Oleh: Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH
Tidak ada yang lebih berbahaya bagi BUMN selain
pengkhianatan dari dalam. Ketika tangan-tangan yang seharusnya menjaga aset
negara justru menandatangani perjanjian yang menggerusnya, maka sesungguhnya
negara sedang dijual secara sah—di atas kertas hukum.
Kasus proyek Deli Megapolitan Citraland, yang melibatkan PT.
Ciputra KPSN dan PTPN I Regional I (dahulu PTPN II), adalah potret sempurna
bagaimana moral korporasi bisa ditukar dengan iming-iming investasi. Ia bukan
sekadar proyek komersial, tetapi juga cermin rusaknya tata kelola aset BUMN.
Pada tahun 2015, di bawah kepemimpinan Batara Moeda
Nasution, proyek ini sempat ditolak. Alasannya jelas: PTPN bukan perusahaan
properti. Namun ketika tongkat kepemimpinan beralih ke tangan M. Abdul Ghani,
arah kebijakan berubah. Apa yang dulu dianggap pelanggaran prinsip, tiba-tiba
berubah menjadi “peluang bisnis”.
Transformasi keputusan ini bukan tanpa pola. Ia mengikuti
logika klasik kekuasaan: keputusan korporasi dibungkus jargon efisiensi,
padahal yang terjadi adalah pengalihan hak atas tanah negara. Dalam hukum
agraria, tanah HGU bukan milik perusahaan, tetapi hak pakai yang diberikan
negara untuk fungsi produktif perkebunan.
Pasal 28 dan 34 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 menegaskan:
hak guna usaha tidak dapat dijadikan objek jual beli, apalagi dijadikan modal
kerja sama tanpa izin pemerintah. Namun, melalui skema “kerja sama profit”,
lahan itu perlahan berpindah ke tangan swasta.
Abdul Ghani bukan pemain tunggal. Ia membawa jaringan
loyalis dari masa kepemimpinannya di PTPN II hingga Holding PTPN. Nama-nama
seperti Iswan Achir, Marisi Butar-butar, dan Irwan Perangin-angin terus
berganti peran dalam struktur direktur di tubuh PTPN Regional I. Jaringan ini
menciptakan kesinambungan kebijakan yang mencurigakan.
Struktur ini berfungsi seperti rantai pengaman. Setiap
pergantian direktur hanya mengganti wajah, bukan sistem. Saat Ghani naik
menjadi Dirut Holding, posisi strategis diisi oleh orang-orang yang sejalan.
Keputusan strategis pun tak lagi berbasis prinsip kehati-hatian (prudential
principle), tetapi pada loyalitas personal.
Kroniisme korporasi ini berlanjut dalam tahap implementasi
proyek. Di lapangan, nama Iman Subekti, mantan Kabag Pengamanan Aset PTPN,
muncul sebagai operator teknis. Kini ia telah ditahan Kejaksaan Tinggi Sumatera
Utara (Kejatisu) atas dugaan korupsi dan penyalahgunaan kewenangan.
Namun, kasus ini tidak sesederhana peran Iman Subekti. Jejak
administrasi menunjukkan keterlibatan sejumlah pejabat penting. Ada Pulung
Rinandoro, yang disebut sebagai jaksa titipan KPK dan menjabat SEVP PTPN I
Regional I kala itu. Ada juga Ganda Wiatmaja, yang sebelumnya Kabag Hukum dan
kini naik menjadi SEVP PTPN I Regional I.
Nama-nama lain tercatat dalam dokumen internal proyek:
Nurkamal, Triandi Heru H. Siregar, dan Ibnu Maulana I. Arief. Mereka berperan
dalam merancang dan mengawal legalitas administratif agar proyek terlihat sah
di atas kertas. Ini bukan konspirasi spontan, melainkan kolaborasi sistematis
dalam koridor birokrasi BUMN.
Jika ditelusuri, skema yang digunakan Ciputra dan PTPN
menyerupai bentuk joint operation yang kabur batasnya. Dalam teori hukum
perdata, kerja sama semacam ini harus didasarkan pada asas proporsionalitas,
bukan subordinasi sepihak. Namun dalam kasus ini, posisi PTPN justru
subordinatif—menyerahkan tanahnya tanpa jaminan nilai tambah nyata.
Di sisi lain, Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-02/MBU/2010
mewajibkan adanya kajian kelayakan, persetujuan menteri, dan transparansi
publik untuk setiap pemanfaatan aset. Fakta bahwa proyek ini berlangsung tanpa
audit terbuka menandakan pelanggaran administratif dan etis.
Yang lebih mengkhawatirkan, proyek Deli Megapolitan berdiri
di atas tanah negara dengan nilai triliunan rupiah. Hingga kini, tidak ada
laporan resmi mengenai penerimaan negara atau dividen dari hasil kerja sama
tersebut. Publik hanya disuguhi janji “profit sharing” yang tak pernah
terwujud.
Dalam teori ekonomi kelembagaan, praktik semacam ini dikenal
sebagai state capture corruption — ketika pejabat publik menggunakan kewenangan
administratif untuk menguntungkan korporasi tertentu. Bukan uang sogokan yang
dominan, tetapi manipulasi kebijakan.
Dengan kata lain, integritas BUMN dirusak bukan oleh pencuri
luar, tetapi oleh pengelola dalam yang memelintir hukum agar tampak legal.
Mereka mengubah modus “penjarahan” menjadi “kerjasama strategis”. Ini cara baru
menjual aset negara tanpa harus menandatangani akta jual beli.
Kejatisu telah membuka simpul pertama dengan menahan Iman
Subekti. Namun, hukum tidak boleh berhenti pada pelaksana. Akar persoalan
berada pada kebijakan struktural yang memungkinkan penyimpangan itu terjadi. Di
sinilah peran KPK dan Kementerian BUMN harus lebih tegas.
Dalam perspektif tata kelola perusahaan yang baik (Good
Corporate Governance), prinsip transparency, accountability, responsibility,
independence, dan fairness (TARIF) menjadi ukuran moral BUMN. Proyek ini gagal
memenuhi semua unsur itu. Tidak transparan, tidak akuntabel, dan sarat konflik
kepentingan.
Kegagalan moral ini menimbulkan kerugian sistemik. Ketika
publik melihat bahwa pejabat tinggi BUMN bisa memperjualbelikan tanah negara
tanpa konsekuensi hukum, maka kepercayaan pada lembaga negara runtuh. Padahal
BUMN adalah alat strategis negara untuk mensejahterakan rakyat, bukan
memperkaya elite.
Dalam konteks hukum publik, penyimpangan terhadap aset
negara dapat dijerat Pasal 2 dan 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun
2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Unsurnya terpenuhi: penyalahgunaan
wewenang, memperkaya pihak lain, dan merugikan keuangan negara.
Lebih jauh, pengalihan fungsi lahan HGU untuk properti
komersial melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Penatagunaan Tanah, yang menegaskan bahwa perubahan peruntukan lahan harus
berdasarkan izin pemerintah pusat. Di sini, pelanggaran administratif
berkelindan dengan pidana.
Sementara itu, Humas PTPN I Regional I, Rahmad Kurniawan,
hingga kini belum memberikan klarifikasi publik. Diam menjadi strategi, dan
strategi itu menumbuhkan persepsi bahwa ada yang disembunyikan. Dalam demokrasi
korporasi, diam sering kali lebih berbahaya dari kebohongan.
Kita perlu mengingat kembali amanat Pasal 33 UUD 1945: bumi
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Setiap penyimpangan dari
prinsip itu adalah bentuk pengkhianatan terhadap konstitusi.
Kasus Deli Megapolitan menegaskan bahwa korupsi tidak lagi
berwajah uang suap, melainkan kebijakan yang menyimpang. Ia berwujud keputusan
rapat, tanda tangan MoU, dan konferensi pers yang tampak sah. Tetapi di
baliknya, publik kehilangan hak atas tanah negara yang seharusnya menjadi
sumber kesejahteraan bersama.
Oleh karena itu, investigasi hukum harus menyasar seluruh
rantai pejabat yang terlibat—dari pengambil keputusan hingga penyusun dokumen
administratif. Jika tidak, kasus ini hanya akan menambah panjang daftar
impunitas pejabat BUMN yang lolos dari jerat hukum.
Kita tidak membutuhkan pejabat yang piawai berbicara tentang
transformasi BUMN, tetapi mereka yang setia menjaga integritasnya. Jika Abdul
Ghani dan jaringannya terbukti mengorbankan kepentingan negara demi keuntungan
korporasi, maka yang harus diselamatkan bukan hanya aset PTPN, melainkan
kehormatan Republik itu sendiri.
Akhirnya, Presiden Prabowo Subianto dalam pidatonya
menegaskan: “Tidak ada negara dalam negara, dan tidak ada mafia dalam negara.”
Kalimat itu bukan sekadar retorika politik, melainkan panggilan moral bagi
seluruh pejabat negara. Sebab bila mafia dibiarkan hidup di tubuh BUMN, maka
yang hancur bukan hanya perusahaan, melainkan fondasi kedaulatan bangsa.
Demikian.
Penulis Praktisi Hukum dan Aktivis Gerakan Rakyat Banyak.


Posting Komentar
0Komentar