Oleh : H. Dadang Darmawan Pasaribu,
M.Si
Secara philosofis,
bangsa Indonesia sepakat bahwa nilai-nilai luhur yang utama, yang diyakini
telah lama hidup, tumbuh, dan kembang dilingkungan pergaulan bangsa Indonesia
ada lima yaitu ketuhanan, kemanusiaan yang beradab, kebangsaan, musyawarah dan
keadilan. Sebagaimana bangsa-bangsa di Timur lainnya, para leluhur bangsa sudah
terbiasa hidup dengan menjunjung tinggi ajaran-ajaran Tuhan yang kuasa baik
perintah maupun larangan-Nya, begitu juga hidup dengan perilaku yang menjunjung
tinggi keadaban, hidup dengan perasaan gotong royong, senasib dan
sepenanggungan, hidup dengan selalu mengedepankan musyawarah dalam mengambil
keputusan, dan hidup dengan adil bagi sesamanya dan juga bagi semuanya.
Adapun tentang perbedaan keyakinan, etnis, maupun kedaerahan, secara arif
dan bijak bangsa-bangsa di Nusantara mengakui bahwa bangsa Indonesia sejak
dahulu kala telah hidup dengan pelbagai perbedaan identitas baik perbedaan dari
sisi keyakinan, etnis, maupun kedaerahan. Namun, perbedaan itu tidak lantas
menjadikan mereka lemah. Malahan perbedaan itu dipandang sebagai sunatullah
(kealamiahan), yang diyakini justru sebagai kekuatan bagi bangsa Indonesia
untuk bersatu, bukan malah menjadi batu sandung dan perpecahan. Perbedaan
keyakinan, relijiusitas, suku dan daerah adalah hal yang diterima dengan
lapang-dada dan kemudian di jadikan konsensus untuk seterusnya diletakkan
sebagai nilai dasar dan falsafah dasar bangsa.
Pertanyaannya, ada apa dengan Pancasila sebagai falsafah dan dasar negara
saat ini? Mengapa politik identitas semakin menguat di Indonesia?
Terdapat dua alasan mengapa Pancasila sebagai falsafah tidak lagi digunakan
sebagai penuntun dan begitu juga sebagai dasar negara tidak lagi digunakan
sebagai sumber aturan yang mengikat bangsa Indonesia. Pertama adalah karena
alasan situasi dan kondisi di dalam negeri, kedua, karena alasan pengaruh dari
luar negeri.
Masalah Dari Dalam
Dari kondisi dalam negeri, yang krusial ada pada internalisasi (penanaman,
penjiwaan) nilai-nilai Pancasila dalam kesadaran bangsa Indonesia. Sejak
merdeka, proyek pertama dan yang utama pembangunan bangsa mestinya adalah
internalisasi (penanaman, penjiwaan) nilai-nilai Pancasila dalam kesadaran
bangsa Indonesia. Mengapa? Sebab penanaman nilai luhur (dasar) adalah laksana
menanam pohon, jika bibit yang ditanamkan tidak tumbuh, maka jelas tidak akan
ada hasil yang akan dipetik dan dinikmati.
Jika nilai luhur/dasar gagal disemai dan tumbuh dalam kesadaran bangsa
Indonesia, maka tidak ada dampak luhur dari Pancasila yang dapat dipetik dan
dinikmati oleh bangsa Indonesia kelak. Bung Karno bahkan menyandingkan ideologi
(penanaman) dengan laksana “nyawa suatu bangsa”, dimana jika ideologi gagal
bersemai maka sama saja dengan manusia tanpa nyawa. Kematian suatu bangsa yang
hakiki adalah matinya ideologi bangsa itu sendiri. Karena itu, amat sangat
pentinglah membangun “jiwa bangsa” (ideologi) dibandingkan pembangunan lainnya
(fisik). Bukanlah kebetulan jika lagu kebangsaan kita juga sudah menyiratkan
akan pentingnya mendahulukan pembangunan jiwa sebelum pembangunan badan.
Banyak orang mengatakan bahwa disebalik bertubinya serangan terhadap
ideologi Pancasila juga kepada bangsa Indonesia sendiri baik serangan
ideologis, teroris sampai militeris, nyatanya bangsa Indonesia masih tetap
tegar berdiri. Setidaknya sebagai negara kita tidak bubar. Sepintas tidak ada
yang salah, secara pisik negara Indonesia tetap berdiri tegak dari Sabang
sampai Merauke, namun secara ideologis sebagaimana kata Bung Karno,
sesungguhnya kita telah mati. Kematian ideologis maknanya dimana tidak
digunakannya lagi Pancasila sebagai palsafah (nilai penuntun) dalam setiap
gerak kehidupan kebangsaan dan kenegaraan. Ideologi, politik, ekonomi, hukum,
sosial dan budaya bangsa Indonesia tidak lagi bersumber pada nilai-nilai
Ketuhanan, Keadaban, Persaudaraan, Musyawraah dan Keadilan Sosial. Ideologi,
politik, ekonomi, hukum, sosial dan budaya kita justru kini sumbernya adalah
nilai-nilai kebebasan (liberal), individual, kesamarataan, dan persaingan.
Kita sadar bahwa proyek “pembangunan jiwa” yang seyogyanya menjadi dasar
semua pembangunan fisik yang ada, gagal dilakukan. Belum ada proyek
“pembangunan jiwa” untuk “menjadi bangsa Indonesia yang satu” yang sukses di
praktekkan. Sejak merdeka yang terjadi justru, baku hantam antar kelompok
(partai politik), antar ideologi dalam merebut kursi kekuasaan sampai saat ini.
Percokolan antar kelompok idiologi (agamis, nasionalis, sosialis, komunis)
dalam berebut kekuasaan tampak tak terdamaikan dan berkelindan dengan pengaruh
dari luar (asing) yang justru semakin memperkeruh keadaan.
Sejumlah upaya mengideologisasi, menginternalisasi nilai-nilai Pancasila,
dan mendamaikan kelompok-kelompok yang ada pun sudah dilakukan dan gagal total.
Sintesis Bung Karno untuk mendamaikan pertikaian ideologis dengan membangun
gagasan ideologi bersama “nasakom” jelas telah gagal dan telah mengambil Bung
Karno sendiri sebagai korban. Begitu juga upaya Soeharto untuk mendamaikan
pertikaian ideologi dengan menyatukannya dibawah program “azas tunggal” dengan
pendekatan militeristik juga gagal total dan juga menjadikan Soeharto sebagai
korban perbuatannya sendiri. Lepas dari Orde Lama dan Orde Baru, pembangunan
ideologi pada Orde Reformasi justru menjadi hilang sama sekali. Orde Reformasi
justru dengan sukses menginternalisasi nilai-nilai Liberal ke dalam Konstitusi
Negara melalui proyek Amandemen UUD 1945 hingga 4 kali.
Ditengah-tengah melemahnya nilai-nilai luhur dalam penjiwaan dan prakteknya
itu, Orde Reformasi kemudian melahirkan kebijakan Otonomi Daerah melalui UU
22/1999 tentang Otonomi Daerah. Awalnya kebijakan ini digadang sebagai upaya
untuk mensejahterakan daerah dengan memberi kewenangan mengatur dan mengurus
urusan secara mandiri, namun yang terjadi justru menyuburkan semangat identitas
kedaerahan, bahkan menyuburkan identitas keagamaan di daerah dan bahkan
memunculkan pertikaian kelompok (bos-bos lokal) di daerah untuk berebut
kekuasaan. Beragam kerugian yang substansial sesungguhnya lahir dari kebijakan
ini, mulai dari pertikaian elit lokal, meningkatnya sentimen agama dan
kedaerahan, serta kerusakan sumber daya alam yang luar biasa di daerah.
Sejumlah penelitian dalam dan luar dengan lugas telah menggambarkan situasi
Otonomi Daerah yang gagal mensejahterakan daerah dan menimbulkan dampak ikutan
yang negatif yang lebih parah.
Masalah Dari Luar
Terdapat tiga kelompok kawasan dan ideologi yang hari ini secara tegas
bertindak untuk mempengaruhi bangsa-bangsa di dunia yaitu Barat (Liberal),
Timur (Sosialis/Komunis), dan Timur Tengah (Islam). Kelompok-kelompok Barat dan
Timur merepresentasi dominasi ideologi klasik yang sudah berkembang dan
bertikai selama puluhan tahun dalam menganeksasi berbagai belahan dunia.
Sementara kelompok Timur Tengah (Gerakan Islam) muncul sebagai perlawanan
terhadap Timur dan Barat. Namun ketiganya pada akhirnya tidak bisa dikatakan
terpisah, sebab dalam perjalanannya di dalam tubuh ketiganya juga banyak
varian-varian yang menyebabkan ketiganya membentuk kolaborasi berdasarkan kepentingannya
masing-masing. Intinya, untuk bertahan dan menang dalam peperangan ideologi,
politik, ekonomi, budaya maupun militer, ketiganya bisa saja “bersetubuh dimana
saja” asalkan sama-sama suka.
Bagi Indonesia sendiri, setelah jatuhnya Soeharto dan naiknya rezim
kekuasaan Reformasi (Gusdur-Mega-SBY-Jokowi), kondisi sosial, politik dan
ideologi justru bukan semakin mandiri apalagi berdaulat. Pasca Orde Baru justru
terjadi pelemahan yang signifikan dalam hal-hal yang sifatnya substantif
(ideologi, konsensus, konstitusi). Akibatnya, muncul gerakan-gerakan penguatan
sentimen kederahan yang tinggi, muncul gerakan keagamaan (Islam) di daerah yang
semakin kuat, yang sama-sama memunculkan sikap ketidakpercayaan,
ketidakbersaudaraan, dan kehilangan pegangan akan nilai-nilai Pancasila. Pada
banyak kasus, Pancasila justru seolah hendak “ditinggalkan dan ditanggalkan”.
Ditengah pelemahan substantif itulah, secara bersamaan bertemu dengan
gejolak perubahan sosial dunia dimana kekuatan Timur (Rusia/China), Barat (AS dan
Eropa) serta Timur Tengah (Arab Saudi/Iran Dll) sedang bercokol untuk berebut
pengaruhnya dan memainkan perannya. Pergolakan dan peperangan kawasan di dunia
ini terjadi disebabkan oleh perebutan Sumber Daya Alam dan juga Sumber Sumber
Ekonomi lainnya yang sudah semakin krisis dan sekarat saat ini. Berbagai analis
dengan lugas mendukung teori pengaruh luar ini, dimana kekuatan Timur (China),
Barat (AS/Eropa), dan Timur Tengah (Arab Dll) sedang memainkan perannya
masing-masing di Indonesia. Karena itu selama pertikaian politik di Indonesia
semua sentimen ideologi dikeluarkan dan diserang, mulai dari anti Barat, anti
Komunis, anti China, sampai anti Wahabi dan anti Syiah. Artinya afiliasi dari
kelompok-kelompok politik di Indonesia jelas tidak bisa tersamarkan dengan apa
yang sedang terjadi diluar.
Sekalipun pembelahan politik dalam Pilpres 2019 yang baru usai menjadi dua
yaitu 01 dan 02 namun dilihat secara sentimen ideologis, keduanya tetap
mewakili pertentangan dari tiga kawasan yang sedang bergolak di dunia saat ini.
Penutup
Dengan demikian, apa yang terjadi dengan situasi saat ini, dimana sedang
terjadi “kematian Pancasila” dan menguatnya identitas politik jelas jelas tidak
bisa dipisahkan oleh faktor melemahnya bangsa Indonesia secara ideologis dan
menguatnya pengaruh ideologi asing dari luar yang semakin mencengkeram
kesadaran bangsa Indonesia.
Pertanyaan lanjutan adalah, adakah kelompok alternatif 03 (persatuan)?
Adakah kelompok yang benar-benar hendak menghidupkan Pancasila? Adakah kelompok
yang hendak mengembalikan kedaulatan ke tangan bangsa Indonesia? Adakah
keyakinan akan Pancasila menjadi suar Dunia, atau mati digulung ombak?
Posting Komentar
0Komentar