Buntut menghalangi tugas
seorang Jurnalis stringer TV one, H. Hasibuan saat meliput permasalahan seorang
anak MTs DM berinisial IM (14) yang berhenti karena tidak mampu untuk membayar
hutang saat rekreasi sebesar Rp.350.000, kini akan dilaporkan ke Polisi.
Demikian disampaikan H. Hasibuan saat dikonfirmasi terkait penyerangan dirinya saat meliput permasalahan IM di sebuah warung Nasi di Jalinsum Langgapayung-Gunung Tua, Rabu (23/7).
Menurutnya, hal itu berawal dari peliputan saat KPAD Labusel hadir untuk
menjenguk IM yang mengalami beban psikis akibat permasalahan itu tepatnya saat
didalam rumah makan minang, KPAD tiba yang dipimpin langsung ketua KPAD
Labusel, Ilham Daulay mendapati IM sedang bersama Oknum Kepala Yayasan berinisial
S.DSP dan sempat terjadi perdebatan sengit, hal itu di liput oleh berbagai
media.
Situasi memanas saat Oknum Ketua Yayasan menyebutkan viralnya ini karena ulah media, sontak beberapa wartawan protes atas sikap arogan oknum Ketua Yayasan itu. Karena tidak tahan di tanya oleh awak media, S.DSP didampingi anaknya keluar sambil emosi dan menyebut bahwa dirinya kenal dekat dengan orang nomor satu di Labusel ini.
Pernyataannya itu membuat awak media semakin penasaran dan mengikutinya untuk mengkonfirmasi. Sampai di halaman belakang rumah makan S. DSP terus marah-marah dan saat itu, H. Hasibuan stringer TV one mengambil videonya, secara tiba-tiba S. Dsp menyerangnya dengan menarik lengan baju H. Hasibuan sambil berteriak-teriak. Akibatnya baju H. Hasibuan sedikit robek.
Melihat situasi itu beberapa awak media mencoba memisahkannya dan menyuruh anak oknum Ketua Yayasan itu membawa S. DSP pulang guna menghindari hal-hal yang tidak di inginkan. Sambil marah-marah beliau terus mencerca H. Hasibuan.
Masih menurut H. Hasibuan, Oknum Ketua Yayasan itu juga men-chatnya melalui pesan whatsapp dengan mengatakan,”jangan coba-coba kau memposting kami di Sosmed, karena aku tak ijin dunia akherat.
H. Hasibuan juga menegaskan akan segera melaporkan kejadian itu ke Polres Labuhanbatu Selatan agar dapat di proses dan menangkap pelakunya. Sebab hal itu telah melanggar Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Dalam Pasal 18 ayat (1) UU NO. 40 Tahun 1999 dijelaskan, setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp 500.000.000.
Karena dalam hal pembuatan berita Negara menjamin kebebasan Pers dan melindungi wartawandari tindakan yang menghambat kerja jurnalistik. Karena wartawan memiliki hak untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Sementara Advokat M.Taufik Umar Dani Harahap sebagai Wakil Sekretaris Bidang Hukum Dan HAM MW KAHMI Sumut berpendapat selain UU No 40 Tahun 1999, tindakan kekerasan terhadap jurnalis juga dapat dijerat melalui Pasal 335 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan dan Pasal 170 KUHP jika disertai unsur kekerasan.
“Ini bukan semata soal
profesionalitas jurnalistik, tetapi menyangkut prinsip hukum yang dilindungi
oleh konstitusi.” ujarnya.
Lebih lanjut Taufik menjelaskan,Laporan polisi yang akan diajukan oleh H. Hasibuan terhadap pihak yang diduga melakukan intimidasi menjadi batu ujian bagi keberpihakan penegak hukum terhadap kebebasan pers dan supremasi hukum. Dalam sejumlah putusan, Mahkamah Agung menegaskan pentingnya perlindungan terhadap jurnalis dalam melaksanakan tugasnya. Salah satunya tercermin dalam Putusan MA No. 1608 K/Pid/2005, di mana majelis hakim menyatakan bahwa tindakan kekerasan terhadap jurnalis dalam peliputan adalah pelanggaran hukum pidana sekaligus pelanggaran hak konstitusional. Maka, proses hukum atas laporan ini harus dijalankan secara transparan, objektif, dan tidak tunduk pada tekanan dari institusi mana pun, termasuk dari yayasan yang diduga terlibat.
Lebih dari itu, kasus ini
membuka ruang investigasi lebih luas terhadap praktik internal Yayasan DM yang
selama ini tampaknya tertutup dari pantauan publik. Media sebagai pilar
demokrasi memiliki mandat untuk mengawasi dan mengungkap praktik-praktik
penyimpangan, terlebih ketika menyangkut kepentingan publik dan potensi
penyelewengan dana atau kekuasaan. Kekerasan terhadap jurnalis bukan hanya
penghinaan terhadap profesi, tetapi serangan terhadap hak masyarakat untuk
tahu. Maka, kasus ini harus menjadi momentum konsolidasi etika hukum dan
demokrasi, bahwa negara dan aparatnya wajib menjamin keamanan dan kebebasan
pers sebagai fondasi pemerintahan yang akuntabel.(KH)
Posting Komentar
0Komentar