Oleh : Adv. M.Taufik Umar Dani Harahap,SH.
Sejak pengambilalihan kekuasaan melalui mekanisme yang demokratis dan konstitusional oleh Presiden Prabowo, terdapat sinyal jelas bahwa skema konsolidasi negara berpadu antara ranah penegakan hukum dan keuangan negara. Titik awalnya terlihat ketika aparat penegak hukum — melalui ST Burhanuddin Kepala Kejaksaan Agung Republik Indonesia di kawal personil TNI — mulai menangani kasus-besar korupsi yang selama ini dianggap struktural. Contoh paling nyata adalah pengembalian dana negara senilai Rp 13,2 triliun dari kasus ekspor CPO dan pemberantasan kasus korupsi Pertamina dimana negara dirugikan 285 triliun yang ditangani oleh Kejaksaan.
Langkah ini bukan hanya simbolik: secara psikologis ia memperkuat posisi presiden sebagai pengendali utama dalam sistem birokrasi dan keuangan negara.
Pada ranah keuangan, reshuffle mendadak terhadap menteri keuangan menegaskan dinamika baru. Penggantian Sri Mulyani Indrawati oleh Purbaya Yudhi Sadewa pada 8 September 2025 disambut awalan keraguan oleh pasar: indeks saham sempat tergelincir dan rupiah melemah.
Meski demikian, Purbaya menyatakan bahwa target pertumbuhan 8 % “tidak mustahil”.
Konsolidasi dalam ranah penegakan hukum dan keuangan itu beriringan: pemerintahan Prabowo tampak membangun sinergi antara penguatan aparat hukum dan mobilisasi dana negara menuju agenda pembangunan. Contoh konkret: Purbaya mengumumkan rencana injeksi likuiditas sebanyak Rp 200 triliun ke perbankan untuk merangsang kredit dan aktivitas ekonomi.
Pada saat yang sama, dalam Instruksi Presiden No. 1/2025 disebut efisiensi anggaran hingga Rp 306,7 triliun — langkah yang mencerminkan tekanan untuk mengontrol pengeluaran negara secara lebih ketat.
Lebih dari itu, penggantian menteri keuangan dan restrukturisasi fiskal menjadi bagian dari strategi menyatukan elemen-lembaga penting negara ke dalam ‘poros pengendalian’ presiden. Analis mencatat bahwa reshuffle kabinet tersebut bukan sekadar perombakan teknis: ia merupakan manifestasi dari keinginan Prabowo untuk meredam otonomi menteri dan memperkuat kendali pusat.
Di ranah keuangan publik, angka-makro memberikan gambaran: rasio utang negara terhadap PDB mencapai sekitar 39,4 % pada akhir 2024, masih jauh lebih rendah dari batas yang diatur (60 %) – menurut pernyataan Purbaya.
Meskipun demikian, kekhawatiran pasar tetap muncul terkait komitmen terhadap disiplin fiskal setelah pergantian menteri keuangan dari sosok yang sangat dihormati (Sri Mulyani) ke figur yang belum sepenuhnya dikenal publik (Purbaya).
Dalam praktik penegakan hukum, kabinet Prabowo memperkuat fungsi prosecutorial sebagai alat konsolidasi negara. Kasus-kasus besar yang selama ini tertunda mulai digerakkan. Selain Rp 13,2 triliun dari kasus CPO, ada perhatian khusus terhadap potensi kerugian negara ratusan triliun rupiah dalam kasus pada badan usaha milik negara (BUMN).
Langkah ini menandai bahwa konsolidasi bukan sekadar mengganti pemegang jabatan, tetapi juga mengubah keseimbangan kekuasaan antara negara-hukum dan oligarki keuangan.
Pada sisi struktur kelembagaan, pembentukan dan penguatan lembaga-negara yang melingkupi keuangan dan ekonomi menjadi instrumen penting. Misalnya, penekanan pada fungsi pengawasan anggaran, pemantauan penyerapan dana kementerian, dan re-alokasi anggaran yang tidak terserap melalui Kementerian Keuangan di bawah Purbaya.
Hal ini menunjuk pada perubahan penting: negara-keuangan bukan lagi domain subsidi teknokrat, tetapi semakin dikelola sebagai bagian dari strategi politik nasional.
Namun, catatan kritis muncul: demokrasi dan kebebasan sipil ikut berada di balik bayang-bayang konsolidasi. Setelah satu tahun, banyak pihak melihat bahwa cara Presiden Prabowo mengkonsolidasikan kekuasaan mulai menunjukkan ciri-ciri sentralisasi yang kuat — termasuk dalam hukum dan keamanan.
Pemerintah juga dinilai menggunakan penegakan hukum sebagai alat penguatan legitimasi, bukan sekadar untuk keadilan murni.
Dari perspektif ekonomi riil, gairah sektor keuangan mulai muncul: bank-bank mendapat suntikan likuiditas besar, dan optimisme terhadap pertumbuhan dimunculkan kembali. Kendati target 8 % ambisius, sinyal ke pasar bahwa “tidak perlu mengubah aturan fiskal” menjadi penenang bagi investor.
Namun investor tetap waspada karena pergantian menteri dan prospek percepatan pengeluaran bisa mengganggu stabilitas makro.
Memang, dalam semangat konsolidasi, pemerintahan Prabowo tampak ingin menyatukan tiga elemen utama: (1) legal enforcement (penegakan hukum korupsi) sebagai pilar legitimasi; (2) keuangan negara sebagai alat mobilisasi pembangunan; dan (3) kontrol politik melalui kabinet dan lembaga-negara.
Ketiga elemen itu saling bersinergi: kasus korupsi besar diproses → dana negara direbut kembali → pengeluaran dipercepat → dan media publik menampilkan negara kuat.
Tetapi, kritisnya, konsolidasi yang demikian mengandung risiko: apabila penegakan hukum menjadi instrumen politik, maka independensi lembaga akan tergerus; apabila keuangan negara dijadikan alat pembangunan cepat tanpa pengamanan fiskal, maka stabilitas jangka panjang bisa terganggu; dan apabila kontrol politik terlalu ketat maka demokrasi bisa melemah.
Analis sudah menyoroti bahwa pergeseran gaya dari Sri Mulyani yang berhati-hati ke Purbaya yang lebih agresif bisa menjadi titik tanda perubahan besar dalam tata kelola fiskal Indonesia.
Pada akhirnya, ketika satu tahun pemerintahan Prabowo ditandai dengan tema “konsolidasi negara melalui kejaksaan dan keuangan”, arah politik hukum dan fiskal Indonesia mulai menemukan bentuknya. Negara tampak berupaya membangun legitimasi melalui dua jalur: penegakan hukum yang progresif dan pengelolaan keuangan negara yang sentralistik. Namun, di balik semangat konsolidasi itu, ujian terbesarnya bukan lagi sekadar pada capaian pertumbuhan ekonomi atau nilai tukar rupiah yang menguat, melainkan pada kemampuan menjaga keseimbangan antara pembangunan, keadilan, dan demokrasi. Tanpa keseimbangan, kekuatan negara yang dipusatkan bisa menjelma menjadi instrumen represi, bukan reformasi.
Salah satu wajah paling kentara dari konsolidasi ini tampak di penegakan hukum oleh Kejaksaan Agung hingga ke daerah-daerah. Di Sumatera Utara, misalnya, Harly Siregar Kepala Kejaksaan Tinggi Sumut (Kejatisu) berhasil membongkar kasus mega korupsi yang melibatkan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) Regional I, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Deliserdang dan Sumut, serta pihak swasta seperti PT NDP dan PT Citraland. Kasus ini menyangkut perubahan status lahan sekitar 8.077 hektare Hak Guna Usaha (HGU) aktif menjadi Hak Guna Bangunan (HGB) untuk kepentingan komersial tanpa dasar hukum sah. Negara diperkirakan dirugikan hingga ratusan triliun rupiah, menjadikannya salah satu skandal agraria terbesar pasca reformasi.
Data Celios (Center of Economic and Law Studies) menunjukkan bahwa penguatan penegakan hukum terhadap kejahatan korupsi daerah justru berkontribusi langsung terhadap persepsi publik atas integritas fiskal negara. Dalam laporan Evaluasi Kinerja Satu Tahun Pemerintahan 08 (2025), Celios mencatat 76% responden menilai Kejaksaan lebih progresif dibanding periode sebelumnya, meski kepercayaan terhadap elite ekonomi masih rendah (hanya 43%). Fenomena ini menggambarkan paradoks: publik merasa negara kini lebih “berani menindak”, tetapi belum “adil membagi hasilnya”. Artinya, kepercayaan tumbuh karena rasa takut, bukan karena keadilan yang dirasakan merata.
Jika mesin keuangan dibakar habis untuk percepatan dan mesin penegakan hukum dipacu tanpa pembaruan sistemik, maka hasilnya bisa ambivalen. Negara akan tampak kuat di atas kertas, tetapi rapuh di akar legitimasi. Dalam jangka pendek, pembangunan cepat mungkin tercapai, tetapi bila check and balance melemah dan hukum menjadi alat politik fiskal, maka demokrasi akan kehilangan jantungnya. Konsolidasi negara memang perlu, tetapi tanpa transparansi dan akuntabilitas, ia akan menjelma menjadi konsentrasi kekuasaan—dan di situlah, sekali lagi, sejarah sering memutar lingkarannya.
Hampir saja republik ini tergelincir ke jurang krisis politik. Peristiwa 17+8, yang sempat mencuat sebagai gelombang aksi beraroma kudeta, menjadi ujian paling serius bagi stabilitas pemerintahan Prabowo di tahun pertamanya. Informasi intelijen dan temuan aparat penegak hukum menunjukkan bahwa gerakan tersebut tidak murni spontanitas politik, melainkan didanai oleh jaringan mafia judi online dan kartel minyak yang kepentingannya terusik oleh konsolidasi negara di sektor hukum dan keuangan. Para aktor di balik layar melihat reformasi fiskal dan penguatan kejaksaan sebagai ancaman terhadap aliran rente ekonomi mereka. Maka, kekacauan diciptakan, isu sosial diperkeras, dan ruang digital dijadikan senjata untuk mengguncang kepercayaan publik.
Namun, rezim Prabowo berhasil menstabilkan keadaan dengan respons cepat—menggabungkan langkah intelijen, diplomasi politik, dan penegakan hukum yang terkoordinasi. Di titik itu, kekuasaan negara menunjukkan kembali wataknya: keras terhadap agenda politik inkonstitusional, tetapi sadar bahwa stabilitas politik adalah prasyarat utama pembangunan. Meski situasi dapat dikendalikan, peristiwa 17+8 menjadi alarm keras bahwa tantangan terbesar pemerintahan ini bukan hanya ekonomi, melainkan pertarungan laten antara aparatus perubahan dan jaringan oligarki lama.
Ringkasnya: rezim Prabowo dalam satu tahun pertama telah meneguhkan satu model: negara yang kuat melalui penegakan hukum dan sektor keuangan yang berorientasi kesejahteraan rakyat. Gairah sektor keuangan mulai muncul — namun ia terkoneksi erat dengan mekanisme kontrol negara yang semakin rapat. Tantangan selanjutnya adalah memastikan bahwa gairah itu berkelanjutan dan yang menggerakkan kinerja yang progesif dari lembaga-independen serta stabilitas jangka panjang.
Demikian.
Penulis Merupakan Praktisi Hukum, Pendiri Partai Gerindra Sumut dan Aktivis Gerakan Rakyat Banyak.


Posting Komentar
0Komentar