Oleh: Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH
Di buka ke publik Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI terhadap PT Perkebunan Nusantara II (PTPN II) sekarang menjadi PTPN Regional I yang dirilis pada 30 Agustus 2024 menjadi tamparan keras bagi tata kelola korporasi pelat merah di Indonesia. Di antara 15 temuan BPK berisi 281 halaman itu (https://monitorindonesia.com/investigasi/read/2025/11/616139/15-temuan-bpk-pintu-masuk-bongkar-korupsi-di-ptpn-ii), tersingkap wajah nyata penyimpangan sistemik dalam pengelolaan keuangan dan aset negara.
Begitupun fakta bahwa hanya satu dari 15 temuan itu yang sedang diusut aparat penegak hukum (APH) menunjukkan betapa lemahnya respon terhadap dugaan kejahatan keuangan di tubuh BUMN. Padahal, temuan BPK tidak sekadar administrasi buruk, melainkan dugaan pelanggaran hukum yang berpotensi merugikan negara ratusan miliar rupiah.
Laporan tersebut menyoroti praktik yang melanggar asas-asas pengelolaan perusahaan negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, khususnya Pasal 5 ayat (2) yang menegaskan bahwa setiap BUMN harus menjunjung prinsip efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas. Namun yang terjadi di PTPN II justru sebaliknya—korupsi terstruktur yang berkamuflase sebagai kebijakan korporasi.
Temuan pertama BPK menyebut klausul kontrak kerja sama yang tidak menguntungkan PTPN II dan bertentangan dengan peraturan pertanahan. Ini bukan sekadar kesalahan administratif, tetapi bentuk pelanggaran terhadap Pasal 3 UU Tipikor: penyalahgunaan kewenangan yang menguntungkan pihak lain dan merugikan keuangan negara.
Pembayaran “Success Fee” senilai Rp8,27 miliar kepada konsultan hukum tanpa dasar hukum yang sah menandai absennya mekanisme pengawasan internal. Praktik semacam ini merupakan bentuk gratifikasi terselubung yang melanggar prinsip value for money dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan.
BPK juga mencatat adanya penghapusbukuan lahan eks-HGU seluas 451,73 hektare dengan nilai ganti rugi yang belum diterima sebesar Rp384,3 miliar. Ini bentuk nyata perampasan aset negara. Dalam hukum publik, tindakan ini memenuhi unsur “memperkaya diri atau orang lain” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor.
Ketidaktegasan manajemen dalam menagih denda keterlambatan senilai Rp9,2 miliar juga memperlihatkan kelalaian yang berimplikasi hukum. Berdasarkan yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 1074 K/Pid.Sus/2014, setiap kelalaian pejabat BUMN yang mengakibatkan kerugian negara dapat dikualifikasi sebagai tindak pidana korupsi.
Pemberian asuransi purna jabatan kepada direksi, dewan komisaris, dan pejabat non-karyawan tanpa dasar hukum adalah bentuk penyimpangan pengelolaan keuangan negara. Hal ini bertentangan dengan Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-13/MBU/09/2014 yang hanya memperbolehkan fasilitas serupa bagi karyawan dengan perjanjian kerja yang sah.
Temuan lain terkait kerja sama pembangunan Kota Mandiri Bekala (KMB) dengan Perum Perumnas memperlihatkan bagaimana proyek kolaboratif BUMN berubah menjadi ladang rente. Tidak adanya kesesuaian dengan peraturan agraria dan tata ruang menunjukkan pelanggaran terhadap asas good corporate governance.
Semua fakta ini mengonfirmasi tesis klasik Robert Klitgaard: “Corruption equals monopoly plus discretion minus accountability.” PTPN II memiliki monopoli atas aset lahan besar, diskresi dalam pengelolaan, dan nihil akuntabilitas. Kombinasi ini menciptakan medan subur bagi korupsi kebijakan.
Sayangnya, hanya satu dari 15 temuan yang diselidiki, yakni dugaan korupsi penjualan aset lahan PTPN I untuk pembangunan perumahan elite Citraland (Ciuputra Land) di atas tanah seluas 8.077 hektare. Kejati Sumut telah menetapkan tiga tersangka: Askani (Kakanwil BPN Sumut), Abdul Rahman Lubis (Kepala BPN Deli Serdang), dan Iman Subakti (Direktur PT NDP).
Penetapan ini memang langkah maju, namun belum menyentuh aktor strategis di balik kebijakan tersebut. Salah satunya adalah Abdul Ghani, mantan pimpinan PTPN yang menyetujui skema perubahan status lahan dari HGU aktif menjadi HGB untuk proyek Deli Megapolitan—sebuah manuver hukum yang berpotensi menabrak prinsip dasar agraria.
Dalam hukum tanah, perubahan HGU menjadi HGB di atas tanah negara aktif hanya dapat dilakukan apabila HGU telah berakhir atau dicabut secara resmi. Pasal 22 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) jelas menegaskan, hak guna usaha tidak dapat dialihkan selama masih aktif tanpa persetujuan pemerintah. Artinya, kebijakan ini cacat hukum sejak awal.
Modus ini mencerminkan state capture corruption—korupsi yang melibatkan pejabat publik dan korporasi untuk mengubah kerangka hukum demi keuntungan pribadi. Abdul Ghani dan jejaringnya diduga memainkan peran sebagai “perantara legalitas”, mengubah lahan negara menjadi aset privat dengan kemasan investasi.
Jika ditelusuri, proyek Deli Megapolitan sejatinya tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga mengubah struktur tata ruang Deli Serdang tanpa izin perubahan fungsi lahan. Pelanggaran ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan PP Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah.
Kejahatan ini bersifat berlapis. Selain tipikor, terdapat pelanggaran hukum pertanahan, keuangan negara, dan administrasi publik. Berdasarkan Pasal 55 KUHP, setiap orang yang turut serta dalam perbuatan dapat dimintai pertanggungjawaban pidana yang sama. Maka, logis jika Kejati Sumut segera menyeret Abdul Ghani ke meja hijau.
Yurispurdensi Mahkamah Agung Nomor 813 K/Pid.Sus/2017 menegaskan, tanggung jawab pidana tidak hanya dibebankan pada pelaksana teknis, tetapi juga pengambil keputusan yang mengetahui dan menyetujui kebijakan melawan hukum.
Keterlibatan pejabat BPN dalam kasus ini menguatkan dugaan adanya kolusi vertikal antara birokrasi agraria dan manajemen PTPN II. Skema semacam ini mengingatkan publik pada kasus korupsi aset PTPN di Jawa Timur pada 2019 yang menyebabkan kerugian negara lebih dari Rp1 triliun.
Karena itu, penyidikan kasus Deli Megapolitan tidak boleh berhenti pada tiga tersangka. Asas equality before the law harus berlaku bagi semua, termasuk bagi mantan pejabat BUMN. Dalam konteks ini, Kejati Sumut wajib menunjukkan keberaniannya sebagai dominus litis yang independen dari intervensi politik maupun korporasi.
Lebih dari itu, seluruh 15 temuan BPK harus diproses hukum. Pasal 20 UU BPK mewajibkan setiap hasil pemeriksaan yang mengandung unsur pidana untuk segera ditindaklanjuti oleh aparat hukum dalam jangka waktu 60 hari. Pengabaian terhadap ketentuan ini adalah bentuk obstruction of justice.
Dari perspektif teori hukum tata negara, lemahnya tindak lanjut terhadap temuan BPK menunjukkan disfungsi mekanisme checks and balances antara lembaga audit dan lembaga penegak hukum. Negara kehilangan efektivitas ketika hasil pengawasan tidak menimbulkan konsekuensi hukum.
BUMN seharusnya menjadi agen pembangunan ekonomi rakyat, bukan sarang rente pejabat. Ketika korporasi pelat merah bertransformasi menjadi mesin patronase politik, maka mandat konstitusional Pasal 33 UUD 1945 tentang kemakmuran rakyat kehilangan makna substantifnya.
Dalam konteks reformasi birokrasi, penyelesaian kasus PTPN II menjadi ujian bagi Kejaksaan, KPK, dan BPK. Sinergi antarlembaga merupakan syarat mutlak agar hasil audit tidak sekadar dokumen mati, melainkan dasar tindakan hukum yang nyata.
Pasal 2 dan 3 UU Tipikor memberikan ruang luas bagi penegak hukum untuk menjerat setiap penyalahgunaan wewenang yang menimbulkan kerugian negara. Tidak ada alasan hukum untuk menunda pemanggilan dan penahanan terhadap semua pihak yang terlibat, termasuk Abdul Ghani dan jaringannya.
Dalam negara hukum (rechstaat), hukum harus berdiri di atas kekuasaan, bukan di bawahnya. Jika korupsi di BUMN dibiarkan berlindung di balik dalih “kebijakan korporasi”, maka prinsip rule of law akan tergerus menjadi rule by interest.
Penegakan hukum yang tegas terhadap kasus PTPN II akan menjadi preseden penting bagi reformasi tata kelola BUMN di seluruh Indonesia. Negara tidak boleh berkompromi terhadap kejahatan yang dilakukan di bawah bendera perusahaan milik rakyat.
Pada akhirnya, bangsa ini menunggu bukti: apakah hukum benar-benar bekerja untuk publik atau hanya menjadi alat perlindungan bagi elite korporasi. Kejati Sumut dan KPK harus membuktikan bahwa keadilan bukan sekadar janji, tetapi tindakan. Abdul Ghani dan jaringannya harus diusut tuntas—karena kejahatan atas nama negara adalah pengkhianatan terhadap rakyat itu sendiri.
Akhirnya, pernyataan Presiden Prabowo Subianto, “tidak ada negara dalam negara, dan tidak ada mafia dalam negara,” bukan sekadar retorika panggung politik, melainkan peringatan keras bagi birokrasi dan korporasi pelat merah yang selama ini menjadi sarang rente. Di balik kalimat itu tersirat pesan tegas bahwa kedaulatan negara tidak boleh dikompromikan oleh jaringan mafia yang menyaru sebagai pengelola aset publik. Sebab ketika mafia dibiarkan tumbuh di tubuh BUMN, maka yang tergerus bukan hanya keuangan negara, tetapi juga martabat pemerintahan itu sendiri—dan pada titik itulah, korupsi bukan lagi sekadar pelanggaran hukum, melainkan pengkhianatan terhadap republik.
Demikian.
Penulis Praktisi Hukum Dan Aktivis Gerakan Rakyat Banyak.


Posting Komentar
0Komentar