STOP Salahkan Sistem! Watak Maling Uang Rakyat Lebih Parah Dari Yang Kita Kira.

Media Barak Time.com
By -
0

 


Oleh: Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH


Di tengah hiruk-pikuk politik dan ekonomi yang terus bergemuruh, sosok Tan Malaka kembali relevan. Pemikiran revolusionernya menembus ruang dan waktu: jangan hanya menyalahkan sistem, karena penyakit bangsa sering kali bersumber dari watak manusianya sendiri.


Setiap kali negeri ini dirundung krisis, suara-suara pembenaran muncul dengan cepat. Sistem dianggap rusak, struktur negara disalahkan. Namun, di balik setiap kebijakan yang busuk, selalu ada individu yang mengendalikannya dengan keserakahan yang halus namun mematikan.


Tan Malaka mengingatkan bahwa sistem hanyalah wadah; watak manusialah yang mengisinya. Maka, ketika korupsi menjalar di seluruh sendi birokrasi, bukan sistem yang berkhianat—melainkan manusia yang kehilangan moralnya.


Mereka yang diberi amanah justru menjelma menjadi predator. Watak maling uang rakyat bukanlah kebetulan, melainkan hasil dari keserakahan yang dibungkus rapi dalam retorika pembangunan dan kesejahteraan.


Ironisnya, bangsa ini terlalu sering mengganti sistem, tetapi jarang mengganti watak. Setiap reformasi hanya memunculkan wajah-wajah lama dalam balutan jargon baru. Mereka datang seolah pahlawan, padahal di balik senyumnya tersimpan rencana penjarahan berikutnya.


Krisis kepercayaan publik lahir bukan semata karena kebijakan gagal, tetapi karena kebohongan yang terus direproduksi. Ketika moral pemimpin runtuh, sistem apapun akan roboh. Inilah kebenaran yang disampaikan Tan Malaka sejak awal abad lalu.


Dampaknya terasa nyata di lapangan: sekolah yang ambruk, rumah sakit tanpa obat, infrastruktur yang tinggal nama. Semua itu adalah monumen dari dosa kolektif bangsa terhadap amanah rakyat.


Namun, kita cenderung mencari kambing hitam yang mudah—menyalahkan sistem, bukan pelaku. Padahal, sistem hanyalah cermin dari perilaku manusianya. Jika wataknya busuk, hukum dan aturan pun tak lebih dari kertas kosong.


Media pun kerap menambah kabut. Narasi kegagalan sistem disiarkan besar-besaran, sementara nama-nama pengkhianat rakyat disembunyikan di balik istilah “oknum”. Kita dibuat lupa bahwa korupsi bukanlah kesalahan abstrak, tetapi kejahatan yang dilakukan manusia nyata.


Tan Malaka pernah berkata, revolusi bukan soal menggulingkan rezim, melainkan membangkitkan kesadaran. Maka, pertanyaannya kini: apakah kita siap membongkar watak maling yang menyamar sebagai pemimpin bangsa?


Keadilan tidak akan lahir dari rakyat yang apatis. Kesadaran kolektif harus menjadi bara yang menyalakan keberanian untuk menolak ketidakjujuran. Diam adalah bentuk ikut serta dalam kejahatan.


Koruptor tidak hanya mencuri uang negara, tetapi juga mencuri masa depan anak bangsa. Mereka merampas hak rakyat atas pendidikan, kesehatan, dan martabat. Inilah bentuk penjajahan baru yang lebih kejam dari kolonialisme fisik.


Sudahkah kita bertanya pada diri sendiri, berapa banyak kompromi kecil yang kita lakukan hingga akhirnya kejujuran menjadi barang langka? Perubahan tidak lahir dari sistem, melainkan dari keberanian memperbaiki diri.


Banyak dari kita memilih diam, berlindung di balik alasan “tidak punya kuasa”. Padahal, ketidakpedulian adalah pupuk bagi tumbuhnya korupsi. Setiap kali kita menutup mata terhadap kebohongan, kita ikut memperkuat watak maling itu.


Tan Malaka menolak tunduk pada kebusukan moral. Baginya, perlawanan dimulai dari pikiran yang jernih dan hati yang berani. Ia memahami, melawan penjajahan tidak cukup dengan mengganti bendera, tetapi harus dengan mengganti watak bangsa.


Rakyat harus berhenti menjadi korban dari elit yang memanipulasi penderitaan mereka. Saatnya menuntut pertanggungjawaban, tidak hanya pada lembaga pengawas, tetapi langsung pada pelaku yang mencuri hak rakyat.


Integritas adalah mata uang paling berharga di republik ini. Tan Malaka menegaskan bahwa bangsa yang kehilangan integritas tak lagi layak berbicara tentang kemerdekaan.


Kita harus mendidik satu sama lain untuk menumbuhkan kesadaran moral. Pengawasan sosial bukan tugas lembaga, melainkan tanggung jawab bersama.


Perubahan sejati tidak akan datang dari gedung kekuasaan, tetapi dari ruang-ruang kecil tempat rakyat menolak untuk menjadi penonton. Di situlah revolusi karakter dimulai.


Kini waktunya berhenti menyalahkan sistem. Karena yang perlu dibersihkan bukanlah undang-undang, melainkan hati dan pikiran manusia yang memanipulasinya.


Tan Malaka pernah menulis, “Tuan rumah tidak akan berunding dengan maling yang menjarah rumahnya.” Maka, jika bangsa ini ingin bangkit, hentikan segala kompromi dengan para pencuri uang rakyat.


Perjuangan sejati bukan hanya melawan kebobrokan sistem, tetapi juga melawan kebusukan watak di baliknya. Dan perjuangan itu dimulai dari kita—sekarang.


Demikian.


Penulis Praktisi Hukum dan Aktivis Gerakan Rakyat Banyak.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)