"10 Tahun Temuan BPK: USU Menikmati Cengkeraman Korupsi Sistemik".

Media Barak Time.com
By -
0

 


Oleh : Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH (Ketua Forum Penyelamat USU)


Pendahuluan 


Dalam satu dekade terakhir, Universitas Sumatera Utara (USU), sebagai institusi pendidikan tinggi negeri, tampak berjalan dalam bayang-bayang praktik korupsi sistemik. Laporan hasil pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) secara konsisten mengungkap penyimpangan keuangan dan pengelolaan aset, tetapi tak satu pun yang benar-benar ditindak secara serius oleh penegak hukum. 


Apakah USU telah menjadi lembaga impunitas berjubah akademik? Atau justru menjadi laboratorium praktik korupsi berjaringan dalam sistem birokrasi kampus?



Pola Korupsi yang Berulang


Temuan BPK pada 2015 mencatat pencairan dana hibah penelitian sebesar Rp3,2 miliar tanpa bukti pertanggungjawaban. Delapan tahun kemudian, modus serupa terulang dengan nominal lebih besar, yakni Rp7,5 miliar, yang menguap untuk pembayaran vendor fiktif pada tahun 2022–2023. Kedua kasus ini melibatkan biro keuangan dan rektorat.  


Selain itu, gedung laboratorium teknik senilai Rp15 miliar "tiba-tiba muncul" dalam laporan keuangan USU pada 2020, setelah sebelumnya tidak tercatat pada 2018. Audit fisik terhadap gedung tersebut tidak pernah dilakukan.  


Praktik pungutan liar juga terjadi di Fakultas Kedokteran dan Teknik USU, di mana calon mahasiswa jalur mandiri dipaksa membayar Rp5–15 juta ke rekening panitia seleksi. Audit Kemendikbud tahun 2021 membongkar praktik ini, tetapi pelaku hanya diberi peringatan.  


Analisis Hukum: Korupsi Sistemik yang Terstruktur


Prof. Herkristuti Harkrisnowo, pakar hukum pidana dan mantan Dirjen HAM Kemenkumham, menyebut bahwa “Korupsi di institusi publik seperti perguruan tinggi adalah bentuk penyalahgunaan kewenangan yang paling berbahaya karena menormalisasi ketidakjujuran dalam ruang akademik.”  Hal ini memperkuat gagasan bahwa korupsi di USU bukan insidental, tetapi sudah melembaga. 


Sementara itu, Prof. Barda Nawawi Arief menegaskan, “Korupsi sistemik membutuhkan pendekatan sistemik pula, termasuk penegakan hukum yang konsisten terhadap aktor struktural di lembaga negara, termasuk rektor, dekan, hingga pejabat ULP.” 


Dalam perspektif Prof. Andi Hamzah, korupsi sistemik sering kali tidak terlihat sebagai kejahatan konvensional, sebab dilakukan atas nama kelembagaan: “Kita tak bisa hanya menghukum perorangan, tetapi juga harus membenahi sistem yang memungkinkan korupsi terjadi terus-menerus.” 


Prof. Romli Atmasasmita, tokoh sentral di balik pembentukan KPK, pernah menyebut bahwa pendidikan tinggi yang dikangkangi korupsi merupakan “bom waktu bagi keruntuhan moral generasi bangsa.” 


Audit Forensik: Kebutuhan Mendesak


Indonesian Audit Watch (IAW) merekomendasikan empat langkah radikal untuk membenahi tata kelola di USU: 

1. Audit forensik oleh KPK untuk proyek di atas Rp10 miliar.

2. Digitalisasi aset berbasis blockchain untuk transparansi.

3. Sanksi pidana untuk pelaku pungli dan mark-up.

4. Publikasi LHP 10 tahun terakhir sebagai bentuk akuntabilitas.  


Begitupun, audit forensik bukan sekadar audit keuangan biasa. Ia menelaah indikasi fraud, menyisir rekam jejak transaksi hingga mengidentifikasi aktor intelektual di balik penyimpangan dana publik. Di tengah kerapuhan integritas birokrasi, audit forensik menjadi alat vital pemulihan kepercayaan publik. 


Prof. Desi Adhariani, Guru Besar Tetap Ilmu Akuntansi Pertanggungjawaban Sosial di Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UI, menekankan bahwa: 

> “Dalam lembaga publik, pertanggungjawaban tidak berhenti di angka-angka. Ia harus berlanjut pada akuntabilitas sosial. Audit forensik adalah alat ukur moral, bukan sekadar mekanisme administratif.” 


Bagi Prof. Desi, ketika kampus mengelola dana masyarakat, apalagi dalam jumlah besar, maka tanggung jawab etis dan sosial menjadi bagian integral dari pertanggungjawaban keuangan. Penolakan terhadap audit forensik bukan hanya pelanggaran administratif, melainkan kegagalan moral institusional. 


Namun, hingga kini, terkonfirmasi pihak rektorat USU menolak membuka data dan tidak memberikan klarifikasi atas sembilan pertanyaan kritis yang diajukan oleh media terkait penggunaan dana titipan miliaran rupiah yang tidak jelas, dugaan pemecahan paket pekerjaan untuk menghindari lelang, dan pembayaran remunerasi yang tidak mencapai target kinerja. 


 Obstruction of Justice Karena Tidak Melakukan Audit Forensik


Penolakan atau pengabaian terhadap pelaksanaan audit forensik dalam dugaan penyimpangan anggaran di institusi publik dapat dikategorikan sebagai bentuk obstruction of justice, atau penghalangan terhadap proses hukum. Dalam konteks ini, tidak melakukan audit forensik saat terdapat indikasi kuat pelanggaran keuangan bukanlah sikap administratif yang netral, melainkan tindakan yang berpotensi melanggengkan ketidakadilan dan menutup jalan menuju pembuktian hukum secara transparan dan akuntabel. 


Prof. Romli Atmasasmita, pakar hukum pidana dari Universitas Padjadjaran, menjelaskan bahwa obstruction of justice tidak selalu berupa intervensi langsung terhadap proses pengadilan. Ia juga dapat muncul dalam bentuk penundaan, penolakan, atau kelalaian institusional yang disengaja, yang berdampak pada terhambatnya pengumpulan alat bukti, termasuk audit forensik. Dalam kerangka ini, ketidaksediaan melakukan audit forensik saat publik dan auditor negara telah mengindikasikan adanya penyimpangan adalah bagian dari obstruksi terhadap keadilan. 


Audit forensik bukan sekadar prosedur teknis, tetapi merupakan instrumen pembuktian yang sahih dalam kasus dugaan korupsi dan penyalahgunaan kewenangan. Tanpa audit forensik, aparat penegak hukum kehilangan satu komponen penting dalam membangun konstruksi pidana dan mengidentifikasi aktor intelektual di balik kejahatan keuangan. Maka, menolak atau menghindari audit semacam ini berarti menutup pintu pada kebenaran dan memperlebar ruang impunitas. 


Prof. Romli dalam berbagai forum akademik menyebutkan bahwa di negara hukum, tidak boleh ada lembaga yang menempatkan dirinya di atas prinsip akuntabilitas. 


Begitupun diperkuat Prof. Barda Nawawi Arief, pakar hukum pidana dari UNDIP, menekankan bahwa audit forensik memiliki fungsi pembaruan kebijakan hukum dalam menangani kejahatan ekonomi dan pelanggaran anggaran publik. Sementara Prof. Romli Atmasasmita menegaskan bahwa: 

> “Audit forensik adalah bentuk sinergi hukum dan akuntansi investigatif, yang mampu memutus rantai korupsi di sektor pendidikan.” 

 

Kemunduran Etika Akademik: Kampus Bukan Lagi Lembaga Moral


USU seharusnya menjadi rumah bagi etika dan akal sehat. Namun selama satu dekade terakhir, budaya akademik dirusak oleh kompromi moral. Mereka yang mengkritik dianggap pembangkang, sedangkan pelanggar diberi ruang berkuasa.


Ketiadaan whistleblower protection dan absennya transparansi anggaran membuat dosen dan mahasiswa memilih diam. Audit internal dijalankan dengan konflik kepentingan tinggi, dan peran Majelis Wali Amanat (MWA) lebih sibuk dalam urusan politik rektorat daripada membenahi tata kelola.


Penutup 


Sepuluh tahun temuan serupa membuktikan bahwa korupsi di USU bukan hanya sekadar pelanggaran, melainkan sudah menjadi sistemik. Jika rekomendasi terus diabaikan, kampus tertua di Sumatera ini akan menjadi "laboratorium korupsi" abadi.  


Korupsi sistemik di USU harus dihentikan. Tidak cukup dengan LHP BPK yang disimpan dalam lemari. Harus ada:

1. Audit Forensik Independen terhadap keuangan USU 10 tahun terakhir.

2. Pembentukan Satgas Bersama KPK-BPKP-Kejaksaan untuk menelusuri tindak pidana korupsi.


USU harus kembali pada jati dirinya sebagai institusi moral. Bukan pusat pengelabuan publik yang diam-diam mengabdi pada logika kekuasaan dan uang.


Masih adakah harapan untuk USU?. Ya, jika masyarakat dan mahasiswa berani bersuara. Jangan biarkan kampus kita menjadi "surga" para koruptor. 


Demikian 


Penulis Praktisi Hukum dan Alumni Fakultas Hukum USU Stambuk' 92 

---


Referensi Hukum & Akademik


1. Herkristuti Harkrisnowo. (2011). Hukum Pidana dan Tantangan Demokrasi. Jakarta: Fakultas Hukum UI.


2. Barda Nawawi Arief. (2010). Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan. Jakarta: Kencana.


3. Andi Hamzah. (2005). Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional. Jakarta: Rajawali Pers.


4. Romli Atmasasmita. (2004). Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia dan Penegakan Hukum. Bandung: Mandar Maju.


5. Adhariani, D. (2020). Penguatan Akuntabilitas Sosial dalam Tata Kelola Institusi Publik Pendidikan Tinggi. Seminar Nasional Akuntansi & Bisnis, FEB UI.

(Disampaikan dalam Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap UI, 15 November 2020).


6. Adhariani, D. (2023). Korupsi Akademik dan Krisis Integritas Institusi Pendidikan Tinggi: Tinjauan Akuntabilitas Sosial dan Etika Profesi. Artikel opini dalam Majalah Akuntansi FEB UI.


Referensi Audit dan Investigasi


7. Laporan Hasil Pemeriksaan BPK RI – atas Laporan Keuangan USU Tahun 2015, 2018, 2020, 2023.


8. Laporan Audit BPKP – Kegiatan Dana Riset dan Pengadaan Aset USU 2018–2021.


9. Laporan Audit Internal Kemendikbud Ristek RI – Hasil Pemeriksaan Keuangan Jalur Mandiri PTN 2021.


Referensi Media Investigatif


10.KBA Media online, https://kbanews.com/resonansi/iaw-vs-usu-siapa-takut-audit-forensik/


11. PorosJakarta.com. (2025, 19 Mei). USU dan 10 Tahun Korupsi yang Dimaafkan: Laporan BPK Ungkap Penyimpangan Rp28 Miliar.

https://www.porosjakarta.com/kanal-editorial/066024274/usu-dan-10-tahun-korupsi-dimaafkan-laporan-bpk-ungkap-penyimpangan-rp28-miliar


12. MediaKPK.co.id. (2025, 18 Mei). Audit Forensik untuk USU: Desakan IAW dan Masyarakat Sipil.

https://mediakpk.co.id/2025/05/17/usu-dan-10-tahun-korupsi-dimaafkan-laporan-bpk-ungkap-penyimpangan-rp28-miliar


13. Kompas.com (arsip). (2020). Pendidikan Tinggi dan Problem Tata Kelola Keuangan: Audit, Korupsi, dan Akuntabilitas Publik.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)