Oleh : Prof. Dr. Ok.
Saidin, SH, M.Hum H
(Guru Besar Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara)
Keterlibatan Partai Komunis Indonesia
Hasil-hasil perkebunan
yang melimpah ruah, membawa suasana kehidupan baru. Kota-kota modern dibangun.
Istana Kesultanan yang tadinya dibangun dari kayu dan atap nipah, kini dibangun
megah dan indah. Rumah-rumah ibadah dibangun dengan gaya arsitektur yang indah
dengan bahan batu pualam yang didatangkan dari Itali. Itu semua dapat dilakukan
karena Kesultanan telah menerima kompensasi dari pemakaian lahan kosesi. Medan
menjadi kota modern yang tertata rapi. Belanda menyebutnya sebagai Paris van
Sumatera. Kemajuan ekonomi mengalami peningkatan dan perubahan secara drastis.
Para imigran dari luar Kerajaan berdatangan, mencari penghidupan.
Begitu juga di Langkat.
Hasil minyak di bumi Langkat menjadikan Kesultanan Langkat menjadi daerah
terkaya di Sumatera Timur. Mobil Roll Royce yang hanya ada 5 unit di dunia pada
waktu itu, satunya ada di Kesultanan Langkat. Tapi apakah rakyat Langkat hidup
dalam kemelaratan, menderita, dan kebodohan? Sultan Langkat membangun dan
mendirikan Sekolah Jamiyah Mahmudiyah Tanjung Pura Langkat pada tahun 1912.
Sekolah ini lebih dulu didirikan dari sekolah Taman Siswa yang didirikan
sepuluh tahun kemudian, yakni pada Tahun 1922. Sekolah yang didirikan Sultan
Langkat lebih hebat dari Sekolah Belanda dan Misionaris Jerman (arusmalaka.com,
16 November 2019). Berdampingan dengan sekolah itu ada sekolah Langkatche
School, Eropese Lagere School dan Holland Chinese Schcool. Langkat menjadi kota
pendidikan pada zamannya. Tahun 1930 sekolah yang didirikan oleh Sultan Langkat
itu sudah memiliki 2000 alumni.
Oleh karena itu menjadi
tidak benar khotbah Yunan Nasution memberikan penjelasan kepada umat dan dalam
khotbah Jumatnya pada tanggal 8 Maret 1946 di masjid Raya Medan. Dalam khotbah
Jumatnya Yunan mengatakan bahwa "Bagaimana raja-raja menjadikan umat
muslim sebagai masyarakat terbelakang dan kolot". Khotbah itu ia sampaikan
di tengah berlangsungnya pembantaian para Sultan di Sumatera Timur. Sultan di
Sumatera Timur selamanya berkolaborasi dengan para ulama. Lihatlah bagaiman
Sultan Langkat, Sultan Musa menghibahkan tanahnya kepada Syekh Abdul Wahab
Rokan di Besilam yang menjadi pusat pengajaran Tarekat Naqsabandiyah.
Di Deli pada masa
Pemerintahan Sultan Ma'moen Al Rasyid (1879-1924), beliau mengangkat Syekh
Hasan Maksum sebagai mufti negeri Deli. Syekh Hasan Maksum menimba ilmu di
Makkah. Beliau adalah seorang ulama Besar yang sudah lama mengajar di Makkah.
Tahun 1925 Masyarakat Sumatera Timur diramaikan oleh kabar kedatangan Ulama
Besar Dari Makkah. Namanya Syekh Abdul Qadir Al Mandiling. Ia mengatakan pada suatu
rapat di rumah kediaman Syekh Muhammad Ya'kub, Syekh Abdul Kadir mengatakan,
"Di Medan ada seorang Ulama yang memiliki kadar keilmuan yang tinggi dan
pernah mengajar di Makkah. Dia adalah Syekh Hasan Maksum. Apabila sekarang ia
telah menjadi Ulama Besar Kesultanan Deli, aku nasihatkan kalian semua jangan
lalai dan jangan lupa untuk menuntut ilmu kepadanya". (Republika,
Muhyiddin/Muhammad Hafil, Syekh Hasan Maksum, Mufti Kesultanan Deli, Senin 02
Maret 2020).
Begitulah para Sultan
memelihara aqidah dan menjaga ajaran Islam. Deli memilih ulama terbaik pada
zamannya. Oleh karena itu tindakan Dr. Muhammad Amir wakil Gubernur Sumatera
(yang juga mantan Ketua Tim Dokter Sultan Langkat) memberi kuasa kepada
pimpinan baru Masyumi untuk mengambil alih kekuasaan administrasi keagamaan di
Sumatera Timur, termasuk mengganti para khadi di Kesultanan Melayu pada tanggal
9 Maret 1946, adalah tindakan yang keliru. Tampaklah di kalangan ormas Islam
pun ada yang sinis dan menyimpan kebencian terhadap keberadaan Kesultanan
Melayu di Sumatera Timur. Malam hari setelah penggantian mufti dan para kadhi
pada saat lampu dipadamkan terjadi penyerbuan terhadap Istana Sultan Langkat.
Semua penghuni istana ditangkap, harta-harta dijarah yang paling memilukan,
para perempuan diperkosa, termasuk dua orang Puteri Sultan.
Meskipun pada akhirnya
pelakunya dibunuh oleh sekelompok pemuda Islam, tapi itu bukti revolusi itu
sesungguhnya tak punya arah, kecuali untuk menjarah dan atas dasar kecemburuan
sosial. Bahkan Ulama sempat mengeluarkan fatwa yang menghalalkan darah
raja-raja Sumatera Timur (wawancara dengan Allahyarham Tuanku Luckman Sinar
Bayarsyah II dan Allahyarham T. Yose Rizal, 2002). Sebuah Fatwa yang tak
memiliki pijakan berdasarkan Syari'at Islam.
Bukan Revolusi Tapi Api Kecemburuan
Meskipun pada tanggal 3
Februari, Rapat Komite Nasional Indonesia (KNI) yang dihadiri Raja dan Sultan
se-Sumatera Timur termasuk Sultan Siak untuk menyatakan tekad mendukung
Republik Indonesia, tapi sebahagian dari rakyat dirasuki oleh rasa cemburu dan
dendam pada kaum bangsawan Sumatera Timur. Sultan Langkat dipropaganda telah
menuai kekayaan dari penyewaan tanah perkebunan dan keuntungan dari perusahaan
minyak. Begitu juga Sultan Deli ditengarai meraup kekayaan dari keuntungan
konsesi tanah-tanah untuk perkebunan tembakau. Slogan-slogan yang diembuskan
oleh kaum pendatang yang menuai kehidupannya di Sumatera Timur terus membahana
seantero Sumatera Timur. Fitnah keji terus dilontarkan, "Raja-Raja
penghisap darah Rakyat, Kaum Feodal harus dibunuh." Bahkan lagu
"Darah Rakyat" kerap kali dikumandangkan.
Situasi ini dimanfaatkan
dengan baik oleh kaum berhaluan kiri, yakni komunis yang jelas-jelas menentang
pancasila dan nilai-nilai agama terutama nilai-nilai Islam. Anehnya
organisasi-organisasi Islam juga ikut larut dalam pembantaian yang dimotori
oleh kaum Komunis itu.
Apa sebenarnya yang tidak
dilakukan oleh Raja-raja Simalungun, Siantar dan Para Sultan di Sumatera Timur
untuk mendukung Republik Indonesia yang baru berdiri. Pertemuan KNI tanggal 3
Februari 1946, yang sebelumnya Kongres Raja-raja se-Sumatera di Padang Panjang,
tanggal 22 s/d25 Desember 1945, sudah menyatakan dengan tegas bahwa semua
mereka berada bersama-sama Republik Indonesia.
Akan tetapi, sekali
kerakusan dan nafsu yang kemudian secara sadar atau tidak memuluskan gerakan
PKI untuk membonceng gerakan itu dalam rangka memuluskan tujuan politiknya,
yakni mengkomuniskan Indonesia. Para Sultan Sumatera Timur dan para Raja-Raja
Simalungun dan Siantar dianggap terlalu kuat dengan ajaran agamanya. Agama
adalah penghalang besar bagi melancarkan cita-cita komunis Indonesia. Oleh
karena itu siapa saja yang dianggap menghalangi untuk menghabiskan kuasa
raja-raja dan kuasa para sultan harus ditumpas habis.
Menarik catatan dari
investigasi Lira Media (m.liramedia.co.id) ketika mewawancarai Maxinius
Hutasoit sebagai saksi mata pada peristiwa berdarah itu. Hutasoit mengatakan,
"Sudah tentu revolusi sosial itu terselundup pula segala macam hak yang
sebenarnya sama sekali tidak ada hubungannya secara objektif dengan persoalan
feodal. Kepentingan-kepentingan sendiri diboncengkan, dendam pribadi dibalas,
nafsu rendah memperoleh pelampiasan".
Investigasi Lira terhadap
turunan raja-raja Simaungun Tuan Kamen Purba Dasuha petera Raja Panei terakhir
dan Tuan Jariaman Damanik Raja Muda Sidamanik terakhir, juga menampik tuduhan
bahwa raja-raja menindas rakyat. Ahli waris kerajaan Panei terakhir Tuan Kamen
Purba Dasuha dengan nada diplomatis mengatakan, "Apakah kaum pendatang
tidak pantas menghormati dan tunduk pada aturan kerajaan yang berlaku di
Panei?" seraya menunjuk pematang sawah di Panei sampai ke sababh Dua.
"Kalau ayah saya menindas pendatang dari Tapanuli tak mungkin mereka
mendapat pemukiman dan persawahan yang luas di Panei ini. Justru kami sebagai
Ahli waris Raja Panei kebahagian lahan paling sedikit dibandingkan dengan kaum
pendatang.
Nada yang sama juga
disampaikan oleh Tuan Jariman Sidamanik. Beliau mengatakan, "Jika Tuan
Damanik menindas para pendatang, tak mungkin penduduk Tapanuli yang pindah ke
Sidamanik melampaui penduduk pribumi Simalungun dan menguasai tanah yang lebih
luas dari keturunan Sidamanik"
Itu juga yang terjadi di
Kesultanan Melayu. Para pendatang dari Pulau Jawa, Pulau Penang Malaysia, Aceh,
Minang, Mandailing, Cina, India, dan Arab semuanya menikmati capaian kemajuan
ekonomi yang dibangun oleh para Sultan di Sumatera Timur selama bertahun-tahun.
Bahkan penduduk pendatang jauh lebih makmur dari penduduk tempatan. Hanya
karena sebahagian dari pendatang "kalah bersaing" dengan yang lainnya
dan sebahagian dimuati oleh kepentingan politik, isu feodal, isu menghisap
darah rakyat, dan segudang stereotip negatif lainnya dijadikan tema pembenaran
untuk melakukan pembantaian.
Begitulah, terlalu banyak
pihak pada masa itu ingin mengambil keuntungan dari kondisi struktur sosial
masyarakat yang tak terkendali di mana ada kaum buruh, ada pengusaha ada kaum
bangsawan yang sangat rawan untuk diprovokasi. Pertentangan kelas itu terus
dibangun melalui agitasi, porovokasi, dan propaganda-propaganda yang membangun
kebencian kepada Raja-Raja Simalungun dan Sultan-Sultan Melayu Sumatera Timur.
Itulah cara-cara komunis yang memanfaatkan keadaan melalui doktrin-doktrin
rasionalitas yang jauh dari nilai-nilai religius. Sasarannya adalah para
tokoh-tokoh muda yang reformis yang relatif mudah dibentuk dan dimasuki
paham-paham sekuler dan komunis. Pemuda yang tak punya pengalaman dalam
pergaulan sosial termasuk pengalaman dan pemahaman intelektual di bidang
keagamaan. Terungkap bahwa pemuda yang bergabung pro-revolusioner ternyata dari
kalangan yang didominasi oleh pemuda di bawah umur 30 tahun yang sebelumnya
selalu bentrok memperebutkan kendali atas kebun karet dan harta jarahan dari
Istana Sultan (Afandri Adya, https://afandriadya.com/2021/02/14/revolusi-sosial-1946-dan
runtuhnya-kesultanan-di-sumatera-timur/)
Oleh karena itu semakin
jelaslah bahwa, peristiwa Maret 1946 di Sumatera Timur itu, bukan Revolusi
Sosial, tetapi pembantai Etnik Melayu dan Etnik Simalungun serta penjarahan
harta yang didalangi oleh Partai Komunis Indonesia. Itu peristiwa kriminal
pembantai dan perkosaan karena pembiaran dan kegagalan Pemerintah Republik
Indonesia mengawal keamanan wilayah negaranya. Padahal sejak bulan Desember
Raja-raja se-Sumatera sudah menyatakan dukungannya terhadap pemerintah
republik. Sultan Deli sebagai pimpinan sidang membacakan putusan Kongres
Pemangku Adat/ Raja-Raja Se-Sumatera ang berlangsung tanggal 21-23 Desember
1945. Salah satu dari Putusan Kongres itu adalah dengan tegas menyatakan bahwa
Pemangku Adat/ Raja-Raja Se Sumatera mendukung dan berdiri di belakang
Republik.
Begitu juga Pertemuan
antara Raja-Raja Sumatera timur dengan Pemerintah Republik, pada tanggal 3
Februari 1946 pada Rapat Komite Nasional Indonesia (KNI) yang dihadiri Raja dan
Sultan Sumatera Timur termasuk Sultan Siak. Di tengah rapat itu para Raja dan
Sultan meminta waktu untuk mengadakan rapat tertutup dan menunjuk Sultan
Langkat Sultan Mahmud Abdul Djalil Rakhmat Shah sebagai juru bicara dan
menyatakan kebulatan tekad dan dukungan yang tegas terhadap Republik Indonesia
Pernyataan itu disampaikan di hadapan wakil Pemerintah Republik Indonesia
Gubernur Sumatera Teuku Mohammad Hasan dan dr. Muhammad Amir, Wakil Gubernur
Sumatera, Residen Sumatera Timur Tengku Hafaz, Ketua KNI Sumatera Timur Mr.
Luat Siregar (Ketua Komite Nasional Indonesia Sumatera Timur yang juga sebagai
pimpinan sidang), Abdul Karim MS, Muhammad Yusuf, dr Tengku Mansyur, Tengku
Damrah dan Tengku Bahriun.
Dari kalangan Raja-Raja
hadir; Raja Panei Tuan Bosar Sumalam Purba Dasuha, Raja Purba Tuan Mogang Purba
Pakpak, Raja Si Lima Kuta Tuan Padiraja Purba Girsang, Raja Siantar Tuan
Sawadim Damanik, Raja Raya Tuan Jan Kaduk Saragih Garingging, dan Raja Tanoh
Jawa Mr. Tuan Kaliamsyah Sinaga. Dari Kesultanan Melayu hadir Sultan Langkat,
Sultan Deli, Sultan Asahan, Putera Mahkota Serdang Tengku Rajih Anwar, Raja
Indrapura (Batu Bahara), Raja Bilah, Yang Dipertuan Kuwaloh dan Ledong dan
utusan dari Sibayak, Tanah Karo.
"Kami para Sultan
dan Raja-Raja di Sumatera Timur telah mengambil keputusan bersama untuk
melahirkan sekali lagi iktikad kami bersama untuk berdiri teguh di belakang
Presiden dan Pemerintah Republik Indonesia serta turut menegakkan dan
memperkokoh Republik Indonesia," demikian pernyataan yang disampaikan oleh
Sultan Langkat Sultan Mahmud Abdul Djalil Rakhmat Shah sebagai juru bicara
Sultan dan Raja-raja pada pertemuan KNI, tanggal 3 Februari 1946. Persis
sebulan setelah itu peristiwa pembantaian itu berlangsung secara masif dan
sistematis di semua daerah Kesultanan dan Raja-Raja se Sumatera Timur dan
merambah hingga ke Simalungun dan Tanah Karo. Yang berkhianat itu bukan para
Sultan dan Raja-Raja Se Sumatera Timur, tapi Pemerintah Republik memiliki
agenda lain untuk menghapuskan dominasi Kesultanan. Padahal Teuku Muhammad
Hasan Gubernur Sumatera, memulai pidato pembukaannya pada Rapat KNI, tanggal 3
Februari 1946 dengan mengatakan, "Undang-undang Dasar Republik Indonesia
mengakui secara resmi pemerintahan raja-raja di Sumatera Timur" Teuku
Mohammad Hasan hanya hanya mengajukan syarat untuk memutuskan hubungan dengan
Pemerintah Belanda, melakukan proses demokratisasi dan mendukung pemerintah
Republik Indonesia. Semua syarat itu dipenuhi, ada yang sudah dilakukan dan
sebahagian dalam proses menuju ke arah demokratisasi.
Berlanjut ke bagian 3 (Akhir)............


Posting Komentar
0Komentar