Oleh Wan Ades Iskandar Nan Sakti
(Ketua KJ-SWIB Labusel)
Rasa keingin tahuan kami tentang kisah tentang seorang ulama bernama Lobe
Puji yang bermukim di Payamombang membawa tim menelusuri sebuah kampung yang
dahulunya sangat populer di masa sultan Mustafa II bergelar Makmur Perkasa
Alamsyah (Sultan ke XI). Beliau (Lobe Puji) di masa Kesultanan Kota Bahren
sangat dekat dengan Sultan. Kedekatannya itu tidak diragukan lagi, salah
satunya adalah saat ada kenduri di istana, sebelum Lobe Puji datang maka sultan
tidak akan memulai acara kenduri itu sampai datangnya Lobe Puji.
Kisah ini bermula saat penulis ketemu dengan seorang sahabat bernama Ardan
Harahap dan beliau menceritakan bahwa di kampungnya ada makam tua dan makam 7
meter. Sekilas dia ceritakan kepada penulis. Akhirnya pada waktu yang
ditentukan kami bergerak ke sana untuk sekedar berdiskusi dengan orang-orang
tua yang ada di sana.
Sesampainya di Payamombang saya kebetulan di temani Iqra Harahap (Ketua
bidang Sejarah KJSWIB), kami disambut hangat oleh tokoh masyarakat yang ada
disana. Yang membuat kami terharu atas sambutan itu adalah kami tidak boleh
melakukan riset sebelum makan dahulu. Sungguh luar biasa penyambutannya”
bathinku kala itu.
Di rumah Ardan Harahap telah ada Herman Siregar (44 tahun), Mahyudin
Sitorus (61 tahun) dan Kh. Sobar Siregar (73 tahun).
Saat diskusi ringan itu Kh. Sobar Siregar, Mahdiyan Sitorus dan Herman
Siregar menceritakan tentang kisah Payamombang. Bahwa nama Payamombang berasal
dari kata Paya (rawa-rawa) dan Mambang (terapung). Konon dimasa itu di wilayah
payamambang terhampar luas rawa-rawa, bahkan kampung itu hampir di kelilingi
rawa-rawa yang terbentang sejauh mata memandang. Menurut Kh. Sobar Siregar yang
mendapat cerita dari leluhurnya konon Saat
warga ingin menyeberang, rawa-rawa itu seakan tahu kalau ada warga yang ingin
menyeberang. Perlahan-lahan rawa itu bergerak mengambang dan sejajar dengan
daratan. Barulah warga melintas diatas rawa-rawa tersebut. Sehingga sejak itu
nama payamombang menjadi melekat di hati masyarakat, begitulah terus menerus
keajaiban terus terjadi.
.
Masih menurut Kh. Sobar Siregar bahwa Nama payamambang yang menamai pertama
kali adalah sultan mustafa 2, Sultan kotapinang ke 11. Sultan Mustafa juga
menyebut payamambang dengan sebutan tanah 1000, sebab Sultan menghibahkan 1000
ha tanah kepada masyarakat setempat dan menjadi hak ulayat mereka secara turun
temurun. Namun lahan yang 1000 ha itu sebagian sudah dikuasai Lonsum Sei Rumbia
di masa pembangunan perkebunan karet oleh Belanda saat itu.
“Dulu ada perjanjian Sultan dengan Belanda yang berkaitan dengan lahan yang
1000 ha itu, namun bukti perjanjian itu ditanam Belanda yang disaksikan
orang-orang tua di zaman itu dalam sebuah baki kaca di bawah sebuah pohon asam
jawa sebagai tanda bahwa di areal itu ditanaman sebuah perjanjian yang sangat
berharga. “ jelas Kh. Sobar Siregar.
Ironisnya...perjanjian yang di tanam di areal yang sekarang lokasi makam
leluhur mereka di kampung payamombang lama belum juga ditemukan, bahkan sudah
menggunakan orang pintarpun perjanjian berharga itu tidak juga ditemukan.
Kenapa berharga?
Menurut Kh. Sobar Siregar bahwa isi perjanjian itu menurut leluhurnya
adalah sebuah perjanjian antara leluhur kampung dan belanda atas tanah seluas
1000 ha yang telah di hibahkan Sultan. Sebab diperjanjian itu pihak Belanda
hanya sifatnya meminjam untuk mengelolah tanah agar dijadikan perkebunan
karet.”Makanya kami berharap surat perjanjian itu bisa di temukan agar tanah
kami yang telah di serobot PT. Lonsum bisa kembali lagi pada masyarakat ulayat
Payamombang.”tegasnya.
Payamambang juga disebut Sultan sebagai kotapinang Kedua. hal ini
dikarenakan bahwa payamambang banyak memberikan konstribusi kepada kesultanan
kotapinang kala itu, seperti ulama2 yang handal, tempat mencetak qori (hal ini
sangat beralasan karena dalam setiap event tilawah yang di adakan kesultanan
tetap Payamambanglah sebagai juaranya.), tempat mencetak jawara-jawara yang
dipersiapkan sebagai hulubalang di kesultanan kotapinang
Kalau sudah jawara-jawara payamombang keluar dapat dikatakan tidak ada yang
mampu melawan kesaktian mereka. Hal ini yang membuat Sultan bangga dengan
payamombang saat itu karena Payamombang merupakan aseet.
Setelah diskusi dengan para tokoh Payamombang, kamipun melanjutkan
perjalanan menelusuri makam-makam tua yang ada di sana yang ditemani Herman
Siregar dan Ardan Harahap. Mulai dari Makam Lobe Puji, makam 7 meter dan
terakhir ke makam leluhur mereka di kampung lama Payamombang. Sebab
perkampungan Payamombang sudah tiga kali berpindah terhitung sejak di kampung
lama dan sampai dengan kampung yang saat ini mereka diami. Menariknya lagi saat
kami di kampung pertama Payamombang atau kampung lama, kami lihat masih ada
tapal batas yang di buat Belanda masih terpancang sampai sekarang dan makam
para leluhur mereka yang sudah tidak terurusa lagi. Kami mencoba mencari pohon
Asam jawa yang dikatakan Kh. Sobar Siregar sebagai lokasi tempat menanam baki
kaca tempat tersimpannya perjanjian Belanda dan Masyarakat Payamombang. Namun
semua lokasi yang kami telusuri telah berubah menjadi ladang/perkebunan sawit
milik masyarakat. Di lokasi itu hanya menyisakan sekitar 5 makam tua yang sudah
tidak terurus lagi dan bahkan jarang di ziarahi oleh masyarakat setempat.
Di Kampung lama inilah akhir dari penelusuran kami berakhir, karena waktu
sudah hampir magrib dan kami harus kembali ke Kotapinang. Karena kondisi jalan
yang kurang bagus bahkan hampir tidak pernah tersentuh pembangunan dari
Pemerintah membuat Payamombang menjadi kampung yang terisolir. Padahal
dahulunya kampung ini merupakan kampung kebanggaan Sultan sebab banyak mencetak
ulama dan jawara kala itu. Semoga Pemkab Labuhanbatu Selatan bisa melirik dan
menaruh perhatian serius atas sarana dan prasarana insfrastruk yang menuju
kampung Payamombang agar kampung itu tidak terisolir seperti saat ini.
Wallahu’alam.
Posting Komentar
0Komentar