Oleh Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH (Praktis Hukum)
Pendahuluan
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 66 Tahun 2025 tentang Pelindungan Negara terhadap Jaksa dalam Melaksanakan Tugas hadir di tengah sorotan publik terhadap meningkatnya intimidasi terhadap aparat hukum. Presiden Prabowo Subianto menegaskan bahwa jaksa, sebagai ujung tombak penuntutan pidana, harus dijamin kebebasannya dari tekanan dan ancaman, baik secara fisik maupun politis.
Langkah ini terlihat sebagai upaya negara merespons fenomena obstruction of justice, suatu tindakan penghalangan proses hukum, yang dalam sistem peradilan modern tergolong sebagai pelanggaran serius terhadap asas due process of law.
Intimidasi dan Fakta Ancaman terhadap Aparat Hukum
Beberapa kasus memperkuat alasan penerbitan regulasi ini. Pada Agustus 2023, publik digegerkan dengan aksi sekitar 40 anggota TNI yang mendatangi Mapolrestabes Medan, dipandang sebagai bentuk intimidasi terhadap kepolisian. Februari 2025, jurnalis Kompas.com, Adhyasta Dirgantara, mengalami intimidasi oleh pengawal Panglima TNI saat peliputan di Mabes Polri. Deretan peristiwa ini menggambarkan bahwa ancaman terhadap prinsip-prinsip negara hukum bukan fiksi, melainkan realitas yang menggerogoti integritas demokrasi.
Laporan Transparency International (2024) menunjukkan Indonesia mengalami penurunan dalam Indeks Persepsi Korupsi, dari skor 38 (2023) menjadi 36. Demikian pula World Justice Project (2024) menempatkan Indonesia dalam posisi ke-68 dari 142 negara dengan catatan lemahnya kontrol terhadap kekuasaan dan tingginya korupsi dalam institusi publik.
Fakta di lapangan menunjukkan intimidasi terhadap jaksa, penyidik, dan saksi bukanlah fenomena baru. Dalam beberapa kasus besar, jaksa mengalami tekanan saat menuntut koruptor berpengaruh. Di sinilah relevansi Perpres 66/2025 diuji secara normatif dan praktis.
Obstruction of Justice dan Ancaman Struktural
Teori obstruction of justice mengacu pada segala bentuk penghalangan proses hukum yang sah. Menurut Black’s Law Dictionary, tindakan ini termasuk intimidasi saksi, jaksa, atau aparat, manipulasi bukti, hingga pengaruh politik terhadap jalannya perkara hukum.
Dalam konteks Indonesia, obstruction sering kali tidak hadir secara vulgar, melainkan halus melalui tekanan struktural: pemindahan jaksa, kriminalisasi penyelidik, hingga stigmatisasi media. Maka, Perpres 66/2025 sejatinya bisa dibaca sebagai respons negara terhadap tactical obstruction—bentuk penghalangan hukum yang beroperasi secara kasatmata namun terlegitimasi kekuasaan.
Pandangan Para Ahli Hukum Pidana: Supremasi Hukum di Tengah Ancaman
Prof. Herkristuti Harkrisnowo, pakar hukum pidana dan hak asasi manusia Universitas Indonesia, menilai bahwa obstruction of justice harus diakui sebagai bentuk pelanggaran HAM karena menghalangi keadilan bagi korban. Dalam konteks ini, negara memiliki tanggung jawab positif untuk melindungi aparat hukum dari segala bentuk tekanan yang menghambat proses peradilan.
Prof. Dr. Romli Atmasasmita, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjadjaran, dalam berbagai tulisannya menegaskan bahwa aparat penegak hukum—khususnya jaksa dan penyidik—perlu memiliki jaminan perlindungan hukum agar tidak “dipatahkan” oleh kekuatan non-yuridis. Menurutnya, keberanian jaksa dalam menuntut kasus besar harus dibayar dengan sistem dukungan yang kuat dari negara.
Prof. Barda Nawawi Arief, Guru Besar Universitas Diponegoro, menyatakan bahwa perlindungan terhadap jaksa merupakan bagian dari politik kriminal nasional. Ia menekankan bahwa sistem peradilan pidana (SPP) harus dipandang sebagai satu kesatuan utuh yang tak boleh direduksi hanya pada aspek pidana materiil, tetapi juga mencakup perlindungan fungsional terhadap aparat.
Prof. Andi Hamzah, yang dikenal sebagai “bapak hukum pidana” Indonesia, secara tegas mengaitkan obstruction of justice dengan pelecehan terhadap sistem hukum itu sendiri. Dalam bukunya “Hukum Pidana Indonesia” (2022), ia menulis bahwa penghalangan terhadap proses hukum sama dengan mengganggu kedaulatan hukum—sebuah kejahatan terhadap negara hukum.
Konstitusionalitas Perpres No. 66 Tahun 2025 dalam Pemberantasan Korupsi: Perspektif Hukum Tata Negara
Dalam iklim penegakan hukum yang semakin kompleks, Peraturan Presiden (Perpres) No. 66 Tahun 2025 yang dikeluarkan oleh Presiden Prabowo Subianto tentang Perlindungan Negara terhadap Jaksa dalam Menjalankan Tugas menjadi titik tolak penting dalam penguatan institusi penuntutan umum. Perpres ini memberikan mandat kepada aparatur negara, termasuk unsur militer, untuk menjamin jaksa bebas dari intimidasi maupun tekanan dalam proses penegakan hukum, khususnya dalam perkara tindak pidana korupsi. Namun demikian, keberadaan Perpres tersebut tidak luput dari sorotan para pakar hukum tata negara yang menekankan urgensi uji konstitusionalitas dalam kebijakan publik.
Prof. Jimly Asshiddiqie, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, menyampaikan bahwa dalam kerangka negara hukum konstitusional, perlindungan terhadap jaksa memang merupakan tanggung jawab negara. Namun, ia menekankan bahwa kebijakan seperti Perpres No. 66/2025 tidak boleh melewati batas prinsip supremasi hukum dan checks and balances. Dalam beberapa tulisannya, Jimly menegaskan bahwa kekuasaan eksekutif harus dijalankan dengan akuntabilitas konstitusional. Bila pelibatan TNI tidak dibarengi dengan dasar hukum dari undang-undang, maka dikhawatirkan terjadi overreach kewenangan presiden.
Sementara itu, Prof. Laica Marzuki, mantan Hakim Konstitusi yang dikenal kritis terhadap delegasi berlebihan kekuasaan eksekutif, menyuarakan kekhawatiran serupa. Ia menilai bahwa pelibatan unsur militer dalam pengamanan aparat penegak hukum sipil tanpa mandat legislatif berpotensi menabrak prinsip pemisahan kekuasaan. Laica mengingatkan bahwa Pasal 30 ayat (3) UUD 1945 secara eksplisit menyebut bahwa peran TNI dalam pertahanan negara diatur oleh undang-undang. Artinya, bila pelindungan terhadap jaksa melibatkan TNI, dasar hukumnya seharusnya berupa Undang-Undang, bukan Perpres.
Pandangan yang lebih kontekstual datang dari Prof. Saldi Isra, Hakim Konstitusi aktif sekaligus akademisi dari Universitas Andalas. Menurutnya, perlindungan terhadap aparat penegak hukum, termasuk jaksa, memang penting, terutama di tengah meningkatnya kasus obstruction of justice. Namun, Saldi menekankan pentingnya pendekatan sistemik yang lebih berkelanjutan dan konstitusional. Ia menilai bahwa upaya seperti Perpres seharusnya menjadi bagian dari desain legislasi yang lebih menyeluruh, bukan sekadar produk eksekutif yang rawan digugat dari sisi legalitas.
Ketiga pakar hukum tata negara ini sejatinya satu suara dalam menegaskan bahwa niat untuk melindungi jaksa adalah sah dan bahkan perlu dalam konteks pemberantasan korupsi yang efektif. Namun, mereka menekankan bahwa instrumen hukum yang digunakan harus taat pada prinsip negara hukum dan supremasi konstitusi. Perpres yang lahir dari kekuasaan eksekutif tidak boleh menjadi jalan pintas untuk menambal bolong institusi yang seharusnya diperkuat melalui regulasi primer yang disahkan bersama legislatif.
Dalam penutupnya, para ahli mengingatkan: tanpa landasan konstitusional yang kokoh, niat baik bisa berubah menjadi preseden buruk bagi demokrasi dan supremasi sipil dalam hukum nasional.
Penutup
Dengan menempatkan Perpres 66/2025 dalam perspektif para ahli tersebut, terlihat bahwa upaya perlindungan jaksa bukan hanya persoalan teknis, tetapi menyangkut keberlanjutan sistem peradilan yang adil, merdeka, dan bebas dari intervensi kekuasaan.
Namun demikian, penting ditekankan bahwa perlindungan ini tidak boleh berujung pada pelibatan militer secara berlebihan dalam urusan sipil. Revisi dan evaluasi menyeluruh terhadap implementasi Perpres perlu dilakukan secara berkala dengan keterlibatan publik dan akademisi.
Tanpa penyeimbang yang kuat, perlindungan bisa berubah menjadi alat kekuasaan. Sebaliknya, jika dijalankan dalam kerangka demokratis dan hukum yang tegas, maka Perpres ini akan menjadi batu loncatan menuju peradilan pidana yang berintegritas dan bebas dari intimidasi—suatu syarat mutlak dalam pemberantasan korupsi.
Demikian
Penulis Wakil Sekretaris Bidang Hukum Dan HAM MW KAHMI Sumut
__________
Referensi Buku dan Jurnal Akademik:
1. Asshiddiqie, Jimly. (2005). Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Jakarta: Konstitusi Press.
2. Asshiddiqie, Jimly. (2006). Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press.
3. Marzuki, Laica. (2007). Kedaulatan Rakyat versus Supremasi Konstitusi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
4. Saldi Isra. (2010). Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Fungsi Anggaran dan Pengawasan. Jakarta: Rajawali Pers.
5. Barda Nawawi Arief. (2013). Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan. Jakarta: Prenadamedia Group.
6. Romli Atmasasmita. (2004). Strategi Pemberantasan Korupsi di Indonesia. Bandung: Mandar Maju.
7. Andi Hamzah. (2005). Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
8. Harkrisnowo, Herkristuti. (2021). HAM dalam Perspektif Hukum Pidana. Jakarta: UI Press.
Referensi Peraturan Perundang-undangan:
9. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
10. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI (sebagaimana telah diubah dengan UU No. 11 Tahun 2021).
11. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
12. Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2025 tentang Perlindungan Negara terhadap Jaksa dalam Melaksanakan Tugas.
Referensi Artikel Ilmiah & Laporan Internasional:
13. United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC). (2020). The Role of Prosecutors in Addressing Obstruction of Justice.
14. Transparency International. (2023). Corruption Perceptions Index Report.
15. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (2024). Laporan Tahunan dan Statistik Penindakan.
16. World Justice Project. (2024). Rule of Law Index 2024. Diakses dari https://worldjusticeproject.org
17. Kementerian Sekretariat Negara RI. (2025). Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2025 tentang Pelindungan Negara terhadap Jaksa dalam Melaksanakan Tugas.
Referensi Media dan Opini Hukum:
18. iNews.id. (2025). Jaksa Dilindungi Prajurit, TNI: Aparat Penegak Hukum Dipastikan Bebas Intimidasi. https://www.inews.id/news/nasional/jaksa-dilindungi-prajurit-tni-aparat-penegak-hukum-dipastikan-bebas-intimidasi
19. Kompas.com – Rubrik Opini dan Hukum (berbagai artikel terkait pembatasan kekuasaan eksekutif dan perlindungan aparat hukum).
Posting Komentar
0Komentar