Oleh: Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH (Ketua Forum Penyelamat USU)
Universitas Sumatera Utara (USU), institusi pendidikan tertua di Sumatera, kini tidak hanya menjadi sorotan karena prestasinya, tetapi juga karena aroma busuk praktik keuangan yang kian terkuak. Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas pengelolaan dana dan aset USU menyisakan jejak dugaan korupsi yang sistematis. Alih-alih transparan, berbagai upaya justru dilakukan untuk membungkam pihak internal kampus yang mencoba bersuara. Mafia keuangan di USU adalah cermin korupsi struktural di jantung pendidikan tinggi Indonesia.
Jejak Audit dan Laporan BPK
LHP BPK, BPKP, dan audit internal Kemendikbud sejak tahun 2015 hingga 2024 mengungkap pola korupsi berulang di USU, termasuk dana penelitian fiktif, aset hilang, hingga pungutan liar yang melibatkan pejabat kampus. Total kerugian negara mencapai Rp28 miliar, namun tak satu pun pelaku dihukum. Ini menunjukkan bahwa praktik korupsi di USU bukan sekadar pelanggaran, melainkan sudah menjadi kebiasaan buruk yang sengaja dibiarkan.
Pada 2015, BPK menemukan pencairan dana hibah penelitian Rp3,2 miliar tanpa bukti pertanggungjawaban. Delapan tahun kemudian, modus serupa terulang dengan nominal lebih besar, yaitu Rp7,5 miliar yang menguap untuk pembayaran vendor fiktif pada tahun 2022–2023. Kedua kasus ini melibatkan biro keuangan dan rektorat. Meski BPK merekomendasikan pengembalian dana dan sanksi administratif, hingga tahun 2024, dana Rp10,7 miliar tersebut tetap tidak kembali.
Selain itu, gedung laboratorium teknik senilai Rp15 miliar “tiba-tiba muncul” dalam laporan keuangan USU pada 2020 setelah sebelumnya tidak tercatat pada 2018. Namun, audit fisik tidak pernah dilakukan untuk memastikan keberadaan gedung tersebut. Selain itu, 2,5 hektar lahan USU di Medan Tuntungan juga tidak bersertifikat, menambah daftar aset kampus yang bermasalah.
Korupsi Akademik dan Pembiaran Sistemik
Menggunakan pisau analisis theory of organized crime dari Edwin Sutherland, praktik korupsi di USU dapat diklasifikasikan sebagai white-collar crime. Sutherland menyebut bahwa kejahatan kerah putih (white-collar crimes) tidak kalah destruktif dari kejahatan jalanan, karena dilakukan oleh elite dan sering tak terjamah hukum. Dalam konteks USU, pelaku adalah mereka yang menguasai sumber daya, memanipulasi regulasi internal, dan mengendalikan sistem audit.
Lebih lanjut, teori delik jabatan menurut Roeslan Saleh menggarisbawahi bahwa tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik—termasuk pejabat perguruan tinggi negeri—memiliki elemen khusus: penyalahgunaan kekuasaan yang melekat pada jabatannya (abuse of power). Dalam sistem otonomi kampus, kewenangan rektor dan pejabat tinggi universitas sangat besar, namun minim pengawasan eksternal.
Kampus sebagai Medan Kuasa
Foucault (1975) dalam Discipline and Punish menyebut bahwa institusi pendidikan modern merupakan ruang produksi kuasa yang dikemas dalam simbol-simbol moralitas. Maka ketika kekuasaan ini dipergunakan untuk mengakumulasi keuntungan pribadi, bukan hanya dana publik yang dicuri, tetapi juga nilai akademik yang dikhianati.
Tak heran, pembungkaman menjadi strategi utama mafia akademik. Pengungkapan fakta dianggap pengkhianatan. Pejabat yang mengendus praktik kotor diberi "mutasi jabatan", sementara mahasiswa dibungkam dengan ancaman DO. Ini bukan hanya pelanggaran administratif, tetapi juga obstruction of justice.
Tuntutan Transparansi dan Aksi Hukum
Merujuk pada UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, segala bentuk penyalahgunaan kewenangan dan penyimpangan keuangan negara adalah tindak pidana yang harus diproses. Apalagi, dana yang dikelola USU bersumber dari APBN melalui skema PTNBH (Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum).
Pasal 421 KUHP juga menyebut bahwa pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan untuk memaksa seseorang berbuat atau tidak berbuat sesuatu dapat dipidana. Maka pembungkaman terhadap pihak-pihak yang kritis jelas masuk dalam ranah pidana.
Penutup: Melawan dengan Data dan Hukum
Mafia keuangan di USU bukan semata urusan internal kampus. Ini adalah persoalan publik. Jika dunia akademik gagal menjadi ruang akuntabilitas, maka siapa lagi yang dapat dipercaya? Sudah waktunya LHP BPK diusut secara terbuka, pelaku diproses hukum, dan mahasiswa—sebagai korban langsung dari kemiskinan sistemik kampus—diberi ruang untuk bersuara.
Dalam bahasa Mochtar Lubis, intellectual courage adalah keberanian berpikir dan bersuara, bukan berkompromi dengan kemunafikan. USU harus kembali menjadi benteng moralitas, bukan sarang para predator birokrasi.
Demikian
Penulis Sekretaris Umum Badko HMI Sumut Periode 1997-1999 dan Alumni Fakultas Hukum USU Stambuk' 92
_____________
Daftar Pustaka
1. Sutherland, Edwin. (1949). White Collar Crime. New York: Dryden Press.
2. Satjipto Rahardjo. (2006). Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan. Jakarta: Kompas.
3. Roeslan Saleh. (1983). Segi-segi Hukum Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia.
4. Michel Foucault. (1975). Discipline and Punish: The Birth of the Prison. Vintage Books.
5. Undang-Undang RI No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
6. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 421.
7. Laporan Hasil Pemeriksaan BPK atas Universitas Sumatera Utara, Tahun Anggaran 2015–2024.
8. Iskandar Sitorus. (2025, 17 Mei). "USU dan 10 Tahun Korupsi 'Dimaafkan': Laporan BPK Ungkap Penyimpangan Rp28 Miliar." Poros Jakarta.
Posting Komentar
0Komentar