"Ironi Tanah Negara Bebas: Negara Diam, Tuan Ku Menggugat, dan Citraland Berpesta di Atas Tanah Rakyat"

Media Barak Time.com
By -
0

 


Oleh: Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH (Praktis Hukum)


Pendahuluan 


"Tanah Untuk Rakyat, Tanah Untuk Petani"


Di tengah gembar-gembor program reforma agraria, publik dikejutkan oleh pemberitaan yang memuat ironi akut: PT Ciputra Group lewat proyek Citraland Helvetia, bersama PTPN II, ditengarai tengah membangun hunian elit di atas tanah negara eks-HGU yang justru seharusnya menjadi prioritas redistribusi kepada rakyat.


Alih-alih berpihak pada amanat Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), negara justru diam. Sementara itu, rakyat dan aktivis menggugat, dan “tuan-tuan tanah baru” berpesta pora di atas penderitaan konstituen agraria sejati: petani dan masyarakat adat.


Negara Absen di Tanahnya Sendiri


Tanah seluas lebih dari 5.000 hektare di kawasan eks-HGU PTPN II Helvetia sejatinya telah kembali menjadi tanah negara sejak HGU-nya tidak diperpanjang. Mengacu pada Pasal 18 UUPA dan tafsir Prof. Dr. A.P. Parlindungan, SH dalam Pendaftaran Tanah di Indonesia (1990), tanah eks-HGU yang tidak diperpanjang “wajib dikembalikan ke negara untuk kemudian diberikan kepada yang berhak, terutama petani gurem dan masyarakat sekitar.”


Namun yang terjadi sungguh paradoksal: tanah negara tersebut diolah menjadi properti mewah oleh pengembang swasta, dalam hal ini Citraland, dengan dukungan PTPN II, seolah mereka adalah pemilik sah. Dimana negara? Diam.


Pandangan Ahli Hukum Agraria yang Diabaikan Negara


Konflik agraria yang melibatkan tanah eks-HGU PTPN II dan pengembang swasta seperti Citraland tidak dapat dilepaskan dari pengingkaran terhadap prinsip-prinsip dasar hukum agraria nasional. Para pakar hukum agraria Indonesia telah sejak lama mengingatkan bahwa tanah negara, terutama yang berasal dari HGU yang tidak diperpanjang, bukanlah ruang bebas bagi pasar bebas, melainkan harus tunduk pada mandat konstitusional dan amanat Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960.


Prof. Dr. A.P. Parlindungan, SH, dalam karyanya Pendaftaran Tanah di Indonesia, menyatakan bahwa tanah bekas HGU yang tidak diperpanjang secara otomatis menjadi tanah negara, dan seharusnya didistribusikan dalam kerangka reforma agraria yang adil dan partisipatif. Artinya, lahan-lahan tersebut seharusnya diperuntukkan bagi kepentingan rakyat kecil yang selama ini tidak memiliki akses terhadap tanah, bukan malah dikomersialisasikan oleh korporasi dengan dalih pembangunan.


Lebih lanjut, Prof. Dr. Boedi Harsono, SH, sebagai otoritas hukum agraria nasional, menegaskan bahwa pemanfaatan tanah negara wajib mengedepankan asas keadilan sosial dan prinsip pengelolaan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Beliau mengkritisi praktik pelepasan lahan oleh BUMN seperti PTPN II kepada pihak ketiga tanpa dasar hukum yang jelas dan tanpa keterlibatan masyarakat. Menurutnya, tindakan semacam ini menyimpang dari tujuan UUPA dan merupakan bentuk penyimpangan administratif yang dapat menimbulkan konflik vertikal yang berbahaya.


Sementara itu, Gunawan Wiradi, pelopor kajian reforma agraria di Indonesia, lebih tegas menyebut praktik semacam ini sebagai wujud "neo-feodalisme agraria". Dalam tulisannya Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir, ia mengingatkan bahwa korporasi dan BUMN yang bertindak seolah-olah sebagai tuan tanah kolonial baru adalah ancaman nyata terhadap cita-cita kemerdekaan agraria. Ketika hak-hak rakyat atas tanah dikalahkan oleh kekuatan modal dan relasi kuasa, maka yang terjadi bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi juga kejahatan sosial yang sistematis.


Melalui pandangan para ahli ini, terang bahwa negara telah gagal menjalankan fungsinya sebagai pelindung hak-hak agraria rakyat. Alih-alih menjadi pengatur yang adil, negara justru menjadi fasilitator bagi lahirnya ketimpangan agraria baru. Maka, diamnya negara dalam kasus ini bukanlah kelalaian administratif, melainkan pembiaran yang disengaja atas ketidakadilan struktural yang terus berulang.


Konstitusi dan Negara yang Abai


Jika kita lihat dari sudut pandang hukum tata negara, negara bertanggung jawab atas jaminan keadilan dan kepastian hukum. Prof. Jimly Asshiddiqie dalam bukunya Pengantar Hukum Tata Negara menyebutkan bahwa salah satu ciri negara hukum adalah adanya perlindungan terhadap hak-hak warga, termasuk hak atas tanah.


Prof. Laica Marzuki menyebut ketidakhadiran negara dalam konflik lahan sebagai bentuk “abandonment of constitutional responsibility”, sementara Prof. Saldi Isra menggarisbawahi bahwa negara tidak bisa membiarkan institusi di bawahnya, seperti BUMN, bertindak seolah-olah pemilik mutlak atas tanah negara, tanpa legitimasi konstitusional.


Pesta Pora Pemodal, Dan Ratapan Rakyat


Tanah adalah hak hidup. Ketika ribuan hektare dialihkan untuk membangun hunian elit, sementara rakyat miskin kota dan petani penggarap tidak punya tempat tinggal, maka itu bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi juga pengkhianatan terhadap Pancasila dan konstitusi.


Proyek Citraland Helvetia, Sampali, dan seterusnya adalah cermin telanjang bahwa konsep reforma agraria hari ini hanya menjadi retorika kosong di tengah liberalisasi penguasaan lahan. Ironi tanah negara bebas menjadi narasi tragis saat negara justru abai dan berpihak  kepada pemodal, bukan kepada rakyat banyak sebagai pemilik kedaulatan terhadap Republik Indonesia 


Tuan Ku Menggugat: Tanah di Negeri Sendiri


Dalam pusaran konflik agraria yang semakin kompleks, gugatan hukum yang diajukan oleh Kesultanan Deli terhadap PT Ciputra Development Tbk, PTPN I, dan BPN menjadi penanda bahwa tanah di Indonesia tak lagi menjadi soal administratif semata, melainkan soal sejarah, kedaulatan, dan keadilan. Melalui dokumen hukum Akta van Concessie Helvetia tahun 1882, Sultan Deli menegaskan hak historis atas tanah seluas 6,91 hektare di Helvetia dan 20 hektare di Sampali. Namun, setelah masa konsesi kepada Deli Maatschappij berakhir pada 1957, negara justru menasionalisasikan tanah tersebut berdasarkan UU No. 86/1958, tanpa mempertimbangkan statusnya sebagai tanah bumiputra, bukan aset perusahaan asing.


Gugatan ini bukan hanya soal penguasaan tanah, melainkan juga soal identitas dan penghormatan atas hak adat. Seperti ditegaskan oleh Prof. OK Saidin, tanah konsesi kolonial bukan berarti tanah milik kolonial, melainkan tanah rakyat yang dipinjam pakai. Ketika negara mengabaikan sejarah dan menyerahkan lahan tersebut kepada BUMN lalu dikomersialisasikan kepada korporasi seperti Citraland, maka negara secara langsung telah mengkhianati konstitusi yang menjamin hak atas tanah bagi rakyat Indonesia.


Dengan menggugat negara, Sultan Deli bukan sekadar menuntut tanah, tetapi juga menuntut keadilan sejarah. Negara tidak bisa lagi diam atas praktik manipulatif pengelolaan tanah yang meminggirkan hak adat dan memperkaya segelintir elite. Konflik ini menjadi contoh nyata bagaimana proyek-proyek pembangunan bisa berubah menjadi perampasan jika tidak dilandasi oleh prinsip kebenaran hukum dan sejarah. Dan dalam kasus ini, rakyat dan sultan sama-sama menjadi korban dari pesta agraria yang dinikmati oleh korporasi.


Apa yang Harus Dilakukan?


Negara tidak boleh absen apalagi kalah dalam menegakan hukum dan konstitusi untuk sebesar besarnya keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan rakyat banyak.

Untuk itu atas nama negara dan prinsip kepentingan nasional aktif, maka negara harus melakukan sebagai beeikut


Pertama, negara harus segera melakukan audit agraria nasional secara menyeluruh, terutama terhadap tanah-tanah eks-HGU yang status hukumnya kini rawan disalahgunakan. Audit ini tidak bisa dilakukan secara administratif semata, melainkan harus melibatkan partisipasi publik, masyarakat sipil, akademisi, dan komunitas lokal yang selama ini menjadi korban penggusuran atau marginalisasi. Tanpa audit terbuka dan transparan, praktik manipulasi hukum agraria oleh elite birokrasi dan korporasi akan terus terjadi secara sistemik, seperti yang tampak dalam kasus Citraland–PTPN II.


Kedua, moratorium atau penghentian sementara seluruh bentuk izin pengembangan dan alih fungsi tanah negara yang disengketakan adalah langkah paling mendesak. Negara tidak boleh memberikan ruang legal bagi investasi properti di atas tanah yang secara historis dan sosiologis berakar kuat pada klaim rakyat. Dalam hal ini, tindakan diam negara justru membuka celah bagi lahirnya oligarki pertanahan yang mengancam prinsip-prinsip keadilan sosial dan supremasi hukum.


Ketiga, negara harus menegakkan hukum tanpa pandang bulu terhadap pihak-pihak yang telah mengalihfungsikan tanah negara secara ilegal atau melampaui batas kewenangan. PTPN II dan pengembang seperti Citraland tidak boleh lagi berlindung di balik klausul kerja sama bisnis jika proses peralihan tanah mereka melanggar UUPA atau tidak melewati mekanisme pelepasan hak sesuai aturan yang berlaku. Penegakan hukum di sektor agraria bukan hanya soal legalitas dokumen, tetapi menyangkut tanggung jawab moral dan konstitusional dalam melindungi hak hidup warga negara.


Terakhir, sudah saatnya peran dan mandat BUMN seperti PTPN II dalam pengelolaan tanah dikaji ulang secara fundamental. Jika BUMN justru berubah menjadi aktor kapitalistik yang berselingkuh dengan pengembang untuk mengeruk keuntungan di atas penderitaan rakyat, maka peran strategisnya sebagai alat negara untuk kesejahteraan justru menjadi kontraproduktif. Negara harus memastikan bahwa setiap meter tanah negara dikelola untuk kemaslahatan publik, bukan menjadi ajang pesta pora elite dan investasi yang memperparah ketimpangan agraria.


Penutup


Negara tidak boleh diam, abai apalagi kalah di panggung konflik agraria yang dimainkan para brutus predator tanah untuk kedaulan rakyat. Di atas tanah negara bebas, yang semestinya bebas dari kepentingan elite, kini berdiri gedung megah milik mereka yang menang bukan karena hak, tapi karena kuasa.


Rakyat menggugat secara politik atas kedaulatannya sebagai rakyat  yang merdeka, dan konstitusi bersaksi. Kini, saatnya negara bersikap.


Demikian.


Penulis Advokat Dan Wakil Sekretaris Bidang Hukum Dan HAM MW KAHMI Sumut 

___________


Daftar Pustaka


1. Parlindungan, A.P. (1990). Pendaftaran Tanah di Indonesia. Bandung: Mandar Maju.


2. Harsono, B. (1981). Hukum Agraria Indonesia. Jakarta: Djambatan.


3. Wiradi, G. (2009). Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir. Sajogyo Institute.


4. Asshiddiqie, J. (2006). Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Rajawali Pers.


5. Marzuki, L. (2008). Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia. Jakarta: MK Press.


6. Isra, S. (2017). Negara Hukum dan Demokrasi Konstitusional. Padang: Universitas Andalas.


7. Pasal 33 UUD 1945


8. UUPA No. 5 Tahun 1960


9. Media Online Poros Jakarta,https://www.porosjakarta.com/nusantara/066066825/negara-diam-citraland-dan-ptpn-ii-berpesta-di-atas-tanah-rakyat


10. Republik Merdeka Online, https://rmol.id/nusantara/read/2025/04/07/662211/tanahnya-diserobot-sultan-deli-gugat-ciputra-hingga-ptpn-dan-bpn

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)