"Uji Forensik: Dari Kasus Munir Di Belanda Dan Ijazah Jokowi yang Tak Tersentuh Sains Di Indonesia"

Media Barak Time.com
By -
0

 



Oleh: Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH (Praktisi Hukum)


Pendahuluan 


> “Sains hanya bisa menjadi alat keadilan jika dibebaskan dari kungkungan kekuasaan.”


Kematian Munir dan polemik ijazah Presiden Joko Widodo mungkin terjadi dalam dua konteks yang berbeda: satu di langit Eropa, satu di ruang publik dalam negeri. Namun keduanya memperlihatkan benang merah yang sama: subjektivitas aparatus dalam menafsirkan dan memanfaatkan ilmu forensik untuk kepentingan kekuasaan.


Kasus Munir, sebagaimana telah kita ketahui, menemukan titik terang karena diotopsi di Belanda. Sementara itu, polemik mengenai keaslian ijazah Jokowi yang bergulir sejak 2019 hingga kini, justru menghadirkan kebingungan publik akibat pendekatan pseudo-forensik yang tak mampu menembus batas objektivitas ilmiah.


Forensik dan Ilusi Netralitas Negara


Dalam hukum pidana modern, forensik seharusnya menjadi cabang ilmu objektif—bebas dari bias politik, tekanan institusional, dan pengaruh kekuasaan. Namun realitasnya, di Indonesia, sains seringkali direduksi menjadi alat pembenaran kekuasaan.


Mengutip Deborah Davis dalam The Political Life of Forensic Science (2018), di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, forensik bukanlah alat netral, melainkan bagian dari aparatus ideologis negara (state ideological apparatus) sebagaimana dijelaskan oleh Louis Althusser. Ini terjadi ketika lembaga keilmuan dikendalikan oleh otoritas yang berkepentingan mempertahankan status quo.


Kasus Ijazah Jokowi: Sains Tak Berdaya.


Ketika gugatan terhadap keabsahan ijazah Presiden Jokowi mencuat, harapan publik bertumpu pada lembaga pendidikan, tim forensik dokumen, dan aparat penegak hukum. Namun yang terjadi adalah pembungkaman epistemik, di mana sains dijadikan pelengkap narasi kekuasaan, bukan sebagai alat pencari kebenaran.


Alih-alih dilakukan uji forensik dokumen secara terbuka, transparan, dan menggunakan prinsip ilmu grafologi atau analisis tipografi digital (misalnya mengkaji penggunaan font Times New Roman tahun 1980-an yang menjadi polemik), hasil yang disampaikan ke publik justru berupa konklusi hukum administratif tanpa dasar ilmiah kuat. Sejumlah pengamat, termasuk pakar tipografi dan sejarah desain, menyatakan adanya kejanggalan. Namun lembaga resmi tetap membungkusnya dalam bingkai keabsahan formalistik.


Bandingkan dengan otopsi Munir oleh NFI Belanda yang membuka seluruh prosedur: mulai dari histori rekam jejak perjalanan, gejala medis, pemeriksaan toksikologi, hingga pelacakan rantai distribusi racun. Itu lah forensik yang bekerja atas asas ilmiah dan bukan kepentingan.


Sains Yang Tak Merdeka


Mengutip Noam Chomsky, “Ketika sains tidak dibebaskan dari struktur kekuasaan, ia hanya menjadi propaganda teknokratik.” Dalam konteks Indonesia, ini tercermin pada dua hal:

1. Sains bisa bersuara jika mendukung narasi resmi.

2. Sains dibungkam ketika mengganggu legitimasi politik.


Kondisi ini bukan hanya berbahaya bagi integritas hukum dan HAM, tetapi juga memalukan dalam forum internasional. Sebab, negara yang gagal menjaga independensi forensik adalah negara yang gagal memisahkan antara politik dan kebenaran ilmiah.


Munir dan Ijazah: Dua Cermin Bangsa yang Sama


Munir dibunuh di udara, dan keadilan atas dirinya ditentukan oleh laboratorium di negeri asing. Ijazah Jokowi diperdebatkan di darat, tapi tak satupun laboratorium dalam negeri yang berani menyentuhnya dengan pisau sains. Keduanya mencerminkan betapa rentannya sistem forensik kita terhadap kontrol negara.


Jika otopsi Munir dilakukan di Indonesia, besar kemungkinan kebenaran akan tenggelam. Dan jika analisis ijazah Jokowi dilakukan di luar negeri oleh lembaga independen, bukan tidak mungkin hasilnya akan sangat berbeda dari yang sudah ada.


Kebenaran Tidak Boleh Bergantung pada Letak Geografis


Negara hukum yang sehat bukan hanya soal aturan yang tertulis, tetapi soal siapa yang mengoperasikan kebenaran. Ketika laboratorium forensik hanya bisa berkata jujur di luar negeri, maka sesungguhnya yang sakit bukan hanya sistem hukumnya, tapi juga jiwa konstitusi bangsa itu sendiri.


Sudah waktunya kita bertanya bukan hanya apakah keadilan ditegakkan, tapi juga siapa yang berhak menafsirkan kebenaran dalam negara ini?.


Penutup


Kematian Munir dan polemik ijazah Jokowi adalah dua cermin buram yang memantulkan wajah keadilan dan sains di Indonesia. Dalam kasus Munir, kebenaran hanya bisa ditemukan karena laboratorium berada di luar jangkauan kuasa dalam negeri. Sementara dalam kasus ijazah, sains justru menjadi bisu di hadapan simbol kekuasaan.


Ini menunjukkan bahwa netralitas ilmu forensik belum sepenuhnya merdeka. Ketika sains tunduk pada tekanan politik dan lembaga negara lebih sibuk mempertahankan citra daripada mengungkap fakta, maka yang terancam bukan hanya keadilan, tapi juga kepercayaan publik terhadap sistem hukum itu sendiri.


Sudah saatnya Indonesia berani membangun laboratorium kebenaran, bukan hanya secara fisik, tapi juga secara etis dan institusional. Sebab di negara demokratis, keadilan yang benar bukan sekadar ditunjukkan oleh hasil akhir, melainkan oleh cara dan keberanian dalam mencarinya.

_________

Referensi:


Davis, Deborah. (2018). The Political Life of Forensic Science. Palgrave Macmillan.


Chomsky, Noam. (1989). Necessary Illusions: Thought Control in Democratic Societies.


Althusser, Louis. (1970). Ideology and Ideological State Apparatuses.


Komnas HAM & KontraS. (2005–2015). Laporan Penyelidikan Kasus Munir.


Sidang Gugatan Ijazah Jokowi (PN Jakpus, 2022).

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)