Pembantaian Etnik Melayu 1946: Kekejaman PKI di Sumatera Timur (II)

Media Barak Time.com
By -
0

 


 

Oleh : Prof. Dr. Ok. Saidin, SH, M.Hum H

(Guru Besar Ilmu Hukum Fakultas Hukum  Universitas Sumatera Utara)



Keterlibatan Partai Komunis Indonesia

Hasil-hasil perkebunan yang melimpah ruah, membawa suasana kehidupan baru. Kota-kota modern dibangun. Istana Kesultanan yang tadinya dibangun dari kayu dan atap nipah, kini dibangun megah dan indah. Rumah-rumah ibadah dibangun dengan gaya arsitektur yang indah dengan bahan batu pualam yang didatangkan dari Itali. Itu semua dapat dilakukan karena Kesultanan telah menerima kompensasi dari pemakaian lahan kosesi. Medan menjadi kota modern yang tertata rapi. Belanda menyebutnya sebagai Paris van Sumatera. Kemajuan ekonomi mengalami peningkatan dan perubahan secara drastis. Para imigran dari luar Kerajaan berdatangan, mencari penghidupan.

 

Begitu juga di Langkat. Hasil minyak di bumi Langkat menjadikan Kesultanan Langkat menjadi daerah terkaya di Sumatera Timur. Mobil Roll Royce yang hanya ada 5 unit di dunia pada waktu itu, satunya ada di Kesultanan Langkat. Tapi apakah rakyat Langkat hidup dalam kemelaratan, menderita, dan kebodohan? Sultan Langkat membangun dan mendirikan Sekolah Jamiyah Mahmudiyah Tanjung Pura Langkat pada tahun 1912. Sekolah ini lebih dulu didirikan dari sekolah Taman Siswa yang didirikan sepuluh tahun kemudian, yakni pada Tahun 1922. Sekolah yang didirikan Sultan Langkat lebih hebat dari Sekolah Belanda dan Misionaris Jerman (arusmalaka.com, 16 November 2019). Berdampingan dengan sekolah itu ada sekolah Langkatche School, Eropese Lagere School dan Holland Chinese Schcool. Langkat menjadi kota pendidikan pada zamannya. Tahun 1930 sekolah yang didirikan oleh Sultan Langkat itu sudah memiliki 2000 alumni.

 

Oleh karena itu menjadi tidak benar khotbah Yunan Nasution memberikan penjelasan kepada umat dan dalam khotbah Jumatnya pada tanggal 8 Maret 1946 di masjid Raya Medan. Dalam khotbah Jumatnya Yunan mengatakan bahwa "Bagaimana raja-raja menjadikan umat muslim sebagai masyarakat terbelakang dan kolot". Khotbah itu ia sampaikan di tengah berlangsungnya pembantaian para Sultan di Sumatera Timur. Sultan di Sumatera Timur selamanya berkolaborasi dengan para ulama. Lihatlah bagaiman Sultan Langkat, Sultan Musa menghibahkan tanahnya kepada Syekh Abdul Wahab Rokan di Besilam yang menjadi pusat pengajaran Tarekat Naqsabandiyah.


Di Deli pada masa Pemerintahan Sultan Ma'moen Al Rasyid (1879-1924), beliau mengangkat Syekh Hasan Maksum sebagai mufti negeri Deli. Syekh Hasan Maksum menimba ilmu di Makkah. Beliau adalah seorang ulama Besar yang sudah lama mengajar di Makkah. Tahun 1925 Masyarakat Sumatera Timur diramaikan oleh kabar kedatangan Ulama Besar Dari Makkah. Namanya Syekh Abdul Qadir Al Mandiling. Ia mengatakan pada suatu rapat di rumah kediaman Syekh Muhammad Ya'kub, Syekh Abdul Kadir mengatakan, "Di Medan ada seorang Ulama yang memiliki kadar keilmuan yang tinggi dan pernah mengajar di Makkah. Dia adalah Syekh Hasan Maksum. Apabila sekarang ia telah menjadi Ulama Besar Kesultanan Deli, aku nasihatkan kalian semua jangan lalai dan jangan lupa untuk menuntut ilmu kepadanya". (Republika, Muhyiddin/Muhammad Hafil, Syekh Hasan Maksum, Mufti Kesultanan Deli, Senin 02 Maret 2020).

 

Begitulah para Sultan memelihara aqidah dan menjaga ajaran Islam. Deli memilih ulama terbaik pada zamannya. Oleh karena itu tindakan Dr. Muhammad Amir wakil Gubernur Sumatera (yang juga mantan Ketua Tim Dokter Sultan Langkat) memberi kuasa kepada pimpinan baru Masyumi untuk mengambil alih kekuasaan administrasi keagamaan di Sumatera Timur, termasuk mengganti para khadi di Kesultanan Melayu pada tanggal 9 Maret 1946, adalah tindakan yang keliru. Tampaklah di kalangan ormas Islam pun ada yang sinis dan menyimpan kebencian terhadap keberadaan Kesultanan Melayu di Sumatera Timur. Malam hari setelah penggantian mufti dan para kadhi pada saat lampu dipadamkan terjadi penyerbuan terhadap Istana Sultan Langkat. Semua penghuni istana ditangkap, harta-harta dijarah yang paling memilukan, para perempuan diperkosa, termasuk dua orang Puteri Sultan.

 

Meskipun pada akhirnya pelakunya dibunuh oleh sekelompok pemuda Islam, tapi itu bukti revolusi itu sesungguhnya tak punya arah, kecuali untuk menjarah dan atas dasar kecemburuan sosial. Bahkan Ulama sempat mengeluarkan fatwa yang menghalalkan darah raja-raja Sumatera Timur (wawancara dengan Allahyarham Tuanku Luckman Sinar Bayarsyah II dan Allahyarham T. Yose Rizal, 2002). Sebuah Fatwa yang tak memiliki pijakan berdasarkan Syari'at Islam.


Bukan Revolusi Tapi Api Kecemburuan

Meskipun pada tanggal 3 Februari, Rapat Komite Nasional Indonesia (KNI) yang dihadiri Raja dan Sultan se-Sumatera Timur termasuk Sultan Siak untuk menyatakan tekad mendukung Republik Indonesia, tapi sebahagian dari rakyat dirasuki oleh rasa cemburu dan dendam pada kaum bangsawan Sumatera Timur. Sultan Langkat dipropaganda telah menuai kekayaan dari penyewaan tanah perkebunan dan keuntungan dari perusahaan minyak. Begitu juga Sultan Deli ditengarai meraup kekayaan dari keuntungan konsesi tanah-tanah untuk perkebunan tembakau. Slogan-slogan yang diembuskan oleh kaum pendatang yang menuai kehidupannya di Sumatera Timur terus membahana seantero Sumatera Timur. Fitnah keji terus dilontarkan, "Raja-Raja penghisap darah Rakyat, Kaum Feodal harus dibunuh." Bahkan lagu "Darah Rakyat" kerap kali dikumandangkan.

 

Situasi ini dimanfaatkan dengan baik oleh kaum berhaluan kiri, yakni komunis yang jelas-jelas menentang pancasila dan nilai-nilai agama terutama nilai-nilai Islam. Anehnya organisasi-organisasi Islam juga ikut larut dalam pembantaian yang dimotori oleh kaum Komunis itu.


Apa sebenarnya yang tidak dilakukan oleh Raja-raja Simalungun, Siantar dan Para Sultan di Sumatera Timur untuk mendukung Republik Indonesia yang baru berdiri. Pertemuan KNI tanggal 3 Februari 1946, yang sebelumnya Kongres Raja-raja se-Sumatera di Padang Panjang, tanggal 22 s/d25 Desember 1945, sudah menyatakan dengan tegas bahwa semua mereka berada bersama-sama Republik Indonesia.


Akan tetapi, sekali kerakusan dan nafsu yang kemudian secara sadar atau tidak memuluskan gerakan PKI untuk membonceng gerakan itu dalam rangka memuluskan tujuan politiknya, yakni mengkomuniskan Indonesia. Para Sultan Sumatera Timur dan para Raja-Raja Simalungun dan Siantar dianggap terlalu kuat dengan ajaran agamanya. Agama adalah penghalang besar bagi melancarkan cita-cita komunis Indonesia. Oleh karena itu siapa saja yang dianggap menghalangi untuk menghabiskan kuasa raja-raja dan kuasa para sultan harus ditumpas habis.

 

Menarik catatan dari investigasi Lira Media (m.liramedia.co.id) ketika mewawancarai Maxinius Hutasoit sebagai saksi mata pada peristiwa berdarah itu. Hutasoit mengatakan, "Sudah tentu revolusi sosial itu terselundup pula segala macam hak yang sebenarnya sama sekali tidak ada hubungannya secara objektif dengan persoalan feodal. Kepentingan-kepentingan sendiri diboncengkan, dendam pribadi dibalas, nafsu rendah memperoleh pelampiasan".


Investigasi Lira terhadap turunan raja-raja Simaungun Tuan Kamen Purba Dasuha petera Raja Panei terakhir dan Tuan Jariaman Damanik Raja Muda Sidamanik terakhir, juga menampik tuduhan bahwa raja-raja menindas rakyat. Ahli waris kerajaan Panei terakhir Tuan Kamen Purba Dasuha dengan nada diplomatis mengatakan, "Apakah kaum pendatang tidak pantas menghormati dan tunduk pada aturan kerajaan yang berlaku di Panei?" seraya menunjuk pematang sawah di Panei sampai ke sababh Dua. "Kalau ayah saya menindas pendatang dari Tapanuli tak mungkin mereka mendapat pemukiman dan persawahan yang luas di Panei ini. Justru kami sebagai Ahli waris Raja Panei kebahagian lahan paling sedikit dibandingkan dengan kaum pendatang.

 

Nada yang sama juga disampaikan oleh Tuan Jariman Sidamanik. Beliau mengatakan, "Jika Tuan Damanik menindas para pendatang, tak mungkin penduduk Tapanuli yang pindah ke Sidamanik melampaui penduduk pribumi Simalungun dan menguasai tanah yang lebih luas dari keturunan Sidamanik"


Itu juga yang terjadi di Kesultanan Melayu. Para pendatang dari Pulau Jawa, Pulau Penang Malaysia, Aceh, Minang, Mandailing, Cina, India, dan Arab semuanya menikmati capaian kemajuan ekonomi yang dibangun oleh para Sultan di Sumatera Timur selama bertahun-tahun. Bahkan penduduk pendatang jauh lebih makmur dari penduduk tempatan. Hanya karena sebahagian dari pendatang "kalah bersaing" dengan yang lainnya dan sebahagian dimuati oleh kepentingan politik, isu feodal, isu menghisap darah rakyat, dan segudang stereotip negatif lainnya dijadikan tema pembenaran untuk melakukan pembantaian.

 

Begitulah, terlalu banyak pihak pada masa itu ingin mengambil keuntungan dari kondisi struktur sosial masyarakat yang tak terkendali di mana ada kaum buruh, ada pengusaha ada kaum bangsawan yang sangat rawan untuk diprovokasi. Pertentangan kelas itu terus dibangun melalui agitasi, porovokasi, dan propaganda-propaganda yang membangun kebencian kepada Raja-Raja Simalungun dan Sultan-Sultan Melayu Sumatera Timur. Itulah cara-cara komunis yang memanfaatkan keadaan melalui doktrin-doktrin rasionalitas yang jauh dari nilai-nilai religius. Sasarannya adalah para tokoh-tokoh muda yang reformis yang relatif mudah dibentuk dan dimasuki paham-paham sekuler dan komunis. Pemuda yang tak punya pengalaman dalam pergaulan sosial termasuk pengalaman dan pemahaman intelektual di bidang keagamaan. Terungkap bahwa pemuda yang bergabung pro-revolusioner ternyata dari kalangan yang didominasi oleh pemuda di bawah umur 30 tahun yang sebelumnya selalu bentrok memperebutkan kendali atas kebun karet dan harta jarahan dari Istana Sultan (Afandri Adya, https://afandriadya.com/2021/02/14/revolusi-sosial-1946-dan runtuhnya-kesultanan-di-sumatera-timur/)

 

Oleh karena itu semakin jelaslah bahwa, peristiwa Maret 1946 di Sumatera Timur itu, bukan Revolusi Sosial, tetapi pembantai Etnik Melayu dan Etnik Simalungun serta penjarahan harta yang didalangi oleh Partai Komunis Indonesia. Itu peristiwa kriminal pembantai dan perkosaan karena pembiaran dan kegagalan Pemerintah Republik Indonesia mengawal keamanan wilayah negaranya. Padahal sejak bulan Desember Raja-raja se-Sumatera sudah menyatakan dukungannya terhadap pemerintah republik. Sultan Deli sebagai pimpinan sidang membacakan putusan Kongres Pemangku Adat/ Raja-Raja Se-Sumatera ang berlangsung tanggal 21-23 Desember 1945. Salah satu dari Putusan Kongres itu adalah dengan tegas menyatakan bahwa Pemangku Adat/ Raja-Raja Se Sumatera mendukung dan berdiri di belakang Republik.


Begitu juga Pertemuan antara Raja-Raja Sumatera timur dengan Pemerintah Republik, pada tanggal 3 Februari 1946 pada Rapat Komite Nasional Indonesia (KNI) yang dihadiri Raja dan Sultan Sumatera Timur termasuk Sultan Siak. Di tengah rapat itu para Raja dan Sultan meminta waktu untuk mengadakan rapat tertutup dan menunjuk Sultan Langkat Sultan Mahmud Abdul Djalil Rakhmat Shah sebagai juru bicara dan menyatakan kebulatan tekad dan dukungan yang tegas terhadap Republik Indonesia Pernyataan itu disampaikan di hadapan wakil Pemerintah Republik Indonesia Gubernur Sumatera Teuku Mohammad Hasan dan dr. Muhammad Amir, Wakil Gubernur Sumatera, Residen Sumatera Timur Tengku Hafaz, Ketua KNI Sumatera Timur Mr. Luat Siregar (Ketua Komite Nasional Indonesia Sumatera Timur yang juga sebagai pimpinan sidang), Abdul Karim MS, Muhammad Yusuf, dr Tengku Mansyur, Tengku Damrah dan Tengku Bahriun.

 

Dari kalangan Raja-Raja hadir; Raja Panei Tuan Bosar Sumalam Purba Dasuha, Raja Purba Tuan Mogang Purba Pakpak, Raja Si Lima Kuta Tuan Padiraja Purba Girsang, Raja Siantar Tuan Sawadim Damanik, Raja Raya Tuan Jan Kaduk Saragih Garingging, dan Raja Tanoh Jawa Mr. Tuan Kaliamsyah Sinaga. Dari Kesultanan Melayu hadir Sultan Langkat, Sultan Deli, Sultan Asahan, Putera Mahkota Serdang Tengku Rajih Anwar, Raja Indrapura (Batu Bahara), Raja Bilah, Yang Dipertuan Kuwaloh dan Ledong dan utusan dari Sibayak, Tanah Karo.


"Kami para Sultan dan Raja-Raja di Sumatera Timur telah mengambil keputusan bersama untuk melahirkan sekali lagi iktikad kami bersama untuk berdiri teguh di belakang Presiden dan Pemerintah Republik Indonesia serta turut menegakkan dan memperkokoh Republik Indonesia," demikian pernyataan yang disampaikan oleh Sultan Langkat Sultan Mahmud Abdul Djalil Rakhmat Shah sebagai juru bicara Sultan dan Raja-raja pada pertemuan KNI, tanggal 3 Februari 1946. Persis sebulan setelah itu peristiwa pembantaian itu berlangsung secara masif dan sistematis di semua daerah Kesultanan dan Raja-Raja se Sumatera Timur dan merambah hingga ke Simalungun dan Tanah Karo. Yang berkhianat itu bukan para Sultan dan Raja-Raja Se Sumatera Timur, tapi Pemerintah Republik memiliki agenda lain untuk menghapuskan dominasi Kesultanan. Padahal Teuku Muhammad Hasan Gubernur Sumatera, memulai pidato pembukaannya pada Rapat KNI, tanggal 3 Februari 1946 dengan mengatakan, "Undang-undang Dasar Republik Indonesia mengakui secara resmi pemerintahan raja-raja di Sumatera Timur" Teuku Mohammad Hasan hanya hanya mengajukan syarat untuk memutuskan hubungan dengan Pemerintah Belanda, melakukan proses demokratisasi dan mendukung pemerintah Republik Indonesia. Semua syarat itu dipenuhi, ada yang sudah dilakukan dan sebahagian dalam proses menuju ke arah demokratisasi.

Berlanjut ke bagian 3 (Akhir)............

Tags:

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)