Oleh: Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH. (Ketua Forum Penyelamat USU)
Pendahuluan
Ketika universitas sebagai institusi pencetak akal sehat publik justru dipertanyakan integritas moral pemimpinnya, maka yang terancam bukan hanya reputasi kampus, tetapi juga legitimasi akademik bangsa. Kasus dugaan penyalahgunaan fasilitas negara oleh Rektor Universitas Sumatera Utara (USU) bukan sekadar perkara administratif biasa, melainkan cermin dari rusaknya good governance di lingkungan pendidikan tinggi. Dalam situasi di mana pejabat kampus menempati lebih dari satu rumah dinas dan membangun fasilitas mewah seperti lapangan golf mini tanpa dasar hukum yang jelas, publik patut bertanya: ke mana hilangnya akal sehat birokrasi kampus?
Lebih jauh, diamnya pejabat Humas dan Rektor USU dari sorotan publik menunjukkan bahwa transparansi bukan lagi prinsip utama dalam tata kelola universitas. Padahal sebagai lembaga negara yang dibiayai anggaran publik, setiap inci kebijakan dan penggunaan fasilitas negara wajib dipertanggungjawabkan secara terbuka. Di sinilah peran Majelis Wali Amanat (MWA) diuji: apakah ia sekadar menjadi perpanjangan tangan kekuasaan rektor, atau akan berdiri tegak sebagai penjaga etika dan integritas institusi? Jika tidak ada ketegasan dan sanksi yang jelas, maka yang kita saksikan bukan sekadar penyalahgunaan fasilitas, tetapi juga pengkhianatan terhadap nilai-nilai luhur pendidikan tinggi.
Universitas Sumatera Utara (USU) kembali menjadi sorotan publik. Kali ini bukan karena prestasi akademik, melainkan dugaan penyalahgunaan fasilitas negara oleh Rektor USU, Prof. Dr. Muryanto Amin. Laporan media menyebutkan bahwa rektor diduga menempati tiga unit rumah dinas dan membangun lapangan golf mini di area yang belum jelas statusnya—semua ini di luar ketentuan hukum yang berlaku.
Dalam Permendikbudristek No. 28 Tahun 2021, ditegaskan bahwa pejabat perguruan tinggi hanya berhak atas satu rumah dinas yang melekat pada jabatannya, bukan sebagai kepemilikan pribadi. Penyimpangan dari ketentuan ini bukan hanya pelanggaran administratif, tapi juga bentuk maladministrasi dan potensi gratifikasi, jika terbukti fasilitas tambahan tersebut tidak melalui prosedur negara.
Dugaan Pelanggaran Konstitusi dan Norma Etika
Mengacu pada prinsip akuntabilitas publik yang menjadi dasar penyelenggaraan pemerintahan, tindakan ini tidak bisa dianggap sepele. Dalam konteks akademik, universitas merupakan benteng moral dan titik rujukan integritas publik. Ketika pucuk pimpinannya justru diduga memanfaatkan jabatan untuk memperkaya fasilitas pribadi, ini mencederai etika jabatan dan konstitusi moral kampus.
Dalam banyak tulisannya, Prof. Dr. Ryaas Rasyid, tokoh reformasi birokrasi Indonesia, menekankan bahwa penyelenggara negara harus berdiri dalam koridor hukum dan akal sehat publik. Ia menyatakan bahwa pemegang kekuasaan harus memperlakukan jabatannya sebagai amanah, bukan alat akumulasi kenyamanan. “Pejabat publik adalah pelayan, bukan pemilik negara,” tegasnya dalam berbagai forum akademik.
Fasilitas Negara, Gratifikasi, dan Abuse of Power
Lapangan golf mini yang diduga dibangun di dekat rumah jabatan rektor membuka pertanyaan serius: apakah fasilitas ini dibangun dengan dana negara, sponsor, atau swadaya? Jika pembangunannya tidak melalui prosedur perencanaan dan audit negara, maka hal itu patut diduga sebagai bentuk gratifikasi terselubung, sebagaimana diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Selain itu, penggunaan tiga unit rumah dinas, dengan salah satunya masih merupakan rumah jabatan saat menjabat dekan, dapat ditafsirkan sebagai penumpukan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi. Ini adalah contoh abuse of power, penyalahgunaan jabatan yang kerap terjadi di lembaga negara, termasuk perguruan tinggi negeri berbadan hukum (PTN-BH).
Majelis Wali Amanat dan Tuntutan Etik
Sikap Majelis Wali Amanat (MWA) USU menjadi sangat krusial. Lembaga ini bukan sekadar simbol administratif, melainkan pilar etik dalam tata kelola universitas. MWA wajib bertindak independen dan transparan, tidak bisa hanya bersikap pasif atas desakan publik dan mahasiswa. Dalam paradigma public governance, pengawasan bukanlah tugas reaktif, tetapi responsif, sistemik, dan berbasis bukti.
Sebagaimana ditegaskan Dwight Waldo (1952) dalam The Administrative State, setiap pejabat publik harus mempertanggungjawabkan setiap sumber daya negara yang digunakan, termasuk rumah dinas. Transparansi adalah ruh dari demokrasi, dan jika ini dilanggar di lingkungan universitas, maka generasi muda kita sedang disuguhi ironi intelektual yang menyakitkan.
Ujian Etika di Menara Gading
USU, sebagai universitas tertua di luar Pulau Jawa, memikul beban sejarah dan moral yang besar. Rektor bukan hanya pemimpin administratif, tetapi juga simbol nilai. Ketika pemimpin akademik justru disorot karena dugaan pelanggaran konstitusi dan penyalahgunaan fasilitas negara, maka ini bukan hanya soal hukum, melainkan soal krisis integritas moral.
Sudah saatnya publik, MWA, dan aparat penegak hukum—termasuk KPK—bersinergi melakukan audit menyeluruh terhadap penggunaan rumah dinas, legalitas pembangunan lapangan golf mini, dan pengelolaan Barang Milik Negara (BMN) di lingkungan kampus. Karena jika kampus gagal menjadi teladan, maka kita sedang menanamkan benih pembusukan birokrasi sejak dalam ruang akademik.
Penutup
Kasus dugaan penyalahgunaan fasilitas negara oleh Rektor USU menjadi cermin pahit bagi tata kelola perguruan tinggi negeri di Indonesia. Ketika sosok yang mestinya menjadi panutan moral justru diduga menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi, maka integritas institusi akademik tercoreng dalam-dalam. Tidak ada ruang toleransi bagi praktik-praktik yang melanggar hukum dan etika jabatan di lingkungan pendidikan tinggi, karena dampaknya jauh melampaui kampus dan menyasar ke kepercayaan publik terhadap sistem pendidikan nasional.
Majelis Wali Amanat (MWA) USU harus segera mengambil sikap tegas dan transparan. Tidak cukup hanya sekadar mengeluarkan pernyataan normatif tanpa tindakan nyata. MWA wajib melakukan investigasi independen, membuka akses informasi kepada publik, serta memastikan bahwa aturan dan kode etik ditegakkan secara konsisten tanpa pandang bulu. Kegagalan MWA dalam menjalankan fungsi pengawasan akan menambah daftar panjang kegagalan tata kelola perguruan tinggi yang ironisnya justru berujung pada kerugian rakyat dan bangsa.
Aparat penegak hukum, terutama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), juga harus bergerak cepat dan tegas. Dugaan penyalahgunaan fasilitas negara, gratifikasi, dan pelanggaran pengelolaan Barang Milik Negara di lingkungan USU bukan perkara remeh yang bisa diabaikan. Jika tidak ada sanksi hukum yang memberi efek jera, maka praktik-praktik korupsi di institusi pendidikan akan terus tumbuh subur dan mengikis fondasi moral generasi penerus bangsa. Kampus harus kembali menjadi tempat suci ilmu dan kejujuran, bukan arena kompromi kekuasaan dan penyalahgunaan.
Demikian.
Penulis Advokat Dan Alumni Fakultas Hukum USU Stambuk' 92
_______
Daftar Pustaka:
1. Rasyid, Ryaas. Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000.
2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor.
3. Permendikbudristek No. 28 Tahun 2021 tentang Fasilitas Pejabat PTN-BH.
4. Dwight Waldo. The Administrative State. New York: Ronald Press, 1952.
5. Osborne, David & Gaebler, Ted. Reinventing Government. Addison-Wesley, 1992.
6. NewsRI.id. “Rektor USU Diduga Salahgunakan Fasilitas Negara.” (26 Mei 2025).
Posting Komentar
0Komentar