasa yang dampaknya sistemik, melumpuhkan pembangunan, dan menggerogoti kepercayaan publik. Karena sifatnya yang luar biasa, respons negara dan masyarakat pun harus luar biasa: tidak boleh ada toleransi, apalagi pembiaran. Ketika seorang rektor, tokoh yang mestinya berdiri di garda depan menjaga moralitas bangsa, justru berkelindan dengan lingkaran kekuasaan yang dituding KPK sarat korupsi, krisis keteladanan semakin nyata.


Dalam konteks etika akademik, seorang guru besar menempati posisi tertinggi bukan karena jabatan administratif, melainkan karena keteladanan moral. Menghindar dari proses hukum adalah tindakan yang menyalahi prinsip dasar itu. Jika seorang rektor memilih bersembunyi dari panggilan KPK, maka marwah akademik kampus ikut dipertaruhkan. USU bukan sekadar institusi pendidikan, tetapi salah satu simbol intelektualitas di Sumatera Utara — yang kini tersandera oleh kepemimpinan penuh kontroversi.


Kasus ini tidak bisa dilihat semata sebagai urusan individu, melainkan bagian dari persoalan struktural: eratnya hubungan antara kekuasaan politik, bisnis, dan kampus. Inilah wajah “sirkel kejahatan korupsi” yang nyata. Jalan untuk memperbaikinya bukan sekadar menunggu proses hukum, tetapi juga menegakkan standar etika tanpa kompromi. Rektor yang gagal memenuhi panggilan moral dan hukum semestinya mundur. Hanya dengan cara itu universitas dapat kembali menegakkan kehormatan akademiknya, dan publik kembali percaya bahwa dunia pendidikan berdiri di atas nilai kebenaran, bukan kepentingan kekuasaan.


Rekam Etik dan Moral Sebelumnya


Pada awal masa rektor terpilih, Muryanto Amin dituduh melakukan autoplagiarisme (self-plagiarism): mengirim karya ilmiah yang sama ke beberapa jurnal tanpa rujukan, publikasi ganda. 


Tindakan itu mengundang sanksi etika akademik: SK Rektor USU No. 82/UN5.1.R/SK/KPM/2021 menetapkan bahwa dirinya telah melanggar norma akademik, keilmuan, dan moral civitas akademika. Salah satu sanksinya adalah penundaan kenaikan pangkat/golongan selama 1 tahun dan pengembalian insentif yang diterima dari publikasi berkaitan. 


Namun, dari pihak Muryanto disampaikan bahwa SK tersebut “belum final dan tidak mengikat” serta belum ada proses klarifikasi resmi dalam sebagian tuduhan. 


Etika Guru Besar & Status Saksi Fakta


Seorang guru besar bukan sekadar pemilik gelar akademik tertinggi, melainkan simbol keilmuan yang diharapkan menjadi teladan etika. Dalam tradisi universitas, posisi itu mewajibkan sosoknya tampil konsisten: jujur, terbuka, dan taat hukum. Kode etik akademik menegaskan bahwa moralitas seorang guru besar lebih tinggi nilainya daripada sekadar kepatuhan prosedural. Ketika etika terciderai, bukan hanya pribadi yang jatuh, melainkan marwah lembaga pendidikan ikut tergerus.


Pemanggilan Prof. Dr. Muryanto Amin oleh KPK sebagai saksi fakta dalam kasus korupsi proyek jalan Rp231,8 miliar adalah momentum penting untuk menunjukkan integritas. Menjadi saksi fakta bukan sekadar menjalani formalitas hukum, melainkan wujud keterbukaan dalam membantu aparat penegak hukum menemukan kebenaran materiil. Publik berharap seorang rektor hadir dengan kesadaran moral, bukan dengan kalkulasi politis. Namun kenyataan bahwa ia dua kali mangkir memperlihatkan jarak yang lebar antara tuntutan etika dan kenyataan sikap.


Ketiadaan sikap kooperatif itu menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah seorang pemimpin akademik masih pantas dipercaya jika menghindar dari kewajiban hukum? Mangkir dari panggilan KPK bukan sekadar pelanggaran prosedural, melainkan kegagalan keteladanan. Krisis moral semacam ini meruntuhkan kepercayaan publik, bukan hanya terhadap individu yang bersangkutan, tetapi juga terhadap institusi yang ia pimpin.


Dalam KUHAP, saksi didefinisikan dalam Pasal 1 angka 26 sebagai orang yang dapat memberikan keterangan tentang peristiwa pidana yang ia dengar, lihat, atau alami sendiri. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 65/PUU-VIII/2010 bahkan memperluas definisi itu, sehingga keterangan saksi tidak harus selalu berdasarkan pengalaman langsung. Artinya, status saksi adalah bagian penting dari konstruksi hukum pidana, dan keterangannya merupakan salah satu alat bukti sah sebagaimana diatur Pasal 184 ayat (1) huruf a KUHAP.


Dengan demikian, seorang rektor yang berstatus guru besar semestinya menempatkan dirinya di garis terdepan dalam menghormati hukum dan etika. Menghindar dari panggilan saksi hanya memperkuat persepsi publik bahwa ada sesuatu yang disembunyikan. Lebih dari itu, sikap demikian mencederai amanah moral seorang akademisi. Jika etika adalah mahkota ilmu, maka seorang guru besar yang melepaskan kewajiban saksi berarti menanggalkan mahkota itu sendiri. Universitas, pada titik ini, dituntut bertindak: menjaga kehormatan akademik lebih penting daripada mempertahankan figur yang meruntuhkannya.


Ambisi Memimpin vs. Tanggung Jawab Moral


Universitas Sumatera Utara (USU) telah membuka penjaringan calon rektor periode 2026–2031. Dari delapan nama yang diumumkan, muncul kembali sosok Prof. Dr. Muryanto Amin. Kehadirannya di bursa rektor menimbulkan kontroversi, bukan karena rekam akademiknya semata, tetapi karena jejak etik dan moral yang belum terselesaikan. Tuduhan plagiarisme, SK etik yang menegaskan pelanggaran akademik, hingga statusnya sebagai saksi yang dua kali mangkir dari panggilan KPK, masih membayangi.


Ambisi memimpin kembali dalam situasi demikian memperlihatkan betapa jabatan lebih diprioritaskan ketimbang tanggung jawab moral. Demokrasi kampus seakan hanya menjadi panggung prosedural: syarat administratif dipenuhi, tetapi substansi integritas diabaikan. Padahal, universitas tidak hanya membutuhkan pemimpin yang cakap secara manajerial, tetapi juga figur yang menjadi mercusuar etika bagi sivitas akademika.


Jika proses penjaringan ini membiarkan luka etika tidak diusut tuntas, USU berisiko menormalisasi krisis integritas. Publik akan memandang bahwa universitas mengabaikan prinsip kejujuran dan keteladanan yang justru menjadi dasar eksistensi akademik. Lebih jauh, ini berpotensi menurunkan reputasi USU di mata nasional maupun internasional, karena dunia akademik modern menempatkan integritas sebagai modal utama.


Karena itu, bursa rektor tidak boleh hanya menjadi ajang perebutan kekuasaan. Ia harus menjadi forum uji integritas. Seorang kandidat rektor yang tidak menuntaskan persoalan etik dan moral mestinya legowo mundur. Sebab, kepemimpinan akademik bukanlah ruang kompromi bagi ambisi pribadi, melainkan amanah moral untuk menjaga marwah ilmu dan universitas.


Krisis Keteladanan & Harapan Penyembuhan


Kisruh yang melibatkan Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Muryanto Amin, telah melampaui sekadar persoalan individu. Aktivis dan pengamat menilai kondisi ini sebagai krisis keteladanan: ketika pimpinan akademik, yang seharusnya menjadi penjaga moral universitas, justru absen dari ruang pertanggungjawaban publik. Mangkir dari panggilan KPK dua kali dalam kasus korupsi jalan Rp231,8 miliar, serta bayang-bayang pelanggaran etik akademik, memperlihatkan bagaimana etika dikesampingkan demi mempertahankan posisi.


Dalam dunia akademik, keteladanan bukan sekadar nilai tambahan, melainkan inti dari kepemimpinan. Universitas dibangun di atas fondasi kepercayaan publik, dan sekali fondasi itu retak, sulit dipulihkan tanpa langkah serius. Oleh karena itu, mekanisme hukum maupun etika tidak boleh berhenti pada retorika. Pemanggilan paksa bagi saksi yang mangkir, termasuk seorang rektor sekalipun, adalah bagian dari penegakan hukum yang adil dan setara.


Lebih jauh, reputasi universitas hanya dapat diselamatkan melalui audit independen terhadap integritas akademik. Dugaan plagiarisme dan pelanggaran etik yang pernah menyeret Muryanto Amin tidak boleh diperlakukan sebagai catatan masa lalu yang dilupakan. Audit transparan akan memastikan bahwa dunia akademik bersih dari praktik curang dan penyalahgunaan sumber daya kampus. Tanpa itu, kepercayaan sivitas akademika maupun masyarakat luas hanya akan terus merosot.


Demokrasi kampus pun dituntut lebih dari sekadar prosedural. Proses penjaringan rektor harus dibuka secara penuh agar publik mengetahui siapa yang benar-benar memiliki integritas, bukan sekadar kredensial. Universitas akan kehilangan wibawa jika hanya menilai kandidat dari catatan administratif, sembari mengabaikan catatan etik yang serius. Transparansi ini adalah kunci menjaga marwah pemilihan rektor agar tidak sekadar menjadi legitimasi formal untuk melanggengkan kekuasaan.


Akhirnya, kode etik guru besar harus ditegakkan tanpa kompromi. Sanksi yang nyata dan efektif, bukan sekadar administratif, perlu diberlakukan terhadap setiap pelanggaran etik. Dengan begitu, universitas dapat menunjukkan bahwa ia masih tegak di atas nilai moral dan kebenaran ilmiah. Hanya melalui ketegasan ini, USU dapat memulihkan kehormatannya, sekaligus menegaskan bahwa integritas akademik tidak bisa ditawar—bahkan oleh seorang rektor sekalipun.


Penutup


Seorang guru besar seharusnya menjadi teladan integritas, bukan sekadar pemegang jabatan akademik. Namun, ketika panggilan hukum diabaikan, etika ditinggalkan, dan kepentingan pribadi lebih menonjol daripada tanggung jawab publik, maka yang hancur bukan hanya reputasi pribadi, melainkan juga marwah universitas. Inilah yang kini membelit Muryanto Amin: sosok yang mestinya menjaga kehormatan ilmu, justru terseret dalam pusaran tuduhan serius yang tak dijawab dengan keterbukaan.


Kesempatan masih ada baginya untuk membuktikan integritas—berani menghadapi proses hukum dan etik, serta transparan di hadapan publik. Namun bila jalan itu ditolak, maka “bursa rektor” hanya akan berubah menjadi panggung mempertahankan kekuasaan dengan mengorbankan moralitas akademik. Bagi publik Medan, Sumut, hingga Indonesia, pelanggaran etik dan moral Muryanto Amin sudah telanjur terbaca jelas: bukan sekadar rumor, melainkan sebuah kenyataan yang menuntut koreksi serius.


Demikian.


Penulis Adv. . Taufik Umar Dani Harahap,SH. Merupakan Praktisi Hukum, Alumni Fakultas Hukum USU Stambuk' 92 dan Ketua Forum Penyelamat USU.

________________


Referensi


Kompas. (2024). Etika Akademik dan Kepemimpinan Rektor di Indonesia. Jakarta: Harian Kompas.


Transparency International Indonesia. (2023). Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2023. Jakarta: TII.


Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi RI. (2022). Peraturan Menteri tentang Tata Kelola Perguruan Tinggi Negeri. Jakarta: Kemendikbudristek.


KPK Sebut Rektor USU Bagian dari Sirkel Bobby Nasution,Tempo.co

https://www.tempo.co › Hukum › Kriminal


Kompas.id. (2025). “Integritas Akademisi dalam Sorotan Publik.” Diakses 14 September 2025.


Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.


UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.


Undang-undang (UU) tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang berlaku saat ini adalah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.


Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Indonesia (MRPTNI). (2023). Kode Etik Rektor dan Guru Besar. Jakarta: MRPTNI.


ICW (Indonesia Corruption Watch). (2024). Laporan Tahunan: Pendidikan Tinggi dan Korupsi. Jakarta: ICW.


USU Umumkan 8 Calon Rektor 2026 - 2031 Termasuk Muryanto Amin https://www.sumut24.co/Berita//usu-umumkan-8-calon-rektor-2026-2031-termasuk-muryanto-amin/


Rektor Mangkir Pemeriksaan KPK, Iskandar: Ini Krisis Keteladanan

https://rri.co.id/hukum/1830156/rektor-mangkir-pemeriksaan-kpk-iskandar-ini-krisis-keteladanan

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)