Pagi itu seorang gadis kecil duduk termenung di bawah pohon jambu di depan rumahnya, sambil memainkan sapu lidi di tanah seakan melukis diatas kanvas yang luas. Coretan akibat gesekan lidi itu tampak tidak beraturan kesana kemari, ini menunjukkan bahwa dia sedang galau. Tapi entah apa yang membuatnya berperilaku seperti itu, sesekali wajah murungnya menatap ke arah jalan yang sering dilaluinya saat berangkat ke sekolah. Kemudian dia tertunduk lagi dan asyik memainkan sapu lidinya kembali. Dia tersadar saat Bu Ros memanggil-manggil namanya.
“Yuuuuunn.........”
“Yuuuuuniiiiii”
Teriakan Bu Ros yang tak lain adalah
emaknya, membuat Yuni tersadar dari lamunan semunya.” Iya...maakkk” jawab Yuni
sambil berlari kecil menuju asal suara itu.
“Dari tadi dipanggil kenapa tidak
menjawab” ujar Bu Ros
“Maafkan Yuni mak,tadi Yuni tidak
dengar” jawab Yuni tetunduk merasa bersalah.
“Masih kecil sudah melamun, apa sih yang
kau lamunkan” tanya Bu Ros penuh curiga
“Ah....siapa yang melamun mak, Yuni tadi
tidak dengar” kata Yuni berusaha menutupi kegalauan hatinya.
“Sudah siap kerjaanmu”
“Belum mak”
“Loh...dari tadi apa saja kerjamu, sudah
lebih setengah jam emak mencuci, hanya menyapu halaman kau tak becus” hardik Bu Ros ke arah Yuni yang
masih terdiam menunduk.
“Maaf kan Yuni mak,” jawab Yuni yang
masih tetap tertunduk, tapi kali ini ada setetes air mata yang jatuh membasahi
pipinya.
“Loh...kok menangis nak, ada apa
sebenarnya, ceritalah sama emak” kata Bu Ros sambil merangkul gadis kecil yang
ada di depannya.
“Mak.....Yuni rindu sekolah
hu...hu...hu”
Seketika itu tangis Yuni meledak sambil
memeluk emaknya.
Melihat kondisi anaknya seperti itu, dia
hanya bisa memeluk dan memberikan dekapan hangat sambil membelai rambut Yuni.
“Nak.....ini bukan kemauan kita,
situasilah yang membuat semuanya seperti ini, sejak wabah covid 19 tiga bulan
yang lalu melanda negara kita tak terkecuali kampung kita kena imbasnya.
Situasi ini membuat kita harus tetap berada di rumah sesuai dengan anjuran
pemerintah. Itu semua kita lakukan untuk memutus mata rantai penyebarannya.”
Jelas Bu Ros berusaha memberi pengertian kepada anaknya.
“Tapi sudah tiga bulan Yuni tidak
sekolah mak, kata kawan-kawanku mereka masih bisa belajar secara online”jelas
Yuni merasa kecewa karena tidak bisa seperti kawannya yang lain.
“Mereka bisa belajar online karena
mereka mampu nak, sementara kita untuk makan saja masih kesulitan. Ayahmu hanya
seorang penarik becak dan penghasilannya sangat jauh berkurang di masa covid 19
ini. Kami sangat memahami kekecewaanmu nak, kalau ada uang nanti kita beli hp
android agar kau bisa belajar di rumah. tapi..... hu...hu..hu”” isak tangis Bu
Ros yang tak sangup melihat kondisi anaknya.
“Iya mak, tapi kapan mak....Yuni sudah
jauh ketinggalan pelajaran” kata Yuni
yang masih duduk di bangku SMP.
“Sabar ya sayang, kami akan berusaha
sekuat tenaga agar kau bisa belajar dirumah seperti teman-temanmu.” Jelas Bu
Ros berusaha memberikan pemahaman kepada anaknya.
“Tapi ....kapan mak,....kapan.....?”
kata Yuni memelas
“Nanti emak bilang sama ayahmu, sekarang
pergilah kau sapu halaman itu, jorok kali emak lihat. Setelah selesai menyapu
kau mandi dan belajar agar tidak keinggalan pelajaranmu” kata Bu Ros.
“Baik mak” jawab Yuni singkat sambil menghapus
sisa ai matanya.
“Bukan kami tak peduli denganmu nak, tapi
keadaan kita seperti ini. Untuk makan saja masih sangat sulit, konon lagi harus
membeli HP buatmu.” Bathin Bu Ros yang hanya bisa mengelus dada melihat situasi
krisis saat ini sambil menatap kepergian anaknya menuju halaman rumah.
Yuni pun tidak pernah membantah apa yang
dikatakan orang tuanya, karena diapun sangat memahami kondisi orangtuanya yang
hanya berprofesi sebagai penarik becak. Namun di satu sisi dia harus belajar
sebagaimana yang telah disampaikan gurunya waktu itu bahwa pembelajaran dilaksanakan
dengan sistem online karena situasi tidak memugkinkan untuk belajar di sekolah sebagaimana
yang telah dianjurkan pemerintah.
“Ya Allah...berikanlah orangtua hamba
kemudahan dalam mencari rezeki agar bisa memenuhi kebutuhan kami khususnya
kebutuhan sekolahku” pinta Yuni dalam hati sambil terus menyapu halaman yang
berukuran 5 m x 3 m itu.
***********
Sore itu cuaca sedikit mendung, awan menggumpal seakan menutupi bumi. Angin berhembus sepoi-sepoi membelai tubuh Pak Imam yang sedang duduk santai di teras rumanya sambil melihat ke arah becak yang terparkir di halaman rumah. Lama dia termenung dengan tatapan mata yang kosong dan tersadar saat isterinya menyapa sambil menghidangkan segelas kopi dan sepiring ubi goreng.
“Bang, kok melamun, ini kopi dan ubi
gorengnya” kata Bu Ros sambil duduk di samping suaminya.
“Eh...iya...dek, terima kasih ya” ujar
Pak Imam.
“Bang....”
“Iya..” jawab Pak Imam singkat sambil
menyeruput kopi yang barusan dihidangkan isterinya.
“Aku sedih melihat keadaan Yuni” kata Bu
Ros buka bicara
“Kenapa
rupanya dengan Yuni” kata Pak Imam
“Setiap hari dia melamun terus karena rasa
rindunya ingin sekolah” kata Bu Ros
“Bagaimana mau sekolah di tengah pendemi
covid 19 ini, jangankan sektor pendidikkan, sektor ekonomi pun terkena imbasnya
termasuk kita.” jelas Pak Imam
“Apa yang abang katakan itu benar, tapi
kita tidak bisa juga menafikan kondisi anak kita. abang kan tau sendiri
keinginan dia untuk belajar sangat tinggi dan itu telah dibuktikannya kepada
kita dengan mendapat juara umum di sekolah” kata Bu Ros
“Jadi...apa yang bisa kita perbuat, kau
kan tau bagaimana sulitnya kehidupan masa ini, biasanya hasil menarik becak masih
bisa memenuhi kebutuhan hidup kita, tapi sekarang untuk mendapatkan lima puluh
ribu saja sangat sulit.” Kata Pak Imam sambil sesekali menarik nafas panjang
sebagai ungkapan kekecewaannya.
“Abang carilah pinjaman, agar anak kita
bisa belajar online dan tidak ketinggalan materi pembelajarannya” usul Bu Ros
“Pada siapa dek, begini masanya sama
siapa bisa kita meminjam uang. Apalagi ruang gerak kita dibatasi dengan dalih
memutus mata rantai covid 19, sehingga orang banyak yang lebih memilih tinggal
di rumah dan tidak bisa berbuat apa-apa.
“Bagaimana kalau ke Haji Umar,,,bang”
kata Bu Ros kembali memberi usul.
“Pak Haji Umar....? apa gak malu dek.
Hutang kita yang kemaren saja belum di bayar, ini mau pinjaman lagi” kata Pak
Imam.
“Aku yakin Pak Haji Umar mau membantu
bang, apalagi untuk fasilitas pendidikan, karena di kampung kita tidak ada yang
sedermawan beliau” kata Bu Ros
“Hmmm....tapi aku tak yakin dek” jawab Pak Imam singkat
“Abang harus yakin demi anak kita,” kata
Bu Ros berusaha meyakinkan suaminya.
Pak Imam terdiam tanpa bisa
berkata-kata, apalagi menyangkut masa depan anak semata wayangnya. Apapun akan
dilakukannya demi memenuhi kebutuhan anaknya.
”Baiklah dek......nanti setelah bakda
isya, abang ke rumah Haji Umar” kata Pak Imam
Mendengar itu Bu Ros merasa senang,
walaupun belum pasti akan ada hasilnya, tapi ada usaha yang dilakukan.
Sementara dari balik dinding Yuni
sengaja menguping pembicaraan kedua orangtuanya. “Maafkan Yuni ya......,
gara-gara Yuni kalian jadi memaksakan
diri untuk bisa memenuhi kebutuhanku” bathin Yuni sambil berlari kecil menuju
kamarnya.
*************
Setelah selesai sholat Isya di Mushollah
Al Hikmah, Pak Imam tidak langsung pulang ke rumah tapi bergegas ke rumah Haji
Umar yang berjarak seratus meter dari Mushollah. Dengan mempercepat langkahnya, akhinya Pak
Imam sampai di depan pintu rumah Haji Umar.
“Assalamu’alaikum pak Haji” sahut Pak
Imam dari luar
“Wa’alaikum Salam” jawab Haji Umar dari
dalam rumah
Tidak berapa lama Haji Umar sudah berada
di depan pintu dan mempersilahkan Pak Imam untuk masuk.
“Ooo.Pak Imam, silahkan masuk”
“Terima kasih pak Haji, lebih enak di
sini saja” tawar Pak Imam sambil menuju kursi di teras rumah.
“Ooo...iya...gak apa-apa silahkan duduk
pak, apa yang bisa saya bantu ”kata Haji Umar sambil duduk di kursi
“Anu pak haji...hmm....aa.”
“Loh...ada apa pak, cerita saja”
“Begini pak Haji...., kedatangan saya
kemari mau minjam uang” kata Pak Imam memberanikan diri sambil menundukkan
wajahnya.
“Untuk apa pak?” tanya Haji Umar
“Untuk membeli HP buat Yuni pak Haji,
sebab selama pandemi covid 19 anak-anak diharuskan belajar di rumah dengan
sistem online. Sudah tiga bulan Yuni hanya berdiam diri tanpa bisa berbuat
lebih selain hanya membaca dan mengulang pelajarannya yang lalu.” Jelas Pak
Imam
Mendengar curatan hati Pak Imam, Haji
Umar merasa teharu dan membayangkan betapa susahnya situasi saat ini, apalagi
kondisi keluaga Pak Imam cukup memprihatinkan dari segi ekonomi.
“Bagaimana pak Haji..?” tanya Pak Imam
“Hmmm.....berapa yang bapak butuhkan?
tawar Haji Umar
“Satu juta setengah pak” jawab Pak Imam singkat.
“Sekarang begini saja Pak Imam, kebetulan
semalam anak saya minta belikan hp android padahal HP androidnya baru beberapa
minggu yang lalu saya belikan, katanya untuk belajar online. Tunggu sebentar
ya”kata Haji Umar sambil beranjak menuju ke dalam rumah.
Beberapa saat Haji Umar sudah kembali
dengan menenteng sebuah tas.
“sebenarnya saya sudah niat mau
memberikannya buat Yuni, tapi belum ada waktu dan kesempatan. Sebab saya senang
melihat anak-anak yang memilliki prestasi dan semangat untuk belajar. Karena mereka
adalah asset kita untuk masa yang akan datang” jelas Haji Umar
“Terima kasih atas kemurahan hati bapak
yang peduli terhadap keadaan kami yang miskin,” kata Pak Imam menyalam tangan Haji umar dan berusaha
menciumnya
“Ah..sudahlah jangan terlalu berlebihan”
kata Haji Umar sambil menarik tangannya.
“Sampaikan salam saya buat Yuni dan
tetap semangat dalam belajar” kata Haji Umar
“Baik Pak, kalau begitu saya permisi,
saya yakin Yuni akan bangga mendapat hadiah dari bapak” kata Pak Imam sambil
menyalam kembali Haji Umar dan berlalu meninggalkan rumah besar itu.
Dalam perjalanan pulang Pak Imam tak
henti-hentinya mengucap syukur ke hadiratNya atas kemudahan yang diperolehnya itu.”Pasti Yuni senang menerima
HP ini” bathin Pak Imam.
Sesampai dirumah Pak Imam langsung
memanggil Yuni dan isterinya dengan wajah yang riang Pak Imam menyerahkan tas pemberian
Haji Umar.
“Nak...ini ada hadiah dari Haji
Umar,”kata Pak Imam sambil menyerahkan tas yang dipegangnya tadi.
“Apa itu bang” tanya Bu Ros penasaran
“Iya...yah.....tas apa ini” tanya Yuni
“Buka saja nak, kau akan tau apa isinya”
kata Pak Imam
Isterinyapun sudah tidak sabar ingin
mengetahui apa sebenarnya isi tas itu.
“cepat kau buka tas itu nak”perintah Bu
Ros
Yuni pun membuka isi tas itu, ternyata
sebuah kotak HP android yang telah lama diidamkannya untuk bisa belajar di
rumah.
“Hp...mak” kata Yuni riang
“Iya....itu HP milik anak Haji Umar,
tapi sudah tak terpakai” kata Pak Imam
“Tapi........ kok masih seperti baru
bang” kata Bu Ros
“Iya ..baru seminggu di beli tapi gak
cocok kata anaknya, daripada sayang lebih bagus diberikan sama yang
membutuhkan. Sebenarnya Haji Umar ingin langsung memberikannya sama Yuni, tapi
karena sibuk belum kesampaian.” Jelas Pak Imam.
“Alhamdulillah....semoga orang
sedermawan Haji Umar diberikan kemudahan oleh Allah SWT dalam setiap
aktivitasnya dan diberikan kesehatan serta umur yang panjang” pinta Bu Ros
dalam do’anya, langsung di amin kan oleh
Pak Imam dan Yuni.
“Mak...akhirnya aku bisa
sekolah...walaupun hanya dirumah” kata Yuni sambil memeluk Bu Ros.
“Iya..nak, tapi kau harus bijak dalam
mempergunakan HP itu, manfatkanlah untuk hal yang sepantasnya agar apa yang
menjadi keinginanmu dapat tercapai. Yang penting kau bisa belajar kembali
“Bagamana dengan paket internetnya mak,
kan mahal?: tanya Yuni
“Tak usahlah kau risaukan nak, walau pun
berat, demi masa depanmu ayah rela banting tulang agar kau tetap bisa belajar.
Tapi ingat.....HP nya jangan digunakan untuk bermain-main” kata Pak Imam.
”Nanti mamak akan bantu ayah untuk
mencari uang tambahan dengan berjualan miso di depan rumah” usul Bu Ros.
“Yuni boleh ikut membantu emak jualan
kan?” tanya Yuni
“Boleh....asal semua tugas belajarmu
telah selesai kau kerjakan” jawab Bu Ros sambil memeluk Yuni dan membelai
rambutnya yang teruai.
Malam itu keluarga kecil yang sederhana itu sangat bahagia karena apa yang diimpikan
anaknya bisa diwujudkan walaupun hasil dari pemberian Haji Umar. Dengan bantuan
Haji Umar, Yuni bisa kembali belajar melalui sistem Online dan keinginannya
untuk menjadi seorang dokter suatu hari nanti akan dapat Ia raih dengan
kebulatan tekad dan keseriusan.
Posting Komentar
0Komentar