Budaya politik Indonesia menyimpan ironi yang terus berulang. Begitu seseorang naik ke tampuk kekuasaan, ia seolah menjelma makhluk istimewa. Setiap ucapannya menjadi hukum, setiap geraknya menjadi simbol. Padahal, hanya beberapa bulan sebelumnya, ia tampak begitu merakyat, menunduk di hadapan rakyat kecil, dan menebar janji perubahan dengan wajah penuh kerendahan hati.
Begitu dilantik, sesuatu berubah. Aura kekuasaan menempel bukan karena prestasi, tetapi karena status. Kekuasaan di negeri ini masih dianggap pusaka, bukan mandat. Ia disakralkan, bukan diawasi. Sejak itu, pemimpin tak lagi berjalan di antara rakyat, melainkan di atas panggung yang dijaga ketat oleh para pengagum dan penjilat.
Dalam kebudayaan politik kita, pemimpin tidak hanya sosok administratif, tetapi juga tokoh semi-mistik. Doa restunya diharap, kehadirannya dianggap berkah. Kekuasaan melebur dengan kesalehan, dan kesalehan menjadi bagian dari legitimasi politik. Maka lahirlah kepercayaan baru: bahwa jabatan adalah anugerah ilahi, bukan hasil kerja keras rakyat.
Dari titik itu, tembok kekuasaan mulai terbentuk. Ajudan, staf, dan barisan pengikut loyal menjelma pagar istana kecil. Mereka menyaring aspirasi rakyat sebelum sampai ke telinga pemimpin. Di tangan mereka, realitas sering berubah rupa: kritik disamarkan jadi pujian, keluhan disulap menjadi laporan keberhasilan. Pemimpin pun hidup dalam ruang gema—mendengar hanya suara dirinya sendiri.
Fenomena ini bukan kebetulan, melainkan sisa panjang dari tradisi feodalisme politik. Rasa hormat masih diukur dari jarak. Loyalitas dianggap lebih berharga daripada kompetensi. Kritik mudah ditafsir sebagai durhaka, sementara kejujuran dianggap ancaman. Dalam sistem seperti itu, demokrasi hanya tumbuh di permukaan, tapi akarnya rapuh oleh rasa takut dan basa-basi.
Ironinya, ketika masih berstatus calon, semua tampak terbalik. Ia tampil sebagai manusia paling sederhana. Menyapa, menyalami, menunduk, bahkan meneteskan air mata di hadapan rakyat. Tapi begitu kursi empuk kekuasaan digenggam, yang menunduk kini rakyat, bukan pemimpin. Ia lupa bahwa kekuasaan sejatinya adalah amanah, bukan mahkota.
Kondisi ini diperparah oleh sistem patronase yang membelit politik Indonesia. Kekuasaan diwariskan melalui loyalitas, bukan meritokrasi. Hubungan politik dibangun dengan timbal balik: jasa dibayar jabatan, dukungan diganjar proyek. Dalam ekosistem seperti ini, pemimpin baik pun bisa kehilangan arah karena sistemnya membentuk kebiasaan buruk—membiasakan jarak, membunuh empati.
Lebih jauh, rakyat pun kerap menjadi bagian dari masalah. Mereka memelihara mitos tentang pejabat yang “dilahirkan untuk memimpin”. Mereka merasa tidak pantas berbeda pendapat, apalagi mengkritik. Ini bukan karena kebodohan, melainkan warisan panjang budaya paternalistik: kuasa dianggap takdir sosial, bukan kontrak politik yang bisa ditagih pertanggungjawabannya.
Maka, kritik kehilangan tempat. Padahal, kritik adalah vitamin bagi demokrasi. Tanpa kritik, kekuasaan kehilangan keseimbangan moral. Pemimpin menjadi tuli terhadap realitas. Ia hidup dalam ilusi keberhasilan, sementara di luar pagar, rakyat menjerit tanpa suara. Demokrasi yang seharusnya dialog, berubah menjadi monolog yang monoton.
Perubahan hanya mungkin jika dua pihak mau bergerak: pemimpin menurunkan jarak, rakyat berani menatap sejajar. Demokrasi sejati tidak tumbuh dari ketakziman, melainkan dari kesetaraan dalam berpikir dan bertindak. Rakyat yang berani mengoreksi bukan musuh negara, melainkan penjaga nurani publik.
Namun, selama kekuasaan masih dipuja sebagai kesaktian dan bukan fungsi, politik kita akan terus melahirkan pemimpin “sakti tapi tuli”, “saleh tapi tak peka”. Mereka hidup dari simbol, bukan substansi. Dari pencitraan, bukan pengabdian. Dan rakyat, dengan segala hormatnya, ikut memperpanjang ilusi itu.
Kita memerlukan revolusi kultural, bukan sekadar politik. Bahwa pemimpin bukan pusat semesta, melainkan pelayan rakyat. Bahwa doa restu bukan pengganti akuntabilitas. Bahwa kesalehan pribadi tak boleh menutupi ketimpangan publik. Ukuran pemimpin bukan lagi seberapa banyak ia disanjung, tetapi seberapa besar ia mendengar.
Maka wajar, ketika seorang mantan aktivis mahasiswa baru dilantik menjadi rektor, lalu memilih naik kereta kencana yang ditarik kuda menuju kampus tempat ia dulu mengajar—ia seakan sedang memerankan dirinya sebagai Raja Jawa bernama Ken Arok. Sebuah simbol betapa cepat kerendahan diri berubah menjadi kultus kekuasaan. Dan selama rakyat masih menonton tanpa protes, siklus itu akan terus berulang.
Demokrasi tidak akan pernah matang di negeri yang masih menyembah kekuasaan. Ia hanya tumbuh di tanah yang berani menatap pemimpinnya sejajar, berbicara tanpa takut, dan mengingatkan tanpa harus tunduk.
Demikian.
Penulis, Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH, Praktisi Hukum dan Aktivis Rakyat Banyak.


Posting Komentar
0Komentar