Hampir sekira sebulan yang lalu (10/11), kami menyempatkan diri untuk melakukan ekspedisi menuju daerah bekas kerajaan-kerajaan bawahan dari Kesultanan Kota Pinang, terkhusus yang berada di daerah terluar kesultanan. Ekspedisi kami arahkan menuju sebuah kampung kecil bernama Dusun Siborangan. Dusun ini terletak di jalan lintas Rantauprapat - Janji Manahan. Dusun ini masuk kedalam wilayah administratif Desa Tanjung Siram, Kec. Bilah Hulu, Kab. Labuhanbatu. Dusun ini terbagi menjadi dua bagian, yang dipisahkan oleh sungai kecil bernama Aek Nahula, yang bermuara ke Sungai Kanan. Bagian pertama yakni kampung lama yang dari jalan lintas posisinya sedikit keluar dari jalan lintas, dan berada di atas bukit. Sedangkan bagian keduanya merupakan kampung baru yang posisinya di pinggir jalan lintas dan dekat dengan Sekolah Dasar.
Lokasi kampung lama cukup mencuri
perhatian kami. Posisinya tak banyak berubah dari yang ada di peta era kolonial
yang kami miliki. Wajar saja, Siborangan sendiri merupakan salah satu kerajaan
di bawah Kesultanan Kota Pinang yang rajanya diperkirakan bermarga Dasopang.
Kemudian kami bergerak untuk
mewawancarai beberapa orang warga yang kami harap mampu menceritakan mengenai
Dusun Siborangan di Era Prakemerdekaan. Namun begitu sulitnya menemukan
informasi yang kami cari mengingat banyaknya warga yang mampu menceritakan hal
tersebut yang telah wafat. Beberapa tetua yang kami wawancarai pun tak mampu
menceritakan dan mengaku mereka merupakan pendatang di dusun ini (datang
setelah era kemerdekaan). Adapun yang dapat mereka ceritakan yakni mengenai
legenda Datu Nalobi Dasopang Banualahi yang memang ceritanya cukup familiar di
kalangan masyarakat bermarga Dasopang. Hingga suatu kesempatan saya bertanya
mengenai situs yang memiliki nilai sejarah di daerah ini, salah seorang tetua
menyebutkan makam Jamalungun dan sedikit kisahnya.
KISAH JAMALUNGUN
Tetua tersebut menceritakan kisah
Jamalungun. Alkisah Jamalungun merupakan salah seorang raja yang memerintah di
Siborangan dan sekitarnya. Beliau merupakan orang yang sangat sakti dan
memiliki ukuran badan yang sangat tinggi, yang sangat berbeda dari lazimnya
ukuran badan masyarakat saat itu. Hingga suatu ketika beliau bertemu dengan
seorang gadis yang rupawan dan jatuh hati dengannya.
Begitu terpananya, Jamalungun hendak
menemui ayah dari sang gadis untuk meminang putrinya. Ketika bertemu dengan
sang ayah, Jamalungun terkejut bahwa orang yang dijumpainya adalah sesosok
makhluk halus (begu). Jamalungun juga tak menyangka bahwa selama ini dirinya
terpikat dengan seorang jelmaan begu. Namun kenyataan ini tak menyurutkan niat
Jamalungun untuk memperistri gadis pujaan hatinya.
Niat ini hampir kandas dengan jawaban
sang ayah yang sama sekali putrinya tak ridho untuk dinikahi oleh manusia.
Pernikahan antar ‘makhluk’ dianggap sang ayah tak etis dan dapat mendatangkan
kesialan di kemudian hari. Jamalungun yang hatinya telah dibutakan oleh cinta
terus memperjuangkan cintanya hingga berujung pada pertempuran. Maka terjadilah
pertempuran antara pasukan manusia, yang dipimpin oleh Jamalungun, dengan
pasukan begu, yang dipimpin oleh ayah sang gadis.
Pertempuran heroik yang cukup berdampak
pada kehilangan nyawa dan materi, akhirnya dimenangkan oleh Jamalungun. Jamalungun
berhak memperistri putri dari sang begu dan bersumpah untuk tidak mengizinkan
istrinya untuk pulang bahkan sekedar menjumpai ayahnya. Tidak diketahui lagi
bagaimana kelanjutan kisah mereka. Bahkan mengenai kisah mengapa beliau dinamai
“Jamalungun” tidak diketahui.
Hingga di kemudian hari, sampailah ajal
Jamalungun. Beliau dimakamkan bersama keris, pernak-pernik dan anjing
kesayangannya dalam satu liang kubur. Ada satu anekdot yang berkembang di
masyarakat Siborangan mengenai Jamalungun. Meskipun makamnya terlihat panjang
(pengukuran kasar dari Tim Ekspedisi makam berdimensi 12x8 meter), ukuran badan
Jamalungun sangat tinggi hingga beliau sendiri harus dikubur dalam posisi
dilipat-lipat agar muat di dalam kuburan. Sumber lain juga menyatakan makam Jamalungun
tidak digali, melainkan dibuat urukan tanah yang tinggi sehingga terlihat
seperti bukit. Baru beberapa tahun belakangan ada warga yang berinisiatif untuk
memberi keramik di tepian makam.
PERAN MAKAM JAMALUNGUN SEBAGAI TAPAL
BATAS KESULTANAN KOTA PINANG
Kami sendiri sebenarnya sudah cukup lama
memperhatikan keberadaan makam ini, melalui peta era kolonial yang kami miliki.
Kami cukup terusik mengenai apa hal yang istimewa pada makam ini sehingga
disebutkan dalam peta tersebut. Kemudian kami mencoba melakukan penelitian
literatur dan didapatkanlah bahwa makam ini dulunya sempat menjadi penanda
(tapal) batas antara kerajaan-kerajaan yang berada di daerah tersebut.
Sampai tahun 1881, tidak ada batas yang
jelas mengenai antara Kesultanan Kota Pinang (di daerah bawahannya, Kerajaan
Siborangan) dengan Kerajaan Si Langge (kerajaan kecil di bawah pemerintahan
Hindia Belanda langsung). Terjadi saling klaim di sana sini sejak era Sultan
Mustafa Gelar Yang diPertuan Besar Kota Pinang dengan Sutan Muda dari Si Langge.
Persengketaan ini berlanjut sampai mangkatnya Sultan Mustafa dan digantikan
oleh Sultan Ismail Yang diPertuan Nansati.
Kemudian oleh kedua kerajaan ini
dibawalah kasus persengketaan ini ke Pemerintah Hindia Belanda di Batavia dan
pada tanggal 29 Oktober 1881 dikeluarkanlah Gouvernementbesluit (Peraturan
Pemerintah) No 25 Tahun 1881 yang isinya kira-kira berbunyi: “ Batas antara Si
Langge dan Kota Pinang, dimulai dari Binanga Sipaung di hulu Sungai Kanan,
garis lurus menuju ke timur laut sampai ke hulu Aek Sosopan. Kemudian menyusuri
hilir Aek Sosopan ke timur sampai muaranya di Aek Nail (Janji Manahan). Dari
Janji Manahan menyusuri perbukitan yang baru dibuat jalan menuju arah utara
sampai ke MAKAM JAMALUNGUN. Dari makam Jamalungun ditarik garis lurus ke barat
laut menuju kampung Cita Kesandung. Kemudian dari kampung Cita Kesandung
ditarik garis lurus ke timur laut menuju kampung Aekbatu. Dari kampung Aekbatu
ditarik garis lurus ke arah barat laut menuju Tor Jaginendangan dan berhenti di
situ.” Tor Jaginendangan sendiri merupakan titik temu batas antara Kesultanan
Kota Pinang, Kerajaan Si Langge dan Kerajaan Simundol.
Maka di sini dapat disimpulkan bahwa
Makam Jamalungun selain memiliki kisah menarik di dalamnya, juga berfungsi
sebagai tapal batas antara Kesultanan Kota Pinang melalui daerah bawahannya
Kerajaan Siborangan dan Kerajaan Si Langge.
Referensi:
Posting Komentar
0Komentar