Selang Panjangj
Delapan puluh tahun kemerdekaan Indonesia bukanlah sekadar angka yang tercetak di kalender kenegaraan. Ia adalah penanda sebuah perjalanan panjang yang ditempa oleh darah, air mata, dan pengorbanan generasi demi generasi. Kemerdekaan yang kita nikmati hari ini lahir dari tekad kolektif untuk menolak tunduk pada kekuasaan asing, dari keyakinan bahwa bangsa ini berhak berdiri di atas kaki sendiri. Janji itu—janji kemerdekaan—seharusnya tidak pernah lekang dimakan waktu.
Namun, kemerdekaan bukanlah hadiah yang selesai diraih sekali untuk selamanya. Ia adalah proses yang terus-menerus diuji oleh tantangan zaman. Ancaman memang berganti rupa: dari kolonialisme bersenjata menjadi korupsi yang menyelinap ke jantung birokrasi; dari agresi militer menjadi infiltrasi ideologi dan kepentingan ekonomi global; dari perebutan teritorial menjadi perebutan pengaruh di balik layar kebijakan publik.
Wajah Baru Ancaman
Musuh terbesar republik saat ini tidak lagi menenteng senjata di medan perang terbuka. Ia hadir dalam bentuk korupsi yang sistematis—merampas hak rakyat secara senyap namun mematikan. Korupsi tidak sekadar menggerogoti anggaran negara, tetapi juga menghancurkan sendi kepercayaan publik terhadap pemerintah. Setiap rupiah yang dikorupsi berarti satu langkah mundur dalam upaya mensejahterakan rakyat.
Di saat yang sama, peredaran narkoba menghancurkan potensi generasi penerus republik. Ia menumpulkan daya kritis, melemahkan moral, dan menggerus ketahanan sosial. Di wilayah agraria, sumber daya alam terus dikeruk secara masif, tetapi rakyat di sekitarnya tetap hidup dalam kemiskinan. Ironisnya, hasil eksploitasi itu sering kali mengalir keluar negeri atau terkonsentrasi di kantong segelintir elite, sementara utang negara kian membengkak.
Oligarki pun menjelma menjadi kekuatan yang licin menyelinap di balik kebijakan publik. Mereka menguasai jalur politik dan ekonomi, memastikan keuntungan mengalir kepada kelompoknya. Politik elektoral menjadi arena pertarungan modal, bukan ide dan gagasan. Dalam kondisi seperti ini, rakyat banyak hanya menjadi penonton—didorong untuk memilih, tetapi tak benar-benar menentukan arah perjalanan negara.
Republikan Sebagai Penjaga Moral
Bagi kaum republikan—mereka yang teguh memegang keseimbangan antara kedaulatan rakyat dan supremasi hukum—tugas mempertahankan kemerdekaan adalah kerja panjang yang tak mengenal kata pensiun. Mereka bukan sekadar pewaris sejarah, tetapi penjaga moral republik yang menolak tunduk pada kompromi yang mengorbankan prinsip.
Tantangan yang dihadapi kaum republikan hari ini berbeda dari medan perang fisik masa lalu. Medannya adalah ruang kebijakan, sidang parlemen, pemberitaan media, dan perdebatan di ruang digital yang rawan manipulasi opini. Di sini, politik harus dipahami bukan sebagai pasar tempat prinsip dilelang kepada penawar tertinggi, melainkan sebagai panggilan pengabdian untuk rakyat.
Bagi republikan sejati, pengabdian tidak dibatasi masa jabatan. Mereka tidak berhenti bekerja ketika bendera diturunkan usai upacara atau ketika lampu seremonial padam. Mereka memilih jalan terjal, melawan arus kebijakan yang menyimpang, dan memastikan setiap keputusan publik diambil berdasarkan keadilan, bukan kepentingan pribadi atau kelompok.
Urgensi di Usia 80 Tahun Kemerdekaan
Menjelang usia 80 tahun kemerdekaan, Indonesia dihadapkan pada pilihan krusial: menjadi bangsa yang mengarungi masa depan dengan arah yang jelas atau sekadar menumpang di bus sejarah yang melaju tanpa tujuan pasti. Kaum republikan—mereka yang memadukan idealisme dengan keberanian moral—harus mengambil peran sebagai pengemudi, bukan penumpang pasif. Kemerdekaan tidak boleh berhenti sebagai ritual simbolik di podium upacara, melainkan harus dihidupi setiap hari lewat kebijakan publik yang adil, transparan, dan berpihak pada rakyat.
Republik yang sehat tidak berpuas diri hanya karena mampu bertahan dari ancaman. Ia harus sanggup membaca tanda-tanda zaman, mengantisipasi risiko, dan memperbarui dirinya agar tetap relevan. Tantangan hari ini jauh lebih kompleks: dari disrupsi teknologi yang menguji kedaulatan data hingga tekanan geopolitik yang mengancam kemandirian ekonomi. Tanpa kepemimpinan yang visioner dan keberanian mengambil keputusan strategis, kemerdekaan akan terkikis secara perlahan, nyaris tanpa disadari.
Dalam arus perubahan global yang cepat, kaum republikan dituntut menjadi garda terdepan pembaruan negara—mengawal penegakan hukum, memberantas korupsi, dan memastikan pengelolaan sumber daya alam berpihak pada rakyat. Mereka harus berani melawan arus kepentingan jangka pendek demi keberlanjutan republik dalam jangka panjang. Sebab, kemerdekaan yang tidak dirawat akan menjadi sekadar catatan sejarah; sementara republik yang dijaga dengan prinsip akan menjadi warisan tak ternilai bagi generasi berikutnya.
Tiga Empat Perjuangan Yang Mendesak
Empat medan perjuangan ini adalah fondasi yang menentukan apakah republik akan tetap tegak atau perlahan runtuh dari dalam. Penegakan hukum tanpa pandang bulu adalah syarat mutlak—hukum harus menjadi pelindung rakyat, bukan alat kekuasaan untuk menekan lawan politik atau mengamankan kepentingan elite. Tanpa supremasi hukum, segala cita-cita kemerdekaan berubah menjadi ilusi.
Pemberantasan korupsi, narkoba, dan judi bukan sekadar agenda moral, tetapi strategi bertahan hidup bagi sebuah bangsa. Korupsi menguras sumber daya negara, sementara narkoba dan judi melumpuhkan potensi manusia yang seharusnya menjadi penggerak kemajuan. Ketiganya bekerja seperti kanker yang menggerogoti tubuh republik: senyap, merusak, dan mematikan. Melawannya membutuhkan kemauan politik yang konsisten, dukungan publik yang kritis, dan penegakan hukum yang tegas.
Pengelolaan sumber daya alam yang adil menjadi penentu apakah kekayaan negeri ini menjadi modal kemakmuran atau justru sumber kesenjangan yang memperbesar utang negara. Tanpa pengelolaan yang berpihak pada rakyat, kemerdekaan hanya akan menjadi simbol yang hampa. Sebab, republik yang mengkhianati prinsip keadilan dan keberlanjutan hanyalah nama tanpa jiwa—sebuah negara yang hidup secara administratif, tetapi mati secara moral.
Mendidik, Bukan Sekadar Memimpin
Makna republik sejatinya terletak pada prinsip pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat—bukan untuk segelintir elite, kepentingan asing, atau pelanggengan dinasti politik. Kaum republikan memikul tanggung jawab menghidupkan prinsip itu melalui pendidikan politik publik yang berkelanjutan. Sebab, rakyat yang melek politik adalah benteng terakhir melawan manipulasi demokrasi, pembajakan kebijakan, dan kooptasi kekuasaan oleh kelompok sempit.
Menjadi republikan sejati berarti melampaui peran sebagai pemburu suara dalam kontestasi elektoral. Mereka harus hadir sebagai pendidik publik, mengasah kesadaran kritis, membangkitkan rasa memiliki terhadap negara, dan mendorong partisipasi aktif warga dalam setiap proses pengambilan keputusan. Tanpa kesadaran politik yang matang, rakyat mudah diarahkan oleh propaganda, diseret dalam polarisasi, atau digiring pada pilihan yang merugikan masa depan bangsa.
Apatisme publik adalah ruang kosong yang cepat diisi oleh penguasa culas dan politisi transaksional. Karena itu, mendidik rakyat bukan sekadar kewajiban moral, tetapi strategi mempertahankan republik agar tetap berjiwa demokratis. Kaum republikan yang memilih jalan ini menanam benih kesadaran politik yang hasilnya mungkin baru dipetik generasi mendatang—sebuah investasi jangka panjang yang tak tergantikan demi menjaga kemerdekaan tetap bermakna.
Momentum Refleksi Kolektif
Ketika 80 tahun kemerdekaan diperingati, momen ini seharusnya tidak berhenti pada pesta simbolik. Ia harus menjadi titik refleksi kolektif: apakah janji kemerdekaan sudah benar-benar dirasakan oleh setiap warga, dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga Rote? Apakah kemerdekaan sudah membawa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, ataukah ia hanya tinggal dalam teks pembukaan UUD 1945?
Sejarah membuktikan, perubahan besar selalu lahir dari keberanian melawan arus. Risiko bagi kaum republikan tidak kecil—tekanan kelompok kepentingan, ancaman politik, hingga pembunuhan karakter adalah harga yang harus dibayar. Tetapi tanpa keberanian itu, republik akan kehilangan arah.
Pada akhirnya, republik yang kita cintai ini hanya akan tetap tegak bila ada orang-orang yang bersedia menjaga prinsipnya tanpa kenal lelah. Kaum republikan, dengan idealisme yang tak bisa dibeli dan pengabdian tanpa batas, adalah penjaga janji itu. Mereka adalah nyala abadi di tengah arus zaman, memastikan republik ini tetap berjiwa, berdaulat, dan bermartabat.
Penutup
Mengibarkan Sang Merah Putih bukanlah sekadar ritual tahunan, tetapi penegasan bahwa kemerdekaan adalah kunci kedaulatan rakyat. Bendera itu memanggil kita untuk memastikan setiap kebijakan berpihak pada kepentingan publik, bukan segelintir elite. Ia mengingatkan bahwa tujuan akhir kemerdekaan adalah terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur, di mana kesejahteraan bukan privilese, melainkan hak setiap warga negara.
Namun, simbol tanpa substansi hanyalah hiasan. Merah Putih hanya akan benar-benar bermakna jika dikawal oleh keberanian moral, kepemimpinan yang bersih, dan partisipasi rakyat yang sadar akan hak dan kewajibannya. Inilah panggilan bagi kaum republikan: menjaga janji kemerdekaan agar tidak tereduksi menjadi seremoni, tetapi hidup sebagai komitmen nyata untuk menegakkan keadilan dan mengamankan masa depan bangsa. M e r d e k a...!
Demikian
Penulis Adv. M.Taufik Umar Dani Harahap, SH Merupakan Praktisi Hukum, Kaum Republikan Yang Tergabung Dalam Aktivis Musyawarah Rakyat Banyak Dan Wakil Sekretaris Bidang Hukum Dan HAM MW KAHMI Sumut.
Posting Komentar
0Komentar