Oleh Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH (Praktisi Hukum)
Pendahuluan
> "Tanah untuk rakyat" bukan sekadar semboyan perjuangan, melainkan hak konstitusional yang seharusnya direalisasikan dengan sungguh-sungguh. Namun, di Indonesia, reforma agraria lebih sering menjadi jargon politik daripada kenyataan sosial.
Jalan Sukses Asia Timur
Jepang, Taiwan, dan Korea Selatan adalah contoh nyata negara yang berhasil menyelesaikan reforma agraria dengan pendekatan progresif dan keberpihakan kuat pada petani.
Di Jepang, pasca-Perang Dunia II, General MacArthur mendesain ulang struktur kepemilikan tanah yang sangat timpang. Melalui Land Reform Law 1946, pemerintah Jepang membatasi kepemilikan tanah maksimal 3 hektare per rumah tangga, dan sisanya didistribusikan kepada petani penyewa. Dalam waktu kurang dari 5 tahun, 90% petani telah menjadi pemilik lahan. Hasilnya, konflik agraria turun drastis, produksi pangan naik, dan basis ekonomi rakyat menguat.
Taiwan, di bawah Kuomintang, meluncurkan tiga fase reforma: “Rent Reduction Program (1949), Land to the Tiller (1953), dan Land Value Increment Tax.” Dengan subsidi silang dan kompensasi tunai kepada tuan tanah, pemerintah berhasil mentransfer lebih dari 60% lahan pertanian kepada petani kecil. Ketimpangan menurun, dan Taiwan pun melesat dalam pembangunan ekonomi berbasis pertanian industrial.
Korea Selatan pun menerapkan reforma agraria radikal pada 1950. Melalui Land Reform Act, kepemilikan tanah dibatasi 3 hektare, dan pemerintah secara aktif mengambil alih tanah untuk didistribusikan kepada petani. Kebijakan ini turut membentuk stabilitas sosial-politik yang menjadi pondasi industrialisasi Korea pada dekade 1960–1980.
Indonesia: Mandek di Antara Retorika dan Konflik
Di Indonesia, reforma agraria seharusnya sudah menjadi prioritas sejak diterbitkannya UUPA No. 5 Tahun 1960 yang mengatur bahwa tanah dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Namun, kenyataannya, sejak era Orde Baru hingga pasca-Reformasi, pelaksanaan reforma agraria berjalan di tempat.
Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) tahun 2023 menunjukkan bahwa:
Terdapat 2.710 konflik agraria sepanjang 2015–2023.
Luas konflik mencapai lebih dari 2 juta hektare.
Sebanyak 67% konflik melibatkan korporasi (perkebunan, tambang, dan properti) dan masyarakat adat atau petani.
Program reforma agraria yang dicanangkan dalam Nawacita Jokowi sejak 2014 menargetkan redistribusi 9 juta hektare lahan. Namun realisasi aktual hingga 2023 hanya sekitar 1,5 juta hektare (Kementerian ATR/BPN), itupun sebagian besar berupa legalisasi aset, bukan redistribusi lahan dari pemilik besar ke petani kecil. Artinya, struktur ketimpangan agraria tetap tidak berubah.
Mengapa Indonesia Tertinggal?
Secara teoritis, ketertinggalan Indonesia dapat dijelaskan lewat teori ketimpangan struktural (structural inequality). Seperti dikemukakan oleh James C. Scott (1985), keberhasilan reforma agraria mensyaratkan:
1. Kekuatan politik petani.
2. Negara yang otonom dari oligarki tanah.
3. Kerangka hukum progresif dan tegas.
Sayangnya, ketiganya tidak sepenuhnya dimiliki Indonesia. Petani dan masyarakat adat seringkali tak memiliki representasi politik yang kuat. Negara justru kerap bersekutu dengan korporasi besar, dan kerangka hukum reforma agraria berjalan lemah. UU Cipta Kerja bahkan dikritik karena mengancam eksistensi hak-hak komunal dan mempercepat liberalisasi tanah.
Para Ahli Agraria: Pelaksanaan Reforma Agraria Menjadi Keniscayaan Penyelesaian Konflik Tanah Yang Berkepanjangan
Konflik agraria di Indonesia telah berlangsung selama puluhan tahun tanpa penyelesaian menyeluruh. Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat bahwa sepanjang 2023, terjadi lebih dari 200 konflik agraria baru, melibatkan lebih dari 100 ribu keluarga petani dan masyarakat adat. Akar masalahnya tetap sama: ketimpangan penguasaan tanah yang ekstrem dan kegagalan negara dalam melaksanakan reforma agraria sesuai mandat UUPA No. 5 Tahun 1960.
Prof. A.P. Parlindungan Lubis, SH, pakar hukum agraria dari Universitas Sumatera Utara, sejak awal telah menegaskan bahwa hukum agraria nasional haruslah menjadi alat rekayasa sosial untuk menciptakan keadilan ekonomi. Dalam beberapa kuliah umumnya, ia menyebut bahwa “ketimpangan tanah adalah wajah konkret ketidakadilan struktural yang dilanggengkan oleh kegagalan negara dalam menerjemahkan amanat UUPA ke dalam kebijakan nyata.” Negara, menurut beliau, tidak cukup hanya membagikan sertifikat, tetapi harus melakukan perombakan sistem kepemilikan, penguasaan, dan penggunaan tanah secara berkeadilan.
Sementara itu, Prof. Budi Harsono, penulis Hukum Agraria Indonesia yang menjadi rujukan utama kajian agraria nasional, mengingatkan bahwa UUPA adalah titik balik dari sistem hukum kolonial ke sistem nasional yang berbasis keadilan sosial. Dalam pandangannya, reforma agraria bukan hanya redistribusi tanah, melainkan bagian dari penataan ulang seluruh sistem agraria agar sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945 yang menegaskan bahwa bumi dan kekayaan alam digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Namun, implementasi di lapangan justru menyimpang dari semangat para founding fathers hukum agraria tersebut. Program Reforma Agraria Nasional (RAN) yang dicanangkan pemerintah lebih condong pada legalisasi aset ketimbang redistribusi tanah. Ini dikritik banyak ahli sebagai pendekatan “administratif”, bukan “transformasional”. Prof. Budi Harsono menegaskan, “Jika reforma agraria hanya dimaknai sebagai program sertifikasi, maka negara sedang mengelabui rakyatnya dengan formalitas yang memperkuat status quo.”
Serikat Petani Indonesia (SPI) turut memperkuat kritik ini, menyatakan bahwa hingga hari ini, negara belum pernah benar-benar melaksanakan reforma agraria sesuai UUPA 1960, yang mengamanatkan pembatasan penguasaan tanah, pembatalan hak-hak yang bertentangan dengan kepentingan umum, serta pemberian tanah kepada petani gurem dan buruh tani.
Reforma agraria sejati adalah proyek politik bangsa—bukan sekadar program pemerintahan. Ia harus memutus dominasi oligarki tanah, menata kembali relasi kuasa di pedesaan, dan mengembalikan tanah kepada yang mengolahnya. Tanpa keberanian untuk menuntaskan amanat UUPA dan meneladani visi tokoh-tokoh seperti Prof. Budi Harsono dan Prof. A.P. Parlindungan, Indonesia akan terus terjebak dalam pusaran konflik, kriminalisasi petani, dan ketimpangan agraria yang menjadi bara sosial yang membara.
Serikat Petani Indonesia: Reforma Agraria Indonesia Belum Sesuai UUPA 1960
Menurut Serikat Petani Indonesia (SPI), hingga hari ini Indonesia belum benar-benar melaksanakan reforma agraria sejati sebagaimana mandat konstitusional yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960. SPI menegaskan bahwa reforma agraria bukan sekadar program distribusi tanah sempit atau legalisasi aset eks-HGU, melainkan perombakan struktural penguasaan tanah dari yang timpang ke adil.
> “Reforma agraria yang terjadi hari ini adalah semu, karena justru memperkuat kepemilikan besar dan mengkriminalisasi petani,” ujar Henry Saragih, Ketua Umum SPI (2023).
UUPA 1960 menegaskan bahwa:
1. Tanah dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat.
2. Pembatasan maksimum dan minimum pemilikan tanah harus diterapkan.
3. Redistribusi tanah harus dilakukan untuk petani tak bertanah.
Namun, dalam praktiknya, Pasal 7 tentang pembatasan luas tanah nyaris tak dijalankan. Pasal 17 tentang pembagian tanah secara adil terhenti di meja birokrasi. Bahkan, melalui instrumen seperti UU Cipta Kerja, penguasaan tanah oleh korporasi justru semakin diperluas melalui skema Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) jangka panjang.
Dalam catatan SPI Terkait penguasan lahan sebagai berikut:
1. Sebesar 83% tanah pertanian nasional hanya dikuasai oleh 3% rumah tangga (data SPI, 2023).
2. Lahan seluas 8,2 juta hektare diduga dikuasai oleh korporasi besar perkebunan sawit.
Ribuan petani menjadi korban kriminalisasi melalui tuduhan "perambahan" atau "pendudukan liar".
A. Reforma Agraria Sejati Menurut SPI
Menurut SPI, reforma agraria sejati mencakup:
1. Pengambilalihan tanah-tanah terlantar dan korporasi besar untuk didistribusikan kepada petani.
2. Pengakuan hak ulayat masyarakat adat secara penuh.
3. Penguatan koperasi tani dan kedaulatan pangan.
4. Pembatalan UU yang kontra-UUPA 1960, seperti UU Cipta Kerja dan beberapa revisi sektoral kehutanan dan pertambangan.
B. Sertifikasi Tanah Bukan Reforma Agraria
Gunawan Wiradi, ahli agraria Indonesia, dalam berbagai risetnya menyebutkan bahwa ketimpangan struktur agraria Indonesia adalah warisan kolonial yang tak tersentuh oleh kebijakan pascarevolusi. Ia menekankan, "Reforma agraria adalah syarat mutlak bagi transformasi sosial; tanpa itu, kemiskinan struktural di pedesaan tak akan pernah bisa dihapus."
Wiradi mengkritik praktik sertifikasi tanah pemerintah yang disamakan dengan reforma agraria. “Sertifikat bukanlah reforma agraria,” tegasnya. Reforma agraria sejati mencakup redistribusi tanah secara adil, pengakuan hak-hak rakyat, dan pembatasan penguasaan tanah oleh korporasi.
C. Jalan ke Depan: Belajar dari Asia Timur
Negara-negara di Asia Timur seperti, Jepang pasca-1946 memaksa tuan tanah menjual tanahnya kepada negara yang kemudian didistribusikan ke petani.
Kemudian Taiwan menciptakan program “Land to the Tiller” yang menghapus sewa tanah dan memberi kepemilikan penuh kepada penggarap.
Selanjutnya Korea Selatan melakukan reformasi tanah pasca-Perang Korea dengan dukungan politik dan administratif penuh dari negara.
Ketiga negara tersebut berhasil karena memahami bahwa reforma agraria bukan hanya kebijakan pertanahan, tetapi fondasi dari keadilan sosial dan pembangunan ekonomi jangka panjang.
Indonesia perlu belajar dari Asia Timur bahwa keberhasilan reforma agraria menuntut:
1. Kemauan politik yang tegas memihak rakyat kecil.
2. Redistribusi tanah nyata bukan sekadar legalisasi.
3. Perlindungan hukum atas hak tanah masyarakat adat dan petani.
4. Penguatan institusi agraria yang bebas dari intervensi oligarki.
Tanpa keberpihakan itu, reforma agraria hanya akan menjadi proyek administratif, bukan agenda keadilan sosial.
Penutup
Reforma Agraria adalah Agenda Keadilan Tanpa reforma agraria sejati, Indonesia akan terus menjadi ladang konflik. Pendapat Gunawan Wiradi, Budi Harsono, dan Parlindungan Lubis menunjukkan bahwa konflik tanah bukan soal teknis, tapi soal keberanian politik dan visi keadilan.
Reforma agraria bukan hanya tuntutan sosial, tetapi keniscayaan konstitusional dan jalan untuk mengembalikan tanah kepada rakyat yang mengolahnya. Tanpa itu, janji kemakmuran hanya akan menjadi retorika dalam bayang-bayang oligarki agraria.
Ketika Jepang, Taiwan, dan Korea Selatan telah menutup babak konflik agraria melalui redistribusi tanah yang menyeluruh, Indonesia justru berputar-putar dalam sengkarut legalitas, korporatisasi, dan minimnya kemauan politik. Seolah-olah pemerintah menikmati konflik pertanahan yang begitu panjang dan jatuhnya korban dipihak rakyat.
Serikat Petani Indonesia mengingatkan bahwa tanpa melaksanakan reforma agraria sesuai amanat UUPA 1960, keadilan sosial dan kedaulatan pangan hanya akan menjadi mimpi di atas kertas.
Demikian
Penulis Ketua Pusat Bantuan Hukum Petani DPW SPI Sumut Dari Tahun 2009-2014, dan Tenaga Ahli Komisi 2 DPR RI dari anggota DPR Fraksi P. Gerindra Dari 2014-2019
__________
Referensi:
1. Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 (UUPA)
– Dasar hukum reforma agraria Indonesia yang mengatur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah secara adil.
2. Scott, J.C. Weapons of the Weak: Everyday Forms of Peasant Resistance. Yale University Press, 1985.
3. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). “Catatan Akhir Tahun 2023.”
4. Hayami, Y. & Kikuchi, M. Asian Village Economy at the Crossroads. University of Tokyo Press, 1981.
5. Serikat Petani Indonesia (SPI)
– Laporan dan siaran pers SPI terkait reforma agraria, ketimpangan kepemilikan tanah, dan kriminalisasi petani.
Lihat: https://spi.or.id
6. Badan Pertanahan Nasional (BPN)/ATR – Data Program Reforma Agraria 2015–2024
– Laporan tahunan dan data capaian redistribusi tanah dan legalisasi aset.
7. Satjipto Rahardjo (2006) – Hukum Progresif: Hukum untuk Manusia
– Perspektif kritis terhadap stagnasi penegakan hukum agraria dan pentingnya pendekatan keadilan substantif.
8. Gunawan Wiradi. Reforma Agraria, Perjalanan yang Tak Kunjung Usai. Jakarta: LP3ES, 2009.
(Analisis mendalam tentang kegagalan struktural reforma agraria di Indonesia dan perbandingannya dengan negara Asia Timur.)
9. Prof. Budi Harsono. Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta: Djambatan, 2003.
(Uraian teoretis dan historis tentang UUPA 1960 dan kerangka hukum agraria nasional.)
10. Prof. A.P. Parlindungan Lubis, SH. Hukum Agraria Nasional: Sebuah Refleksi Kritis. Medan: USU Press, 1995.
(Refleksi terhadap politik hukum agraria dan persoalan keberpihakan negara.).
11. Kementerian ATR/BPN. “Laporan Capaian Reforma Agraria 2015–2023.”
12. World Bank. Land Governance Assessment Framework: Indonesia. 2021.
13. Food and Agriculture Organization (FAO) – Land Tenure and Rural Development (2002)
– Rujukan standar untuk prinsip reforma agraria berbasis keadilan sosial dan kedaulatan pangan.
Posting Komentar
0Komentar