Pembantaian Etnik Melayu 1946: Kekejaman PKI di Sumatera Timur

Media Barak Time.com
By -
0

 

 


Oleh : Prof. Dr. Ok. Saidin, SH, M.Hum H
(Guru Besar Ilmu Hukum Fakultas Hukum  Universitas Sumatera Utara)

 

Sejarah tak boleh dilupakan. Sejarah adalah pembelajaran sebagai cermin masa lalu untuk direfleksikan ke masa depan. Sesungguhnya bangsa dan puak manapun yang ingin terjaga dari tidurnya ia harus menggerakkan memori sejarahnya. Kehancuran sebuah peradaban adalah pembelajaran. Orang bijak akan menarik berbagai kesimpulan dari peristiwa sejarah untuk kembali menegakkan bangunan masyarakat yang lebih baik dan kembali membangun peradaban baru di atas puing-puing reruntuhan.

 

Kekalahan Puak Melayu dalam mempertahanakan serangan-serangan fisik adalah sebuah peristiwa luka yang akan hilang dan lenyap. Akan tetapi kekalahan dalam mempertahankan kebudayaan Melayu adalah luka yang mematikan. Harus dicatat Melayu identik dengan Islam yang dibangun berdasarkan sendir-sendi Al Qur'an dan Hadits. Itu sebabnya di Kesultanan Melayu, Masjid dibangun lebih indah dari Istana Sultan. Adab, akhlak, tata kerama, sopan santun, dan bahasa yang santun dan lemah lembut serta cara makan dan berpakaian diajarkan. Sekolah-sekolah dan madrasah dibangun dan digalakkan. Kadhi-kadhi memutus dengan Syari'at Islam.

 

Tulisan ini mengajak kita semua untuk kembali merenungkan kekejaman dan keberutalan dan tindakan liar yang dilakukan oleh kelompok masyarakat yang menamakan dirinya Pro-Revolusioner, kelompok republiken pada Maret 1946 yang menghancurkan sendi-sendi peradaban Puak Melayu Sumatera Timur.

 

 

Bandingannya dengan Revolusi Perancis

Belum enam bulan sejak Sultan Deli menyampaikan dukungannya kepada Negara Republik Indonesia bersama dengan Raja-Raja se-Sumatera pada tanggal 23-25 Desember 1945 di Padang Panjang, Para pemuda yang tergabung dalam Pesindo, pemuda dari unsur PKI sudah melancarkan aksinya menghabisi para Sultan dan kerabatnya di Sumatera Timur. Ikut juga menjadi korban adalah Raja dan keluarga Kerajaan Tanah Jawa, Simalungun, dan Tanah Karo, walaupun yang disebut terakhir ini tidak terjadi pertumpahan darah. Gerakan pembantaian itu berlangsung singkat, hanya 17 hari. Mulai tanggal 3 Maret sampai 20 Maret 1946. Para penulis sejarah menyebut bahwa peristiwa itu sebagai revolusi sosial. Menyamakannya dengan Revolusi Perancis (1789–1799). Penulis lain mengatakan itu bukan revolusi sosial, tapi pembantaian etnik. Kesamaannya memang ada yakni berasal dari gerakan politik sayap kiri. Walaupun untuk "Kasus Sumatera Timur" dari unsur golongan agama juga ikut mendukung gerakan, namun dominasinya adalah dari kaum kiri.

 

Tak sepadan membandingkan revolusi Perancis dengan kasus pembantaian Etnik "Sumatera Timur". Memang melihat dari cepatnya proses itu berlangsung, peristiwa itu dapat dikatakan revolusi. Tetapi bukan revolusi sosial. Karena ideologi perjuangannya tidak sesuai dengan garis perjuangan revolusi Indonesia ketika itu. Tak ada asas atau ideologi, konsep dan pikiran-pikiran cerdas kaum intelektual yang melandasi gerakkan itu. Gerakan itu sangat liar dan brutal. Penjarahan dan pemerkosaan serta pembantaian dengan cara-cara yang sadis tanpa proses hukum adalah pelanggaran yang tidak sesuai dengan bunyi Alinea Pertama Pembukaan UUD 45, apalagi jika diukur dengan standar Pancasila.


Padahal waktu itu Indonesia sudah menyatakan kemerdekaannya dan Pancasila serta UUD 45 sudah disahkan. Jika Revolusi Perancis berisikan transformasi sosial politik yang penuh dengan kisah kepahlawanan, yang meruntuhkan sistem feodalisme, aristokrasi dan monarki mutlak, tapi kasus Sumatera Timur dipenuhi dengan kisah sadisme, brutal, liar, penjarahan dan perkosaan, walaupun sama-sama hendak meruntuhkan kekuasaan para raja. Jika Revolusi Perancis dilakukan oleh gerakan politik sayap kiri, massa di jalan-jalan dan masyarakat petani, jelas arah perjuangannya yakni untuk meletakkan manusia dalam posisi yang sederajat, mendistribusikan sumber-sumber ekonomi secara adil dan menghilangkan penghisapan atau eksploitasi manusia atas manusia.

 

Ide-ide lama yang berhubungan dengan tradisi hierarki, monarki, aristokrat dan gereja Katholik digulingkan dengan tiba-tiba dan digantikan oleh prinsip-prinsip baru, yakni kebebasan, persamaan dan persaudaraan. Revolusi didorong karena kegagalan Pemerintahan Louis XVI menangani krisis keuangan. Selain itu kebencian rakyat juga karena ia bukanlah orang yang memiliki kompetensi untuk naik tahta. Jadi ada persoalan internal di dalam tubuh kerajaan ketika itu. Faktor lain yang mendukung percepatan Revolusi Perancis itu juga karena semakin menyeruaknya ide "pencerahan" di kalangan masyarakat.

Perbesar

Revolusi Perancis yang dimulai pada tahun 1789 berhasil menggulingkan Louis XVI dan bersamaan dengan itu tepat pada bulan Desember 1792 didirikanlah Republik Perancis. Satu tahun kemudian Louis XVI dieksekusi. Tapi apa yang terjadi kemudian, setelah pemerintah berpindah, justru Maxmilien Robespierre, Jacobin, dan Komite Keamanan Publik, menjalankan pemerintahan yang diktator dengan penuh teror. Kemudian Robespierre dieksekusi, Jacobin dijatuhkan, kendali negara diambil alih oleh "Directory" yang terdiri dari dua dewan eksekutif dengan lima anggota yang memimpin pada tahun 1795-1799.

 

Directory ini mempertahankan kebijakan luar negeri yang agresif tetapi tak mampu mengendalikan peristiwa dalam negeri. Akhirnya digulingkan oleh Napoleon Bonaparte, lalu oleh Bonaparte ditempatkan Konsulat untuk menyelenggarakan pemerintahan di bawah kendali Napoleon Bonaparte pada tahun 1799.


Pembelajaran apa yang kita dapatkan? Ternyata kepemimpinan tidak bisa dihapuskan, tapi hanya bisa digantikan. Apakah penggantinya lebih baik? Sejarah Revolusi Perancis memberi jawaban. Ternyata tidak. Kasus Revolusi Perancis menunjukkan bahwa Perancis lepas dari diktator lama berpindah ke diktator baru. Tercatat selama periode pemerintahan 1793-1794 rakyat tewas berkisar antara 16.000, hingga 40.000.


Dampak dari Revolusi Perancis adalah lahirnya demokrasi liberal, sekularisme, dan berkembangnya ideologi modern yang meninggalkan masuknya paham mistis dan agama yang berujung lahirnya Prancis Modern. Bagaimana dampak dari Pembantaian Etnik Sumatera Timur? Memang hegemoni kekuasaan Kesultanan Melayu dapat dihapuskan, tapi karena tujuan gerakan itu tak sesuai dengan arah Revolusi Indonesia, akhirnya yang terjadi adalah penghancuran peradaban. Menghancurkan peradaban Melayu sama artinya dengan menghancurkan peradaban Islam.

 

Apa yang diperoleh oleh Pro-Revolusi, sebagian berakhir di tiang gantungan. Sumber daya alam minyak, perkebunan berpindah ke Negara. Negara gagal mendistribusikan hasil-hasil itu untuk kemaslahatan rakyat di sekitarnya. Hasil Perkebunan Negara diboyong ke Pusat, nasib buruh atau karyawan zaman sebelum kemerdekaan tak jauh berbeda dengan kondisi hari ini. Para Sultan kehilangan hak keperdataannya, Negara tak peduli, semua hasilnya diboyong ke Pudsat sebagai pendapatan Badan Usaha Milik Negara. Sultan dan kawula masyarakat adatnya tak lebih luas penguasa tanahnya dibandingkan dengan kepemilikan oleh kaum kapitalis pasca pembantaian Etnik Melayu dan Penggusuran Kekuasaan Kesultanan Melayu. Kelompok revolusioner dan republiken yang menggagas dan sekaligus sebagai pelaku pembantaian tahun 1946 itu ternyata tidak mendapatkan apa pun, kecuali kebanyakan dari mereka harus mengakhiri hidupnya di tiang gantungan dan di depan para regu tembak. Hasil yang nyata yang diperoleh oleh kelompok Pro-Revolusioner adalah hasil jarahan harta para Sultan yang kelak dipertanyakan di akhirat bersama pertanggung jawaban atas tindakannya membunuh, memperkosa dan menghalalkan darah para Sultan dan para kerabatnya.

 

Kemakmuran Berbuah Kecemburuan

Kini mari kita lihat peristiwa Maret 1946 di Sumatera Timur. Gerakan pembantaian dimulai tanggal 3-20 Maret 1946. Gerakan pembantaian dilakukan secara masif terhadap Kesultanan Melayu di Sumatera Timur: Langkat, Deli, Serdang, Asahan, Batu Bara, Kualuh, Panai, Bilah, dan Kotapinang dan meluas hingga ke Simalugun dan tanah Karo. Tak jelas garis perjuangan yang hendak ditegakkan. Jika perjuangan itu dimaksudkan hendak menghapuskan feodalisme, monarki, dan aristokrasi dan digantikan dengan prinsip-prinsip baru, yakni kebebasan, persamaan, dan persaudaraan, tak tampak dalam gerakannya.


Gerakan yang dilakukan sangat brutal. Sultan dan Orang-orang Besar kerajaan disiksa dan ratusan tokoh-tokoh Melayu dibunuh. Istana dan rumah-rumah dijarah dan bahkan anak-anak gadis diperkosa. Di Langkat massa PKI di bawah pimpinan Marwan dan Usman Parinduri menyerbu dan menjarah istana, membunuh dan memperkosa. Tokoh Sumpah Pemuda 1928 dan Tokoh Pergerakan Nasional Tengku Amir Hamzah ditawan lalu dibunuh dan jenazahnya dikuburkan di perkebunan tebu. Tokoh-tokoh yang terus menyuarakan kebencian pada Kesultanan Melayu adalah Karim Marah Sutan, Luat Siregar, dan Nathar Zainuddin adalah tokoh-tokoh lokal yang berafiliasi pada aliran kiri dan didukung oleh barisan komunis pada skala nasional.

 

Dibukanya perkebunan besar di Sumatera Timur yang mempekerjakan para buruh yang didatangkan dari luar daerah Kesultanan Melayu seperti dari Pulau Penang dan Pulau Jawa serta para pendatang dari daerah yang bertetangga dengan Kesultanan Melayu Sumatera Timur, oleh mereka di kemudian hari dianggap sebagai eksploitasi. Padahal di tempat asal mereka kehidupan sangat sulit. Mereka sebenarnya adalah orang-orang yang beruntung pada zamannya mendapat kesempatan untuk bekerja di kebun-kebun di Sumatera Timur. Ini adalah sisi lain yang tak pernah diungkap oleh penulis sejarah. Tidak dijelaskan oleh Antony Reid dalam Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera (1987), juga tak tampak pada penjelasan Mohammad Said dalam Suatu Zaman Gelap di Deli: Koeli Kontrak Tempo Dulu, Dengan Derita, dan Kemarahannya (1977).

 

Bagaimana kehidupan rakyat di Pulau Jawa selama kurun waktu paruh akhir abad ke-19, sebelum mereka memilih bekerja di Perkebunan-perkebunan Milik Perusahaan Belanda, Inggris, dan Belgia di Sumatera Timur. Begitu juga bagaimana sulitnya untuk mencari kehidupan di Pulau Penang pada periode tahun yang sama. Di Sumatera Timur, kehidupan para buruh bukan dieksploitasi. Mereka bukan tinggal di barak-barak, tetapi disediakan rumah-rumah tinggal yang dianggap cukup layak huni pada masa itu. Bahkan penduduk asli Melayu tak mendapatkan rumah seperti itu. Penduduk tempatan dan bahkan Istana Sultan Deli Pertama di Labuhan Deli dibangun dari kayu dan atap nipah. Baru kemudian setelah perkebunan yang dikonsesikan membuahkan hasil istana dibangun seperti sekarang ini. Masjid-masjid dan madrasah dibangun.

 

Demikian juga Istana Sultan Langkat, Sultan Serdang, dan Sultan Asahan. Di Batubara Istana dibangun dari penjualan dan ekspor hasil-hasil hutan ke Penang. Jadi tidak tiba-tiba menjadi kaya raya, hidup mewah yang bersumber dari menghisap darah rakyat, seperti yang dipropagandakan oleh kelompok yang menamakan dirinya republiken. Rakyat dan buruh-buruh perkebunan hidup bebas dan tidak di bawah tekanan kerajaan, termasuk paksaan dalam membayar pajak. Itu tak pernah dilakukan oleh Kesultanan Melayu, Bahkan di Deli disetiakan Beasiswa bagi rakyat ingin melanjutkan studinya ke negeri Belanda.

 

Waktu itu memang studi hyang dibuka ke Negeri Belanda, belum ada jaringan bisnis ke Amerika. Pengusaha perkebunan Belanda yang datang ke Tanah Deli, Bilah Panei, Kuwaluh, Kota Pinang, Batu Bara, Serdang, Asahan, dan Langkat, termasuk di Simalungun Pane, Siantar dan Tanah Jawa adalah para investor, karena itu untuk mendapatkan tanah-tanah harus dituangkan dalam perjanjian/kontrak yang disebut Akta Konsesi. Tanah-tanah di wilayah Kesultanan Melayu, bukan milik Raja Belanda. Oleh karena itu tak berlaku Domein Verklaring dan tak ada hak Erfacht, Hak Barat atau Hak Guna Usaha yang dikeluarkan Pemerintah Hindia Belanda di Sumatera Timur, kecuali ada sebahagian di wilayah Kesultanan Asahan.

 

Hubungan bisnis semacam itu membuat pertumbuhan ekonomi di Sumatera Timur bergerak maju dalam waktu yang singkat. Ini yang di kemudian hari menimbulkan kecemburuan kepada kaum pendatang. Padahal sebagian dari mereka hidup dan menikmati berbagai kesempatan yang terbuka di era itu. Pertanyaannya adalah, apakah sebagai pendatang di wilayah yang saat itu memiliki kewenangan memerintah tidak wajib untuk sekadar menghormati hukum dan ketentuan yang berlaku di wilayah tempat kita mencari kehidupan?

Berlanjut Kebagian 2......

 


 

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)