Oleh : Prof. Dr. Ok.
Saidin, SH, M.Hum H
(Guru Besar Ilmu Hukum Fakultas
Hukum  Universitas Sumatera Utara)
Sejarah tak boleh
dilupakan. Sejarah adalah pembelajaran sebagai cermin masa lalu untuk
direfleksikan ke masa depan. Sesungguhnya bangsa dan puak manapun yang ingin
terjaga dari tidurnya ia harus menggerakkan memori sejarahnya. Kehancuran
sebuah peradaban adalah pembelajaran. Orang bijak akan menarik berbagai
kesimpulan dari peristiwa sejarah untuk kembali menegakkan bangunan masyarakat
yang lebih baik dan kembali membangun peradaban baru di atas puing-puing
reruntuhan.
Kekalahan Puak Melayu dalam
mempertahanakan serangan-serangan fisik adalah sebuah peristiwa luka yang akan
hilang dan lenyap. Akan tetapi kekalahan dalam mempertahankan kebudayaan Melayu
adalah luka yang mematikan. Harus dicatat Melayu identik dengan Islam yang
dibangun berdasarkan sendir-sendi Al Qur'an dan Hadits. Itu sebabnya di
Kesultanan Melayu, Masjid dibangun lebih indah dari Istana Sultan. Adab,
akhlak, tata kerama, sopan santun, dan bahasa yang santun dan lemah lembut
serta cara makan dan berpakaian diajarkan. Sekolah-sekolah dan madrasah
dibangun dan digalakkan. Kadhi-kadhi memutus dengan Syari'at Islam.
Tulisan ini mengajak kita
semua untuk kembali merenungkan kekejaman dan keberutalan dan tindakan liar
yang dilakukan oleh kelompok masyarakat yang menamakan dirinya Pro-Revolusioner,
kelompok republiken pada Maret 1946 yang menghancurkan sendi-sendi peradaban
Puak Melayu Sumatera Timur.
Bandingannya dengan Revolusi Perancis
Belum enam bulan sejak
Sultan Deli menyampaikan dukungannya kepada Negara Republik Indonesia bersama
dengan Raja-Raja se-Sumatera pada tanggal 23-25 Desember 1945 di Padang
Panjang, Para pemuda yang tergabung dalam Pesindo, pemuda dari unsur PKI sudah
melancarkan aksinya menghabisi para Sultan dan kerabatnya di Sumatera Timur.
Ikut juga menjadi korban adalah Raja dan keluarga Kerajaan Tanah Jawa,
Simalungun, dan Tanah Karo, walaupun yang disebut terakhir ini tidak terjadi
pertumpahan darah. Gerakan pembantaian itu berlangsung singkat, hanya 17 hari.
Mulai tanggal 3 Maret sampai 20 Maret 1946. Para penulis sejarah menyebut bahwa
peristiwa itu sebagai revolusi sosial. Menyamakannya dengan Revolusi Perancis
(1789–1799). Penulis lain mengatakan itu bukan revolusi sosial, tapi
pembantaian etnik. Kesamaannya memang ada yakni berasal dari gerakan politik
sayap kiri. Walaupun untuk "Kasus Sumatera Timur" dari unsur golongan
agama juga ikut mendukung gerakan, namun dominasinya adalah dari kaum kiri.
 
Tak sepadan membandingkan
revolusi Perancis dengan kasus pembantaian Etnik "Sumatera Timur".
Memang melihat dari cepatnya proses itu berlangsung, peristiwa itu dapat
dikatakan revolusi. Tetapi bukan revolusi sosial. Karena ideologi perjuangannya
tidak sesuai dengan garis perjuangan revolusi Indonesia ketika itu. Tak ada
asas atau ideologi, konsep dan pikiran-pikiran cerdas kaum intelektual yang
melandasi gerakkan itu. Gerakan itu sangat liar dan brutal. Penjarahan dan
pemerkosaan serta pembantaian dengan cara-cara yang sadis tanpa proses hukum
adalah pelanggaran yang tidak sesuai dengan bunyi Alinea Pertama Pembukaan UUD
45, apalagi jika diukur dengan standar Pancasila.
Padahal waktu itu
Indonesia sudah menyatakan kemerdekaannya dan Pancasila serta UUD 45 sudah
disahkan. Jika Revolusi Perancis berisikan transformasi sosial politik yang
penuh dengan kisah kepahlawanan, yang meruntuhkan sistem feodalisme,
aristokrasi dan monarki mutlak, tapi kasus Sumatera Timur dipenuhi dengan kisah
sadisme, brutal, liar, penjarahan dan perkosaan, walaupun sama-sama hendak
meruntuhkan kekuasaan para raja. Jika Revolusi Perancis dilakukan oleh gerakan
politik sayap kiri, massa di jalan-jalan dan masyarakat petani, jelas arah
perjuangannya yakni untuk meletakkan manusia dalam posisi yang sederajat,
mendistribusikan sumber-sumber ekonomi secara adil dan menghilangkan penghisapan
atau eksploitasi manusia atas manusia.
 
Ide-ide lama yang
berhubungan dengan tradisi hierarki, monarki, aristokrat dan gereja Katholik
digulingkan dengan tiba-tiba dan digantikan oleh prinsip-prinsip baru, yakni
kebebasan, persamaan dan persaudaraan. Revolusi didorong karena kegagalan
Pemerintahan Louis XVI menangani krisis keuangan. Selain itu kebencian rakyat
juga karena ia bukanlah orang yang memiliki kompetensi untuk naik tahta. Jadi
ada persoalan internal di dalam tubuh kerajaan ketika itu. Faktor lain yang
mendukung percepatan Revolusi Perancis itu juga karena semakin menyeruaknya ide
"pencerahan" di kalangan masyarakat.
Perbesar
Revolusi Perancis yang
dimulai pada tahun 1789 berhasil menggulingkan Louis XVI dan bersamaan dengan
itu tepat pada bulan Desember 1792 didirikanlah Republik Perancis. Satu tahun
kemudian Louis XVI dieksekusi. Tapi apa yang terjadi kemudian, setelah pemerintah
berpindah, justru Maxmilien Robespierre, Jacobin, dan Komite Keamanan Publik,
menjalankan pemerintahan yang diktator dengan penuh teror. Kemudian Robespierre
dieksekusi, Jacobin dijatuhkan, kendali negara diambil alih oleh
"Directory" yang terdiri dari dua dewan eksekutif dengan lima anggota
yang memimpin pada tahun 1795-1799.
 
Directory ini
mempertahankan kebijakan luar negeri yang agresif tetapi tak mampu
mengendalikan peristiwa dalam negeri. Akhirnya digulingkan oleh Napoleon
Bonaparte, lalu oleh Bonaparte ditempatkan Konsulat untuk menyelenggarakan
pemerintahan di bawah kendali Napoleon Bonaparte pada tahun 1799.
Pembelajaran apa yang
kita dapatkan? Ternyata kepemimpinan tidak bisa dihapuskan, tapi hanya bisa
digantikan. Apakah penggantinya lebih baik? Sejarah Revolusi Perancis memberi
jawaban. Ternyata tidak. Kasus Revolusi Perancis menunjukkan bahwa Perancis
lepas dari diktator lama berpindah ke diktator baru. Tercatat selama periode
pemerintahan 1793-1794 rakyat tewas berkisar antara 16.000, hingga 40.000.
Dampak dari Revolusi
Perancis adalah lahirnya demokrasi liberal, sekularisme, dan berkembangnya
ideologi modern yang meninggalkan masuknya paham mistis dan agama yang berujung
lahirnya Prancis Modern. Bagaimana dampak dari Pembantaian Etnik Sumatera Timur?
Memang hegemoni kekuasaan Kesultanan Melayu dapat dihapuskan, tapi karena
tujuan gerakan itu tak sesuai dengan arah Revolusi Indonesia, akhirnya yang
terjadi adalah penghancuran peradaban. Menghancurkan peradaban Melayu sama
artinya dengan menghancurkan peradaban Islam.
 
Apa yang diperoleh oleh
Pro-Revolusi, sebagian berakhir di tiang gantungan. Sumber daya alam minyak,
perkebunan berpindah ke Negara. Negara gagal mendistribusikan hasil-hasil itu
untuk kemaslahatan rakyat di sekitarnya. Hasil Perkebunan Negara diboyong ke
Pusat, nasib buruh atau karyawan zaman sebelum kemerdekaan tak jauh berbeda
dengan kondisi hari ini. Para Sultan kehilangan hak keperdataannya, Negara tak
peduli, semua hasilnya diboyong ke Pudsat sebagai pendapatan Badan Usaha Milik
Negara. Sultan dan kawula masyarakat adatnya tak lebih luas penguasa tanahnya
dibandingkan dengan kepemilikan oleh kaum kapitalis pasca pembantaian Etnik
Melayu dan Penggusuran Kekuasaan Kesultanan Melayu. Kelompok revolusioner dan
republiken yang menggagas dan sekaligus sebagai pelaku pembantaian tahun 1946
itu ternyata tidak mendapatkan apa pun, kecuali kebanyakan dari mereka harus
mengakhiri hidupnya di tiang gantungan dan di depan para regu tembak. Hasil
yang nyata yang diperoleh oleh kelompok Pro-Revolusioner adalah hasil jarahan
harta para Sultan yang kelak dipertanyakan di akhirat bersama pertanggung
jawaban atas tindakannya membunuh, memperkosa dan menghalalkan darah para
Sultan dan para kerabatnya.
Kemakmuran Berbuah Kecemburuan
Kini mari kita lihat
peristiwa Maret 1946 di Sumatera Timur. Gerakan pembantaian dimulai tanggal
3-20 Maret 1946. Gerakan pembantaian dilakukan secara masif terhadap Kesultanan
Melayu di Sumatera Timur: Langkat, Deli, Serdang, Asahan, Batu Bara, Kualuh, Panai,
Bilah, dan Kotapinang dan meluas hingga ke Simalugun dan tanah Karo. Tak jelas
garis perjuangan yang hendak ditegakkan. Jika perjuangan itu dimaksudkan hendak
menghapuskan feodalisme, monarki, dan aristokrasi dan digantikan dengan
prinsip-prinsip baru, yakni kebebasan, persamaan, dan persaudaraan, tak tampak
dalam gerakannya.
Gerakan yang dilakukan
sangat brutal. Sultan dan Orang-orang Besar kerajaan disiksa dan ratusan
tokoh-tokoh Melayu dibunuh. Istana dan rumah-rumah dijarah dan bahkan anak-anak
gadis diperkosa. Di Langkat massa PKI di bawah pimpinan Marwan dan Usman
Parinduri menyerbu dan menjarah istana, membunuh dan memperkosa. Tokoh Sumpah
Pemuda 1928 dan Tokoh Pergerakan Nasional Tengku Amir Hamzah ditawan lalu
dibunuh dan jenazahnya dikuburkan di perkebunan tebu. Tokoh-tokoh yang terus
menyuarakan kebencian pada Kesultanan Melayu adalah Karim Marah Sutan, Luat
Siregar, dan Nathar Zainuddin adalah tokoh-tokoh lokal yang berafiliasi pada
aliran kiri dan didukung oleh barisan komunis pada skala nasional.
 
Dibukanya perkebunan
besar di Sumatera Timur yang mempekerjakan para buruh yang didatangkan dari
luar daerah Kesultanan Melayu seperti dari Pulau Penang dan Pulau Jawa serta
para pendatang dari daerah yang bertetangga dengan Kesultanan Melayu Sumatera
Timur, oleh mereka di kemudian hari dianggap sebagai eksploitasi. Padahal di
tempat asal mereka kehidupan sangat sulit. Mereka sebenarnya adalah orang-orang
yang beruntung pada zamannya mendapat kesempatan untuk bekerja di kebun-kebun di
Sumatera Timur. Ini adalah sisi lain yang tak pernah diungkap oleh penulis
sejarah. Tidak dijelaskan oleh Antony Reid dalam Perjuangan Rakyat: Revolusi
dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera (1987), juga tak tampak pada penjelasan
Mohammad Said dalam Suatu Zaman Gelap di Deli: Koeli Kontrak Tempo Dulu, Dengan
Derita, dan Kemarahannya (1977).
Bagaimana kehidupan
rakyat di Pulau Jawa selama kurun waktu paruh akhir abad ke-19, sebelum mereka
memilih bekerja di Perkebunan-perkebunan Milik Perusahaan Belanda, Inggris, dan
Belgia di Sumatera Timur. Begitu juga bagaimana sulitnya untuk mencari
kehidupan di Pulau Penang pada periode tahun yang sama. Di Sumatera Timur,
kehidupan para buruh bukan dieksploitasi. Mereka bukan tinggal di barak-barak,
tetapi disediakan rumah-rumah tinggal yang dianggap cukup layak huni pada masa
itu. Bahkan penduduk asli Melayu tak mendapatkan rumah seperti itu. Penduduk
tempatan dan bahkan Istana Sultan Deli Pertama di Labuhan Deli dibangun dari
kayu dan atap nipah. Baru kemudian setelah perkebunan yang dikonsesikan
membuahkan hasil istana dibangun seperti sekarang ini. Masjid-masjid dan
madrasah dibangun.
Demikian juga Istana
Sultan Langkat, Sultan Serdang, dan Sultan Asahan. Di Batubara Istana dibangun
dari penjualan dan ekspor hasil-hasil hutan ke Penang. Jadi tidak tiba-tiba
menjadi kaya raya, hidup mewah yang bersumber dari menghisap darah rakyat,
seperti yang dipropagandakan oleh kelompok yang menamakan dirinya republiken.
Rakyat dan buruh-buruh perkebunan hidup bebas dan tidak di bawah tekanan
kerajaan, termasuk paksaan dalam membayar pajak. Itu tak pernah dilakukan oleh
Kesultanan Melayu, Bahkan di Deli disetiakan Beasiswa bagi rakyat ingin
melanjutkan studinya ke negeri Belanda.
Waktu itu memang studi
hyang dibuka ke Negeri Belanda, belum ada jaringan bisnis ke Amerika. Pengusaha
perkebunan Belanda yang datang ke Tanah Deli, Bilah Panei, Kuwaluh, Kota
Pinang, Batu Bara, Serdang, Asahan, dan Langkat, termasuk di Simalungun Pane,
Siantar dan Tanah Jawa adalah para investor, karena itu untuk mendapatkan
tanah-tanah harus dituangkan dalam perjanjian/kontrak yang disebut Akta
Konsesi. Tanah-tanah di wilayah Kesultanan Melayu, bukan milik Raja Belanda.
Oleh karena itu tak berlaku Domein Verklaring dan tak ada hak Erfacht, Hak
Barat atau Hak Guna Usaha yang dikeluarkan Pemerintah Hindia Belanda di
Sumatera Timur, kecuali ada sebahagian di wilayah Kesultanan Asahan.
Hubungan bisnis semacam
itu membuat pertumbuhan ekonomi di Sumatera Timur bergerak maju dalam waktu
yang singkat. Ini yang di kemudian hari menimbulkan kecemburuan kepada kaum
pendatang. Padahal sebagian dari mereka hidup dan menikmati berbagai kesempatan
yang terbuka di era itu. Pertanyaannya adalah, apakah sebagai pendatang di
wilayah yang saat itu memiliki kewenangan memerintah tidak wajib untuk sekadar
menghormati hukum dan ketentuan yang berlaku di wilayah tempat kita mencari
kehidupan?
Berlanjut Kebagian 2......


Posting Komentar
0Komentar