Verifikasi Bukan Formalitas: Asas Geen Macht Zonder Verantwoordelijkheid dalam Menegakkan Akuntabilitas dan Pengawasan Kampus USU

Media Barak Time.com
By -
0

 


Forum Penyelamat USU (FP-USU)~ Di tengah kompleksitas tata kelola perguruan tinggi negeri, prinsip geen macht zonder verantwoordelijkheid — tiada kewenangan tanpa pertanggungjawaban — kembali menemukan relevansinya. Di kampus, kekuasaan administratif sering kali diperlakukan sebagai hak istimewa, bukan amanah yang wajib dipertanggungjawabkan. Padahal, setiap kewenangan yang lahir dari struktur hukum publik membawa serta kewajiban moral dan hukum untuk bersikap transparan, akuntabel, dan adil.


Universitas Sumatera Utara (USU) kini berada di degradasi etika birokrasi dan hukum publik. Serangkaian laporan internal dan eksternal terkait dugaan pelanggaran etik, maladministrasi, hingga penyalahgunaan kewenangan telah menuntut peran aktif Inspektorat Jenderal Kemendiktisaintek (Itjend Kemendiktisaintek) hadir ke  kampus USU atas laporan dan pengaduan dari FP-USU, PP IKA USU dan para pihak terlibat dalam pemilihan rektor  USU. Namun, yang menjadi sorotan bukan hanya hasil akhirnya, melainkan proses verifikasi — apakah ia dijalankan secara substantif atau sekadar formalitas administratif.


Dalam sistem hukum administrasi, verifikasi adalah jantung keadilan prosedural. Ia menentukan apakah laporan dan pembelaan kedua belah pihak diperlakukan dengan prinsip audi et alteram partem — dengarkan kedua sisi secara adil. Ketika verifikasi dilakukan tanpa kedalaman, atau dengan kecenderungan membela struktur kekuasaan, maka pengawasan kehilangan makna etisnya. Hukum hanya menjadi ritual birokrasi, bukan alat koreksi moral dan kelembagaan.


Inspektorat Jenderal Kemendiktisaintek sebagai organ pengawasan internal pemerintah seharusnya berdiri di atas prinsip akuntabilitas, integritas dan independensi. Dalam konteks kampus, lembaga ini memegang mandat konstitusional untuk memastikan bahwa setiap rektorat, dekanat, maupun satuan kerja tidak menyalahgunakan kekuasaan dan kewenangan yang diberikan negara. Namun, pertanyaannya: sejauh mana verifikasi terhadap pelapor dan terlapor dilakukan dengan obyektivitas dan tanpa tekanan politik atau struktural?


Penerapan asas geen macht zonder verantwoordelijkheid bukan sekadar semboyan klasik hukum Belanda; ia adalah moral dasar tata kelola negara hukum modern. Kekuasaan dan kewenangan, sekecil apa pun bentuknya, harus disertai mekanisme pertanggungjawaban yang jelas, transparan, dan dapat diuji publik. Tanpa itu, kekuasaan di ruang akademik dapat menjelma menjadi kekuasaan absolut yang berlindung di balik jargon otonomi universitas.


Masalahnya, banyak lembaga pendidikan tinggi di Indonesia, termasuk USU, masih terjebak pada mentalitas feodal birokratik: kekuasaan dipegang oleh segelintir elit kampus, sementara mekanisme kontrol dikebiri melalui prosedur administratif yang berbelit. Verifikasi sering kali berubah menjadi dokumen checklist, bukan instrumen pencarian kebenaran substantif. Dalam logika seperti itu, pengawasan hanya menjadi perpanjangan tangan kekuasaan, bukan penegak kebenaran.


Prinsip akuntabilitas sejatinya lahir dari filosofi moral bahwa setiap tindakan pejabat publik berdampak pada kepercayaan masyarakat. Ketika mahasiswa, dosen, atau pegawai kampus melapor atas dugaan penyimpangan, mereka sesungguhnya sedang menegakkan demokrasi akademik — bukan sekadar melampiaskan kekecewaan. Namun sering kali, para pelapor justru menjadi korban pembalasan struktural, sementara terlapor dilindungi oleh benteng kekuasaan, jelas Taufik di Sekretariat Jalan Sutomo Medan.


Dalam konteks ini, peran Inspektorat Jenderal menjadi krusial: bukan hanya sebagai auditor teknis, melainkan juga penjaga moral administrasi. Verifikasi yang profesional menuntut keberanian moral — untuk menegakkan hukum meski terhadap pihak yang berkuasa. Sebab, esensi pengawasan publik bukanlah mencari kesalahan kecil untuk dilaporkan ke atas, melainkan menegakkan prinsip rule of law di tengah dinamika birokrasi pendidikan.


FP-USU menjelaskan bila asas geen macht zonder verantwoordelijkheid diterapkan secara konsisten, maka setiap pejabat kampus, mulai dari rektor hingga kepala biro, akan memandang kekuasaan sebagai beban moral, bukan alat dominasi. Transparansi menjadi tradisi, bukan ancaman. Kritik dipandang sebagai koreksi, bukan subversi. Dan laporan menjadi instrumen pembenahan, bukan bentuk permusuhan.


Begitupun pada realitas di lapangan kerap menunjukkan hal sebaliknya. Proses verifikasi sering kali dilakukan tanpa menghadirkan semua pihak secara proporsional. Ada kasus di mana pelapor tidak diberi ruang untuk menjelaskan bukti secara penuh, sementara terlapor mendapat hak istimewa dalam proses klarifikasi. Ketimpangan seperti ini mencederai keadilan prosedural, bahkan dapat menimbulkan distrust terhadap lembaga pengawas itu sendiri.


Kampus adalah miniatur negara. Jika prinsip akuntabilitas dan keadilan tidak ditegakkan di dalamnya, maka jangan berharap lulusan universitas akan memiliki integritas ketika memegang jabatan publik. Di sinilah pentingnya menjadikan pengawasan internal sebagai laboratorium etika, bukan sekadar ruang audit administratif. Kampus seharusnya menjadi teladan bagi penerapan asas hukum dan prinsip moral dalam birokrasi modern, terang Taufik.


Pengawasan yang akuntabel membutuhkan keberanian etik, profesionalisme, dan transparansi. Inspektorat Jenderal tidak boleh menjadi institusi yang hanya menyenangkan atasan atau menenangkan opini publik sesaat. Ia harus berdiri di atas asas keadilan substantif, karena pengawasan yang benar bukanlah yang menutupi konflik, tetapi yang mengungkap akar masalahnya dengan kejujuran intelektual, pungkas Taufik 


Pada akhirnya, makna sejati dari geen macht zonder verantwoordelijkheid adalah pengingat bahwa setiap kekuasaan, sekecil apa pun, mengandung tanggung jawab yang besar kepada hukum, moral, dan publik. Kampus seperti USU hanya akan maju jika para pemimpinnya berani diawasi, dan lembaga pengawasnya berani berkata benar meski terhadap yang berkuasa. Sebab, verifikasi bukanlah formalitas, karena sekecil apapun terkait kekuasaan dan kewenangan itu tetap dimintakan pertanggungjawaban hukumnya— ia adalah ujian integritas sebuah peradaban akademik, ujar Taufik.


 Demikian


Siaran Pers 

Forum Penyelamat USU 

Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH., Ketua

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)