Oleh: Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH (Ketua Forum Penyelamat USU)
Pendahuluan
Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) atas Universitas Sumatera Utara (USU) mengungkap sebuah ironi yang pahit: lembaga pendidikan tinggi justru menjadi lahan subur korupsi. Dalam rentang waktu hampir satu dekade, setidaknya Rp28 miliar dana publik diduga diselewengkan oleh oknum di lingkar kekuasaan akademik. Lebih mengejutkan, laporan investigatif menyebut seorang petinggi kampus diduga menggunakan dana promosi pendidikan untuk membeli tas mewah Hermes seharga Rp 250 juta.
Ironi ini bukan hanya soal etika, tapi juga tentang bagaimana institusi akademik gagal menjadi contoh moral dalam pengelolaan keuangan publik. Pendidikan tinggi, menurut filsuf Jürgen Habermas, seharusnya menjadi "ruang diskursif rasional" yang menjunjung nilai-nilai kebenaran dan tanggung jawab publik. Namun, kenyataan di USU menunjukkan sebaliknya: tata kelola yang buruk, tidak adanya akuntabilitas, dan pembiaran sistemik terhadap praktik koruptif.
Audit BPK dan Fakta Angka yang Tidak Tertolak
Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan BPK RI tahun 2015–2023 serta laporan BPKP tahun 2018–2021, ditemukan sejumlah penyimpangan administratif dan keuangan yang signifikan. Dari penggunaan dana promosi Tri Dharma untuk operasional rektor, pengadaan barang tanpa bukti pengeluaran yang sah, hingga pelanggaran terhadap Peraturan Rektor No. 12 Tahun 2022 dan No. 36 Tahun 2017. Total kerugian negara yang terindikasi: Rp28 miliar.
Bukan hanya besarannya yang mengagetkan, tetapi juga lemahnya tindak lanjut hukum. Hingga kini, belum ada satu pun pejabat kampus yang diperiksa secara terbuka oleh aparat penegak hukum. Pihak-pihak yang diduga terlibat, termasuk petinggi USU yang disebut dalam laporan audit, tidak dapat dikonfirmasi hingga artikel ini diterbitkan. Upaya konfirmasi yang dilakukan media terhadap sejumlah pejabat kampus tidak membuahkan hasil. Diam, seakan menjadi mekanisme pertahanan dalam menghadapi keterbukaan.
Investigasi independen dari Indonesia Audit Watch (IAW) turut memperkuat temuan BPK dan BPKP. Lembaga ini menemukan indikasi penyimpangan keuangan sebesar Rp28 miliar yang tersebar dalam berbagai pos anggaran strategis di lingkungan Universitas Sumatera Utara. Mulai dari penggunaan dana promosi yang tidak sesuai peruntukannya, biaya operasional rektor yang melampaui batas kewajaran, hingga belanja barang mewah yang tidak relevan dengan kegiatan akademik.
Dalam laporan resminya, IAW menyebutkan adanya “pola pengulangan praktik penyimpangan” yang seolah telah menjadi budaya birokrasi kampus. Fakta ini menunjukkan bahwa permasalahan di USU tidak berhenti pada aspek administratif, tetapi telah menjangkau wilayah etik dan integritas kelembagaan.
Korupsi Akademik dan Legitimasi Moral yang Runtuh
Korupsi di kampus bukanlah kejahatan biasa. Ia meruntuhkan legitimasi moral institusi pendidikan sebagai pelita peradaban. Saat mahasiswa diwajibkan menempuh mata kuliah etika profesi dan anti-korupsi, justru dosen dan pejabat rektorat menunjukkan contoh buruk. Inilah yang disebut Paolo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed sebagai pendidikan yang menindas: ketika pelaku pendidikan tidak menjadi subjek perubahan, tetapi bagian dari sistem yang menindas itu sendiri.
Tidak berlebihan jika publik hari ini menaruh curiga terhadap lembaga pendidikan tinggi. Apakah kampus masih menjadi tempat menimba ilmu, atau sudah berubah menjadi pabrik kekuasaan dan keuntungan pribadi?
Dampak Sistemik dan Hilangnya Kepercayaan Publik
Praktik-praktik ini merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi pendidikan. Dalam survei Transparency International Indonesia (2023), sektor pendidikan menempati urutan keempat dalam laporan persepsi korupsi nasional. Keadaan ini mencerminkan kegagalan sistemik yang memerlukan koreksi struktural dan budaya.
Hilangnya kepercayaan ini akan membawa dampak jangka panjang, dari penurunan kualitas akademik, hengkangnya dosen-dosen berkualitas, hingga minimnya dukungan masyarakat terhadap program-program universitas. USU, yang dulu dibanggakan sebagai kampus riset, kini justru menjadi contoh bagaimana sebuah institusi bisa runtuh dari dalam.
Mendesak Reformasi Tata Kelola dan Penegakan Hukum
Sudah waktunya Menteri Pendidikan dan aparat penegak hukum turun tangan. Audit investigatif lanjutan perlu dilakukan oleh KPK. Tata kelola harus diperbaiki secara menyeluruh, mulai dari transparansi anggaran, sistem pengadaan barang, hingga mekanisme pengawasan internal. Pimpinan yang terlibat harus diperiksa dan diproses hukum, bukan dilindungi dengan dalih otonomi kampus.
Seperti disampaikan ahli tata kelola publik Robert Klitgaard, rumus korupsi adalah: "Korupsi = Monopoli + Diskresi - Akuntabilitas." Di USU, monopoli kekuasaan dan diskresi pejabat berjalan tanpa akuntabilitas yang efektif. Maka, tak heran korupsi menjamur.
Penutup
USU adalah cerminan wajah pendidikan kita: penuh paradoks antara idealisme dan realitas. Jika korupsi di kampus tak lagi membuat kita marah, maka kita sedang kehilangan harapan pada generasi yang akan datang. Sebab dari kampuslah semestinya lahir pemimpin jujur, bukan kolektor tas mewah hasil uang rakyat.
Demikian
Penulis Praktisi Hukum, Alumni Fakultas Hukum USU Stambuk' 92
____________
Daftar Pustaka
1. Badan Pemeriksa Keuangan RI. (2015–2023). Laporan Hasil Pemeriksaan atas Universitas Sumatera Utara.
2. BPKP. (2018–2021). Laporan Audit Kinerja USU.
3. Transparency International Indonesia. (2023). Indeks Persepsi Korupsi Nasional.
4. Habermas, J. (1984). The Theory of Communicative Action. Beacon Press.
5. Freire, P. (1970). Pedagogy of the Oppressed. Continuum.
6. Klitgaard, R. (1988). Controlling Corruption. University of California Press
7. Poros Jakarta online, https://www.porosjakarta.com/kanal-editorial/066024274/usu-dan-10-tahun-korupsi-dimaafkan-laporan-bpk-ungkap-penyimpangan-rp28-miliar?page=4#sidr
Posting Komentar
0Komentar